Bung Karno Meramalkan Pak Harto Menjadi Penggantinya

Suharto saat meninjau pengangkatan 
jenazah pahlawan revolusi di Lubang Buaya,
Jakarta, sekitar Oktober 1965
(Source: Marcel Jack, via Indonesia History in
Colorized Photo)
Tepat lima puluh satu tahun yang lalu pada 1 Oktober 1965, Rakyat Indonesia di rundung berita duka tentang tewasnya sejumlah Jenderal petinggi Angkatan Darat dan perwira kepolisian. Tewasnya sejumlah petinggi AD dan perwira Polri tersebut di ketahui dibunuh dan mayatnya di buang ke dalam suatu sumur tua di daerah lubang buaya. Peristiwa yang lebih sering disebut Gerakan 30 September tersebut menurut pernyataan resmi Pemerintahan Orde Baru adalah perbuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Diduga dalam "Malam Jahanam" tersebut PKI telah merencanakan untuk melakukan penangkapan dan pembunuhan sejumlah Jenderal yang dianggap menghalangi rencana PKI, -kontra revolusi- begitu istilah mereka. 


Lima puluh satu tahun peristiwa tersebut telah berlalu, berbagai versi dan tafsiran beredar. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti bagaimana peristiwa ini sebenarnya. Apa motifnya, siapa pelakunya, siapa dalangnya, hingga saat ini sangat gelap. Akan tetapi fakta bahwa peristiwa ini menjadi titik balik runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno dan menjadi kesempatan berkuasanya Suharto menjadi Presiden RI sangat sulit dibantah. Banyak pendapat di masyarakat yang menyebutkan bahwa Suharto sengaja memanfaatkan peristiwa ini agar dirinya bisa berkuasa, dengan berbagai intrik, strategi, dan sebagainya. Akan tetapi ada pula yang menganggap Suharto-lah pahlawan yang memainkan peranan sentral pembrangusan orang-orang PKI/yang diduga PKI yang dituduh sebagai ancaman negara.

Terlepas dari itu semua, pada tahun 1963 dan 1964 Presiden Sukarno sebenarnya pernah meramalkan Suharto sebagai penggantinya. Benarkah? Apakah ini berita bohong? Adalah Ki Utomo Darmadi, Purnawirawan TNI-AD yang terakhir kali berpangkat Kapten. Ia tahu banyak soal pergantian kekuasaan kala itu sebab berada di ring 1 istana. Tomi, sapaan akrabnya yang juga merupakan adik dari tokoh pemberontakan PETA Blitar Shudanco Supriyadi ini mengatakan justru Suharto adalah penyelamat Bung Karno. Menurutnya seandainya Suharto tidak bertindak, Bung Karno akan dieret-eret di jalanan oleh rakyat. Ia juga menuturkan Presiden Sukarno sudah pernah meramalkan Suharto lah sebagai penggantinya. 


Kapten (Purn.) Utomo Darmadi
(Dokumentasi: images.detik.com)
Ramalan itu terjadi dua kali. Pertama, pada tahun 1963 ketika Presiden Sukarno memilih Panglima Operasi Dwikora yaitu Marsekal Oemar Dhani (KSAU). Pemilihan Oemar Dhani tersebut membuat Suharto kecewa, sebab ia telah sukses memimpin Operasi Trikora sebagai Panglima Komando Mandala dalam pembebasan Irian Barat. Pikirnya, mengapa tidak dirinya saja dipilih karena lebih berpengalaman, tahu apa Oemar Dhani soal operasi di darat dari pada orang-orang angkatan darat sendiri? Kekecewaan tersebut membuat dirinya menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan maksud mengundurkan diri dari dinas ketentaraan. Hal itu membuat Presiden Sukarno bertanya kepada Suharto, "Nek pensiun, trus kowe arep dadi apa?" (Kalau pensiun, terus kamu mau jadi apa?). Suharto kemudian menjawab "Menawi kepareng, dados Gubernur Irian Jaya" (Kalau diizinkan, jadi Gubernur Irian Jaya). Nah, jawaban Sukarno kemudian inilah yang dianggap sebagai bentuk ramalan "Ora....kowe dudu gubernur..teruslah tirakat..kowe sak nduwure gubernur" (Tidak...kamu bukan gubernur, teruslah bertirakat, kamu lebih tinggi daripada Gubernur). Apabila diperhatikan jabatan apa yang lebih tinggi daripada Gubernur jika itu menyangut distribusi kekuasaan secara vertikal, sebagai Presiden bukan?

Kedua, ramalan ini terjadi pada tahun 1964 dan disaksikan sendiri oleh Ki Utomo Darmadi. Ramalan tersebut terjadi saat sidang kabinet, beberapa petinggi militer kali itu juga hadir di antaranya Mayjen Ginting, Mayjen Sukowati, Brigjen Juhartono, Brigjen Ahmadi, dan Kapten Utomo Darmadi sendiri. Dalam suasana sidang tersebut, Presiden Sukarno bertanya dengan santainya kepada Ahmadi "Mad, yang nanti mengganti saya siapa?", Lalu dijawab secara spontan oleh Ahmadi "Mas Yani Bung", merujuk pada Jenderal Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Tidak diduga, jawaban tersebut membuat Presiden Sukarno mengernyitkan dahi - membelalakkan mata, pertanda ada suatu yang salah dalam jawaban tersebut. "Bukan! yang mengganti, itu tuh, yang mengenakan celana kombor" sambil melirik ke arah Suharto yang berada agak jauh di sudut ruangan yang lain. Jawaban tersebut sekali lagi dianggap sebagai sebuah ramalan.

Pasca kejadian tersebut banyak petinggi AD di Front Nasional bergunjing, bahkan ada yang memandang remeh Pak Harto dengan mengungkit latar belakang pendidikannya yang tidak sampai sekolah tingkat atas "kok" jadi Presiden? Ngimpi! Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, ramalan yang tidak sengaja tersebut benar-benar menjadi kenyataan pada 1967 saat ia ditunjuk menjadi Presidium Kabinet dan akhirnya sukses menjadi Presiden yang diangkat oleh MPR pada 1969. Sebaliknya, para Jenderal yang mencibirnya dan dekat dengan Presiden Sukarno yang notabene adalah rekannya sendiri malah ada yang menjadi pesakitan di "hotel prodeo" ala Orde Baru. 

Ramalan yang benar-benar terjadi dan menjadi sejarah.


Sumber:
Roso Daras, 2014. Total Bung Karno II: Serpihan Sejarah Yang Tercecer, Penerbit Imania, Jakarta.

0 Comments:

Post a Comment