Laskar-laskar yang membawa bambu runcing (Sumber: kabarin.co) |
Bambu runcing termasuk senjata tradisional yang mudah dan cepat, dalam artian mudah untuk ditemukan dan proses pembuatannya tidak lama. Pohon bambu melimpah diseluruh wilayah Indonesia, jika piawai tidak sampai 5 menit batang pohon bambu dapat disulap menjadi bambu runcing yang sudah siap digunakan.
Penggunaan bambu runcing sebagai alat perjuangan mulai marak sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia 1942-1945. Bambu runcing atau Takeyari dalam bahasa Jepang digunakan oleh tentara pendudukan untuk melatih badan-badan perjuangan yang mereka buat. Seperti PETA, HEIHO, dsb. Bahkan pemuda-pemudi desa juga diajarkan cara menggunakan Takeyari. Bukan tanpa sebab Jepang mengajarkan penduduk menggunakan bambu runcing, melainkan untuk menghalau tentara sekutu yang diterjunkan dari udara (terjun payung). Pada perkembangannya justru bambu runcing juga sedikit banyak digunakan untuk mengusir Jepang.
Soal benar atau tidak bambu runcing digunakan sebagai senjata perjuangan hal ini masih menjadi keraguan. Di suatu sisi keberadaan bambu runcing memang nyata ada dalam perjuangan Revolusi fisik 1946-1949, tetapi bagaimanapun juga penggunaan bambu runcing tidak akan pernah menang melawan senjata api dan meriam. Menurut (Alm) Jend. A.H. Nasution bambu runcing digunakan dalam perjuangan adalah setengah benar. Dalam tahap awal kemerdekaan ketersediaan senjata api masih sangat terbatas, pejuang banyak yang mempersenjatai diri dengan bambu runcing. Bambu runcing ini kemudian digunakan untuk mendapatkan senjata api dari tentara Jepang ataupun tentara Belanda. Saat di medan perang nyata, bambu runcing hanya digunakan sebagai senjata "penyemangat".
Ada kisah menarik dari penggunaan bambu runcing sebagai senjata para pejuang di masa awal kemerdekaan. (Alm) Jenderal Moestopo yang pernah penulis ceritakan di tulisan sebelumnya, saat menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi Surabaya dan menyelesaikan pendidikan PETA pernah membuat tulisan ilmiah sebagai tugas akhirnya dengan judul "Penggunaan Bambu Runcing Yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Sebagai People Defence and Attack serta Biological Warfare". Tidak ayal judul tulisannya tersebut mendapaatkan pujian luar biasa oleh pihak Jepang. Konon apabila memberikan tahi kuda di pucuk bambu runcing dan berhasil menusuk tentara musuh, maka akan mengakibatkan infeksi dan mati secara perlahan. Oleh sebab itu bambu runcing menjadi senjata biologis yang beracun pucuknya.
Tidak cukup disitu, para pejuang pun membekali bambu runcingnya dengan aji-ajian atau rapalan doa. Apa maksudnya tidak diketahui dengan pasti, namun pemilik bambu runcing (pejuang) menginginkan bambu runcing miliknya "lebih dari sekedar" bambu runcing biasa. Banyak dari mereka yang pergi menemui Kiai, praktik ini ditemukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Parakan, Temanggung ada figur Kiai Haji Subkhi yang dijuluki Kiai Bambu Runcing. Ia menciptakan bambu runcing yang disepuh doa untuk digunakan para pejuang republik di medan perang. Pejuang yang datang kepadanya juga bukan hanya dari kaum santri, melainkan juga dari kelaskaran di sekitar wilayah Surakarta. Soal apakah benar bambu runcing yang disepuh aji-ajian doa "lebih dari sekedar" bambu runcing atau katakanlah memiliki kekuatan magis? Hal in belum dapat dibuktikan kebenarannya karena tidak ada penelitian yang konkrit.
Terlepas dari kisah diatas, keberadaan bambu runcing sudah terlanjur mendapatkan stigma di kalangan masyarakat yang digaungkan pemerintah Orde Baru bahwa "dengan bambu runcing saja Indonesia bisa mempertahankan kemerdekaan?". Padahal bambu runcing hanya salah satu jalan perjuangan, di luar itu pemerintah Indonesia juga menggunakan jalan diplomasi dan perang terbuka dalam berjuang. Hingga saat ini puluhan monumen atau tugu bambu runcing masih berdiri kokoh di berbagai kota di Indonesia sebagai lambang "ampuhnya" senjata tradisional ini.
Sumber:
0 comments:
Post a Comment