Misi Penyelamatan Bendera Pusaka

Momentum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 merupakan suatu hal yang menggugah hati banyak rakyat, akhirnya selama berpuluh-puluh tahun melawan kebiadaban kolonialisme Belanda sejak 1800an negeri yang bernama Indonesia itu dapat diproklamirkan kemerdekaannya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya proklamasi kemerdekaan yang dilaksanakan di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta tersebut diiringi dengan upacara pengibaran bendera kebangsaan merah putih di halamannya. Tekad bulat sudah terpatri di hati Soekarno dan seluruh hadirin sekali merah putih berkibar, segenap rakyat akan mempertahankan dan siap berkorban apapun apabila ada pihak yang ingin menurunkan sang saka merah putih. Nah, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, sekitar akhir bulan Agustus 1945 tentara sekutu sudah mulai mendarat di Indonesia dengan tujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang dan memulangkannya ke negara asalnya. Akan tetapi datangnya sekutu ternyata memiliki maksud lain yakni untuk mengembalikan Indonesia kepada Hindia Belanda yang berarti kembali melanggengkan kolonialisme.
Tidak berapa lama perang secara terbuka pecah antara tentara republik dengan Inggris maupun NICA Belanda, Soekarno yang saat itu sudah diangkat menjadi Presiden pertama Republik Indonesia mencium intelejen Belanda sedang mengincar sang bendera pusaka. Nampaknya tentara Belanda tidak puas jika hanya melenyapkan kekuatan tentara republik, namun juga melenyapkan simbol pemersatu antara lain bendera pusaka. Presiden Soekarno, sebelum hijrah ke Yogyakarta telah mewanti-wanti kepada ajudan-ajudannya untuk mengamankan bendera pusaka apapun yang terjadi meskipun ia akhirnya ditangkap bahkan gugur di tangan Belanda.

Pengibaran bendera kebangsaan pada hari proklamasi
kemerdekaan RI 17 Agustsu 1945
(Dokumentasi: istimewa)
Adalah Muthahar, Ajudan Bung Karno yang menerima perintah untuk mengamankan bendera tersebut. Bendera pusaka kemudian diamankan dari tangan ke tangan, artinya bendera tersebut diamankan secara mobile dari pejuang satu ke pejuang yang lain, dari rumah satu ke rumah yang lain oleh Muthahar.   dr. Soeharto, dokter pribadi Soekarno, pernah mencatat bagaimana sang dwi-warna tersebut pernah mampir  di rumahnya untuk diamankan. Padahal selama ini ia sendiri tidak tahu dimana bendera tersebut berada di akhir tahun 1945 saat Belanda memulai serangan kepada RI hingga bulan April 1949. Sebab suatu malam di bulan April 1945 ia kedatangan tamu misterius yang masuk menyelinap di rumahnya, tidak lain itu adalah Muthahar. Tujuan kedatangannya apalagi kalau bukan untuk menitipkan sang bendera di kediaman dr. Soeharto. Untuk tujuan keamanan, bendera merah putih saat itu memang sengaja tidak dibuat utuh, artinya jahitannya dilepas sehingga kain berwarna merah dan berwarna putih menjadi bagian tersendiri. dr. Soeharto juga menyimpan bendera tersebut dengan hati-hati, kedua bagiannya tidak disimpan dalam suatu tempat namun jauh terpisah untuk mengelabuhi apabila suatu waktu tercium oleh Belanda dan dilakukan penggeledahan di rumahnya.

Bendera tersebut mampir tidak terlalu lama di rumah dr. Soeharto jalan Kramat 128 Jakarta Pusat. Selang beberapa hari Muthahar kembali datang untuk mengambil bendera tersebut dan menitipkannya di tempat lain. Tidak terhitung berapa kali, mungkin hingga puluhan rumah sang saka merah putih dimampirkan oleh Muthahar dengan tujuan untuk disimpan/diselamatkan agar jangan sampai jatuh ke tangan Belanda. Keberadaan sang saka merah putih sendiri baru aman paska pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949 dan disimpan dengan baik oleh Kesektariatan Kepresidenan RI. Sedikit informasi tentang Mutahahar yang bernama lengkap Habib Husein Muthahar yang dilahirkan pada 05 Agustus 1916 di Semarang ini tercatat pernah menjabat sebagai ajudan pribadi Presiden Soekarno berpangkat Mayor, sekretaris Panglima ALRI, hingga menjadi Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Ia juga tercatat sebagai pencipta lagu nasional 17 Agustus dan Syukur, selain itu pada tahun 1969-1973 ia menjadi duta besar untuk tahta suci Vatikan. Beliau wafat di Jakarta pada 09 Juni 2004. 


Sumber:
Roso Daras, 2014. Total Bung Karno Jilid 2: Serpihan Sejarah Yang Tercecer, Penerbit Imania, 

0 Comments:

Post a Comment