Menjadi seorang guru bagi Soekarno mungkin adalah diluar ekpektasi beliau. Bagaimana tidak? ia adalah seorang Ingenieur atau Insinyur dalam studi Teknik Sipil dan memiliki spesialisasi pekerjaan jalan raya dan pengairan. Lazimnya seorang insinyur bekerja tidak jauh dari bidang pembangunan dan konstruksi. Tetapi patut perlu diketahui bahwasanya pekerjaan formal tetap Soekarno, yang ia cari sendiri pertama paska kelulusannya 25 Mei 1926 dari Technische Hooge School atau sekarang Insititut Teknologi Bandung adalah menjadi guru sekolah dasar!
Soekarno bukan tidak ditawari pekerjaan sesuai bidangnya sebagai Insinyur. Sedikitnya paska ia lulus ada 3 tawaran pekerjaan baginya. Pertama, menjadi asisten dosen di almamaternya. Kedua, bekerja di pemerintah kota. Ketiga, direkomendasikan pada Direktur Pekerjaan Umum untuk membuat rencana proyek rumah Bupati, - namun ia hanya bersedia mengerjakan 1 rumah -, dan ketika ditawarkan menjadi pegawai tetap ia menolak. Maklum, Soekarno telah menetapkan garis kebijakan Non-Kooperatif terhadap Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dalam perjuangannya.
Soekarno sangat membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Sejak di wisuda ia sudah tidak mendapatkan bantuan uang dari orang tuanya dan hampir gagal dalam menafkahi istrinya Inggit Garnasih. Ketika ada lowongan pekerjaan menjadi guru di Ksatrian Institut (KI) yang diselenggarakan oleh salah satu tokoh nasional, Setiabudi. Ksatrian Institut membutuhkan seorang guru yang bisa mengajar mata pelajaran Sejarah dan Matematika. Soekarno sangat berhasrat besar dalam bidang Sejarah, maklum, ia memang pelahap buku-buku sejarah peradaban umat manusia, pemikiran, dan memang terinspirasi dengan kejayaan Majapahit dan Sriwijaya. Namun sebaliknya dengan Matematika, ini adalah satu-satunya mata pelajaran yang paling tidak bisa ia atasi.
Karena membutuhkan uang untuk penghidupannya, ia tidak memiliki pilihan lain dan mendaftar pekerjaan sebagai Guru Sejarah dan Guru Matematika. "Ir. Soekarno, anda Insinyur yang berijazah, jadi tentu anda ahli dalam Matematika, bukankah begitu?" , tanya guru KI yang ditugaskan untuk mewawancarai para pelamar. Soekarno menjawab "oh ya pak" dan kembali menegaskan "ya pak, ya aku benar-benar menguasainya". Meskipun berbohong, Soekarno berhasil meyakinkan pewawancara bahwa ia benar-benar menguasai Matematika, bahkan ia berseloroh pelajaran itu adalah yang paling ia senangi. Termasuk saat Setiabudi menanyainya tentang kesanggupan mengajar Matematika, Soekarno kembali berbohong dan meyakinkan bahwa ia bisa mengajar Matematika. Apa boleh buat saat itu Soekarno memang sangat terpuruk dan membutuhkan uang, bahkan ia tidak mampu menyuguhkan teh manis untuk tamu yang datang ke rumahnya kala itu.
Ia berhasil diterima menjadi guru di sekolah tersebut. Namun masalah kembali muncul. Soekarno bingung bagaimana cara mengajar, maklum karena memang ia bukan lulusan Kweekschool (sekolah guru) dan tidak mendapatkan pengarahan sama sekali bagaimana panduan dalam melakukan pengajaran. Pendidikan di masa pergerakan nasional adalah barang yang eksklusif dan belum merata seperti sekarang ini. Guru-gurunya saja belum semuanya memiliki ijazah dalam pengajaran bahkan hanya lulusan HBS atau AMS (setingkat SMA), belum lagi dihadapkan dengan bidang keahlian. Asalkan berijazah, bisa baca tulis dan berhitung, seseorang sudah bisa menjadi guru saat itu.
Bukan Soekarno namanya jika gampang menyerah, dalam mengajar ia menggunakan metodenya sendiri. "Aku sama sekali tidak mengikuti teori bahwa anak-anak harus diajar berdasarkan kenyataan, gagasanku adalah membangkitkan semangat pada mereka", demikian pola pikir Soekarno dalam menggunakan metode mengajarnya. Di pelajaran Sejarah, ia menekankan pada muridnya akan pengertian dan arti penting sejarah itu sendiri daripada mengajarkan nama-nama, tahun, dan tempat. Padahal dalam pelajaran sejarah periodesasi nama dan tempat adalah yang penting juga diketahui dan diajarkan. Soekarno tidak mengajarkan pelajaran sejarah dengan pola penyampaian yang kronologis. Singkatnya, Soekarno tidak ingin mengajarkan sebuah sejarah pada anak didiknya yang hanya mampu mengingat fakta-fakta.
Sebaliknya ia memberikan latar belakang bagaimana peristiwa sejarah tersebut bisa terjadi. Dengan dibumbui dengan gaya orator nya yang khas, ia mendramatisir pelajaran sejarahnya seperti sebuah adegan sandiwara. Menggerak-gerakkan tangan, melotot, berteriak, memukul meja, dan sebagainya untuk mendramatisir tokoh yang ia kisahkan. Soekarno memang minim metode dalam pengajaran Sejarah, tapi ia benar-benar guru Sejarah yang penuh percaya diri dan disukai anak didiknya.
Nahas karirnya sebagai guru hanya berlangsung singkat dan mungkin hanya dalam beberapa minggu. Ia diberhentikan karena hal sepele dan sebenarnya juga karena ulah Soekarno sendiri. Saat ada kunjungan dari Departemen Pengajaran Hindia Belanda yang rutin melakukan evaluasi terhadap guru-guru, ia justru tanpa ragu mengajarkan tentang kebusukan imperialisme dengan mengutuk segala sistemnya. Bahkan ia tanpa ragu menyebutkan "Negeri Belanda Kolonialis Terkutuk!" di tengah pejabat Belanda yang sedang melakukan evaluasi di kelasnya. Penilik Belanda tersebut berang dengan pernyataan Soekarno. Di akhir jam pelajaran usai, ia terus terang mengatakan bahwa Soekarno tidak memiliki masa depan dalam pekerjaan sebagai guru dan lebih cocok sebagai seorang pengkhotbah. Tamat sudah karir Soekarno sebagai guru, sekolah Ksatria Institut terpaksa mendepaknya daripada lembaga tersebut yang ditutup oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Catatan:
Karir Soekarno sebagai guru diprediksi sekitar bulan Juni-Juli 1926. Sebab pada 26 Juli 1926 ia kemudian membuka biro teknik bersama Ir. Anwari teman sekelasnya. Tentang bagaimana metodenya dalam mengajarkan Matematika juga tidak ia sebutkan dalam buku biografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. Barangkali ia juga menggunakan metode versinya sendiri dalam mata pelajaran tersebut.
Sumber:
Cindy Adams, 2014, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Yayasan Bung Karno, Jakarta.
Penulis: M. Rikaz Prabowo
0 Comments:
Post a Comment