Tentara Belanda bersama perempuan-perempuan penghibur di suatu tempat yang berhasil mereka duduki pada masa revolusi kemerdekaan 1945-1949. (Sumber gambar: Mata Padi) |
Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimred Majalah Riwajat
Masa Revolusi Indonesia tahun 1946 hingga tahun 1949 untuk mempertahankan kemerdekaan memang penuh kegetiran dan kisah haru nan heroik. Tetapi tidak sedikit pula menyimpan kisah yang barangkali unik dan tidak banyak orang yang tahu.
Seperti diketahui saat masa perjuangan seluruh rakyat bahu membahu angkat senjata. Baik bergabung bersama TNI maupun dengan organisasi kelaskaran, dari yang menggunakan senjata api hingga senjata tradisional. Diantara unsur-unsur perjuangan yang turut bahu membahu, terutama dari pemuda-pemuda dan pelajar, ada pula dari unsur profesi seperti pegawai. Namun adapula profesi yang tidak lazim dan turut ikut angkat senjata, yakni para maling dan pelacur.
Bagaimana bisa maling dan pelacur ikut dalam peperangan? Jawabannya adalah karena ide nyeleneh dari sang Jenderal lintas front sekaligus juga dokter gigi, drg. Moestopo yang pernah menduduki kepangkatan Mayor Jenderal. Ceritanya saat ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, pihak Keraton Kesultanan Ngayogyokarto melakukan kerjasama dengan Markas Besar Tentara (MBT) untuk membersihkan Yogyakarta dari para pelaku kriminal dan pekerja seks komersial (PSK). Kebetulan saat itu Moestopo berdinas di MBT Yogyakarta.
Setelah berhasil ditertibkan, maling-maling dan pelacur ini kemudian "diberdayakan" oleh Moestopo agar bisa ikut membantu dalam perjuangan. Isyaq (2022), dalam Mengenang Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prof. dr. Moestopo, menyebutkan saat berdinas di Yogyakarta itulah ia membentuk Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) yang diambil dari lingkungan dunia hitam seperti copet, pencuri, dan pekerja seks komersial (moestopo.ac.id). Di dalam pasukan itulah terdapat Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelacur (BWP). Pasukan Terate ini tetap mengikuti Moestopo yang dipindahkan ke Front Subang, Sektor Bandung Utara-Timur, Jawa Barat.
Mayor Jenderal drg. Moestopo (Dokumentasi: Kaskus) |
Ide Moestopo ini memang gila dan nyentrik, tapi perlu diapresiasi sebab memang saat itu belum ada tindakan rehabilitasi yang konkrit pasca operasi-operasi penertiban kriminal dan PSK seperti saat ini. Daripada kembali melakukan kriminal lagi, lebih baik diturunkan dalam perang, mungkin begitu pemikiran Moestopo. Pasukan Barisan Maling dan Barisan Wanita Pelacur ini memang diberi tugas yang tidak terlalu berat oleh Moestopo, tidak untuk menyerang musuh secara ofensif apalagi memanggul senjata berat. Namun tugasnya hanyalah membuat kerugian dan mengacaukan musuh di front pertempuran.
Operasi yang dilakukan BM dan BWP ini awalnya sukses, markas Pasukan Teratai menerima banyak perlengkapan perang, amunisi, hingga senjata dari hasil curian Barisan Maling. Namun perlahan juga berdampak negatif di kubu pasukan Republik, banyak gerilyawan yang terkena penyakit kotor karena "aksi" Barisan Wanita Pelacur dan barang-barang rakyat yang hilang dicuri oleh Barisan Maling. Singkat kata, BM dan BWP sulit dikontrol hingga melakukan "aksi" ke kubu sendiri yang jadi Korban. Suluh Indonesia (2023), dalam Moestopo, Jenderal Nyentrik Dengan 1001 Ide (koransulindo.com), menyebutkan BM dan BWP akhirnya dibubarkan oleh Moestopo setelah ia sendiri yang menjadi korban dari pasukan yang ia buat. Sebuah kopor pakaiannya lenyap tidak berbekas dicuri oleh anak buahnya sendiri dari pasukan BM, jika sudah begini senjata makan tuan namanya.
0 comments:
Post a Comment