Soekarno saat masih muda (Dokumentasi: Istimewa) |
Ende, mendengar nama kota ini sebagian orang langsung tertuju pikirannya pada salah satu kota paling selatan di Indonesia. Tidak salah memang, akan tetapi kota yang berada di Provinsi NTT ini memiliki sejarah tersendiri dalam lintasan detik-detik perjuangan kemerdekaan RI. Di sinilah Soekarno dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1934 hingga 1938. Aktivitas politiknya di Bandung yang semakin "menjadi-jadi" rupanya semakin membuat gerah pemerintah kolonial dan lewat putusan pengadilan ia dinyatakan bersalah dan dibuang (diasingkan).
Terasa aneh memang dibuang di tanah air sendiri, masa-masa awal pembuangan menjadi hari terberat bagi Bung Karno yang tidak jarang sesekali diiringi tangis kesedihan. Ya, bagaimanapun Bung Karno adalah "Singa Podium" dan dapat dibayangkan bagaimana seekor singa yang biasa liar dan bebas apabila ia di kerangkeng.
Soekarno mencari jalan lain agar dirinya tetap semangat dan dekat dengan rakyat seperti, di Ende ia mulai bercengkrama dengan seluruh lapisan masyarakat dan profesi seperti Nelayan yang bernama Kota dan penjahit yang bernama Darham. Merasa sudah mendapatkan tenaga yang cukup, Soekarno dan sahabat-sahabatnya di Ende kemudian membentuk grup Tonil bernama Kelimutu. Tonil adalah suatu seni pertunjukan yang masing-masing pemainnya memainkan peranan tertentu atau bisa dibilang sandiwara, apabila terlalu jauh disebut sebagai drama. Pemberian nama grup "Kelimutu" diadopsi dari nama kawah tiga warna yang ada di Ende. Menurut Roso Daras, pendirian grup tonil merupakan kanalisasi dari kebuntuan pikir dan batin Soekarno menjalani hari-haru pembuangan yang berat di Ende.
Naskah Sarat Moral
Peranan Soekarno dalam grup tonil Kelimutu, selain sebagai salah satu pendiri juga sebagai penulis naskah. Dari tahun 1934-1938 beliau menulis tidak kurang dari 12 naskah tonil antara lain:
- Dr. Sjaitan
- Koetkoetbi
- Aero Dynamite
- Amok
- Rendo
- Rahasia Kelimutu
- Jula Gubi
- Anak Haram Djadah
- Maha Iblis
- Sanghai Rumba
- Gera Ende
- Indonesia '45
Seluruh naskah tonil karangan Soekarno apabila dianalisis dengan seksama memiliki pesan moral, terutama pesan kemerdekaan. Misalnya dalam naskah Dr. Sjaitan yang terinspirasi dari kisah Frankenstein, tokoh utama "Boris Karloff" digambarkan sebagai orang yang dapat menghidupkan mayat dengan memindahkan organ-organ tubuh dari manusia lain dibantu kekuatan petir. Pesannya bahwa Indonesia yang diibaratkan tubuh yang sudah tidak bernyawa akibat penjajahan dapat bangkit dan hidup lagi.
Naskah tonil yang dibuat Soekarno sebagian besar berkelanjutan, artinya naskah tonil tersebut seperti cerita yang bersambung. Contohnya dalam judul Koetkoetbi yang menggambarkan sebuah robot perusak yang membawa biang kesengsaraan pada manusia. Koetkoetbi inilah personifikasi sosok imperialis pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang menjajah Indonesia menurut Soekarno. Nah, dalam naskah Aero Dynamite robot tersebut berupaya dihancurkan oleh sebuah dinamit yang besar. Dinamit tersebut merupakan personifikasi dari kekuatan rakyat yang bersatu padu menghancurkan imperialisme.
Pentas di Gedung Keparokian
Gedung Immaculata Keparokian Ende sekitar tahun 1934 (Dokumentasi: Roso Daras) |
Pementasan grup tonil adalah tantangan lain setelah berhasil menulis naskah tonil. Permasalahannya di Ende saat itu belum ada gedung pertemuan publik yang besar, belum lagi ditambah masalah perizinan dari Residen Ende. Kedua hal tersebut akan menjadi batu sandungan bagi pentas grup Tonil Kelimutu. Beruntungnya Soekarno memiliki sahabat Peter Gerardus Huijtink, pemimpin Keparokian dan Gereja Katedral di Ende. Kedua pemimpin berbeda masa dan latar belakang ini mulai berkenalan saat Soekarno diasingkan ke Ende. Huijtink lah yang bersedia menjadi penjamin Kepolisian Ende terhadap izin penyelenggaraan pentas tonil Kelimutu, termasuk mengizinkan Gedung Immaculata di dalam keparokian Katedral Ende digunakan untuk pementasan.
Huijtink dapat dianggap sebagai orang yang mendukung perjuangan Soekarno. Setidaknya ia tidak anti terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia. Akibat bersedia menjadi penjamin sekaligus penyedia tempat pementasan tonil, Huijtink juga ditunjuk oleh kepolisian untuk menyensor naskah-naskah tersebut. Hasilnya Huijtink pura-pura tidak tahu adanya pesan-pesan moral dan kemerdekaan dalam naskah tersebut, dalam artian ia meloloskan seluruhnya dan dinyatakan dapat dipentaskan.
Gedung Immaculata Keparokian Katedral Ende memiliki kapasitas 500 tempat duduk, termasuk memadai untuk mementaskan tonil. Penonton dikenakan karcis masuk apabila ingin menyaksikan tonil, peminatnya bukan hanya warga pribumi melainkan juga orang-orang Belanda. Akan tetapi sering terjadi kegaduhan yang dilatar belakangi masalah tempat duduk. Ya, orang Belanda sering tidak terima apabila mendapatkan karcis tempat duduk di pinggir atau belakang sehingga sering menghardik orang pribumi untuk mendapatkan duduk yang strategis. Disinilah peran Soekarno menengahi kegaduhan tersebut, ia tegas terhadap aturan pembagian kursi menurut karcis. Walhasil orang Belanda hanya bisa bersungut-sungut namun tetap mematuhi aturan tersebut saat ditengahi oleh Soekarno.
Gotong Royong Dalam Pementasan
Ibrahim H, salah satu sahabat Soekarno memegang poster jadwal pementasan tonil kelimutu. (Dokumentasi: http://www.sulindomedia.com/) |
Adapun untuk urusan pendanaan dilakukan dengan cara swadaya, mengumpulkan uang dari saku pribadi masing-masing. Apabila untung tidak jarang pendanaan juga digunakan dari keuntungan penjualan karcis. Akan tetapi satu hal yang pasti untuk menyukseskan pendanaan Inggit Garnasih sampai-sampai menggadaikan perhiasan miliknya agar bisa menutupi ongkos pementasan.
Kabar yang berhembus saat ini, naskah-naskah tonil ciptaan Soekarno tersebut hilang. Jika ada yang dipamerkan di sebuah museum maka itu adalah salinan, sedangkan yang asli tidak diketahui dengan pasti keberadaannya bahkan di lingkungan keluarga/ahli warisnya sendiri. Semoga segera mendapatkan titik terang.
Sumber:
Roso Daras, 2014. Total Bung Karno 2: Serpihan Sejarah Yang Tercecer, Penerbit Imania, Jakarta.
Penulis:
M. Rikaz Prabowo
0 comments:
Post a Comment