ANNOUNCEMENT

News Ticker

7/recent/ticker-posts

PGRI Non-Vaksentral, Sisi Lain Infiltrasi PKI Pada Organisasi Guru

Massa menuntut pembubaran PKI dan organisasi sayapnya, salah satunya
PGRI Non-Vaksentral. (Sumber: IG koleksi_sejarah_indo)


Karena perbedaan pandangan terjadi dualisme kepengursan di dalam PGRI antara yang berusaha tetap non politis, dengan yang mendukung Manipol USDEK Presiden Sukarno dan menamakan diri PGRI Non-Vaksentral

Wadah organisasi guru di Indonesia yang tunggal dan diakui pemerintah yakni Persatuan Guru Republik Indonesia berdiri pada 25 November 1945 di Surabaya. Kongres guru pertama di tanggal tersebut sepakat membentuk suatu organisasi guru, orang yang memiliki profesi guru dan berijazah guru, untuk berhimpun dalam suatu wadah yang mempersatukan berbagai organisasi-organisasi guru yang sebelumnya telah ada sejak sebelum kemerdekaan RI. 

Salah satu sifat dari  PGRI dalam menjalankan organisasinya ialah Independen atau kemandirian serta mengklaim bebas dari afiliasi suatu partai politik. Bagi mereka, seorang guru, -apalagi organisasi guru itu sendiri-, apabila tidak mandiri dan berafiliasi ke suatu partai politik dapat menurunkan profesional dan kewibawaan seorang guru. Tugas dan misi guru jelas, bagian dari tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apabila dipengaruhi oleh hal-hal politis maka hal itu akan sulit terwujud. 

Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masa Demokrasi Liberal sekitar tahun 1950-1959, iklim Demokrasi Indonesia saat itu berada dititik yang paling bebas dimana banyak sekali berdiri partai politik. Apalagi menjelang Pemilu 1955, persaingan antar partai politik benar-benar panas dan tidak jarang secara terbuka saling menyerang dengan berbagai propaganda, terutama antara Masyumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pasca Pemilu 1955, kondisi tersebut bukanya makin mereda namun jauh semakin panas. Terlebih PKI disebut-sebut sebagai "Partai Anak Emas" Presiden Soekarno. Sulit saat itu bagi setiap warga negara untuk menjadi independen dan tidak terikut pada arus booming haluan politik. Termasuk pada kalangan profesi guru.

Tensi politik yang memanas membuat guru kehilangan rasa persatuan, terbukti dengan munculnya berbagai organisasi guru lain seperti Ikatan Guru Marhaenis, Persatuan Guru NU, Persatuan Guru Islam Indonesia, dan seterusnya. PGRI mengecam hal ini dengan menuduh organisasi-organisasi guru tersebut terlalu sibuk dengan ideologi dan partai yang membekinginya daripada fokus pada organisasi profesi dan yang lebih penting fokus pada tugas utamanya. Selanjutnya bisa ditebak, akhirnya organisasi PGRI itu sendiri pecah karena perbedaan cara pandang terhadap afiliasi politik. Lebih tepatnya di tubuh PGRI sejak tahun 1959 sudah disusupi oleh guru-guru yang condong pada suatu partai politik tertentu, dan yang paling kuat dalam melakukan pandangan politiknya di forum-forum PGRI ialah yang bersimpati pada PKI.

Buchori dalam Evolusi Pendidikan di Indonesia (2009), menyampaikan bahwa perpecahan di internal PGRI antara yang kubu non politis dengan yang mendukung manifesto politik (bersimpati pada PKI) telah terlihat memasuki tahun 1960. Prof. Priyono yang merupakan Menteri Koordinator bidang Pendidikan membentuk Institut Pendidikan Guru yang didukung oleh orang-orang PGRI yang pro terhadap manifesto politik. Pendirian ini sebagai bentuk persaingan dengan didirikannya Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang didukung oleh Prof. Thoyib (Menteri Pendidikan Tinggi) yang merupakan ilmuwan puritan dan tidak mengikuti salah satu arus politik.  

Pada Kongres PGRI ke X di Jakarta November 1962 kondisi ini semakin panas dan meruncing. Dimotori oleh Soebandri yang disebut-sebut orang PKI ditubuh PGRI, ia menuduh ketua umum M.E. Subiyadinata anti Manifesto Politik yang saat itu menjadi kebijakan politik Presiden Soekarno. Soebandri makin kencang memprotes kebijakan sang ketua umum (Subiyadinata) yang telah membawa PGRI keluar dari prinsip non-partisan. Hal ini bermula ketika PGRI dimasukkan dalam keanggotaan Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI). Padahal SOKSI sendiri adalah organisasi yang disponsori oleh Angkatan Darat (AD) yang ketika itu juga tampil sebagai sebuah kekuatan politik yang menyaingi PKI.

Lebih jauh lagi, Subiyadinata juga membubarkan Panitia Aksi Perbaikan Nasib Guru-guru PGRI yang telah bekerja dan mulai menampakkan hasil. Gerah terhadap manuver Subiyadinata itu, maka pada Juni 1964 PGRI pecah dengan terbentuknya PGRI Non-Vaksentral yang terdiri dari guru-guru pendukung garis politik Presiden Soekarno dan pendukung PKI. Demikian Rifaldi dalam Ketegangan Politik Membelah PGRI di Masa Demokrasi Terpimpin (tirto.id).

Ironisnya guru-guru yang semula di PGRI kemudian banyak yang eksodus, baik pendukung PKI atau bukan, PGRI Non-Vaksentral perlahan memiliki masa yang cukup khususnya dari kalangan guru di Jawa. Sebaliknya PGRI terpaksa bermanuver semakin dekat dengan Angkatan Darat (AD) yang saat itu memang saling menabuh genderang perang dengan PKI. Hal ini semakin mengaburkan independensi dan kemandirian PGRI.

Pecahnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berpusat di Jakarta membawa sinar redup bagi PGRI Non-Vaksentral. Kelanjutan organisasi ini pun dapat ditebak dengan mudah, hancur seiring pemberangusan PKI dan anasir-anasirnya. Termasuk PGRI Non-Vaksentral yang ditumpas habis sekitar tahun 1966-1977 oleh tentara. Sebagian besar di penjara tanpa pengadilan, mungkin ada juga yang "dihilangkan" tidak jelas rimbanya. Padahal tidak semua dari anggota PGRI Non Vak-Sentral terlibat dalam peristiwa tersebut, bahkan tidak semuanya adalah pendukung PKI.

Seorang guru yang dahulu menjadi anggota PGRI Non Vak-Sentral, Pak Naro asal Temanggung yang pernah merasakan "Kamp Pulau Buru", menyebutkan bahwa dirinya tidak pernah menjadi anggota PKI. Ia pun tidak tahu menahu peristiwa 30 September 1965, dan masuk menjadi anggota PGRI Non-Vaksentral semata-mata hanya untuk berjuang untuk menjembatani tuntutan peningkatan kesejahteraan untuk semua guru Indonesia. Demikian Muchlis yang menceritakan kisah hidup Pak Naro sekitar 1965 dalam forum Kompasiana berjudul Kisah Seorang Guru Yang Menjadi Eks Tapol dan di-PKI-kan (2015). 



Penulis: M. Rikaz Prabowo

Post a Comment

0 Comments