Senapan Dalam Peti Palang Merah, Kisah Indonesia Bantu Mujahidin Afganistan

Mujahidin Afganistan dalam perang melawan Uni Soviet 1978-1989.
(Sumber: RBTH)

Kawasan timur tengah merupakan suatu wilayah yang sering sekali diliput oleh konflik bersenjata. Bukan hanya kini, tapi sudah sejak dekade 1950an saat perang Arab-Israel. Pada saat puncaknya Perang Dingin sekitar tahun 1970an, Afganistan di invasi oleh tentara Uni Soviet untuk mempertahankan pemerintahan PM Nur Muhammad Taraki yang beraliran komunis. Di sisi lain, Afganistan yang sebagian besar penduduknya beragama Islam menolak pemerintahan Muhammad Taraki hingga menyulut terbentuknya kelompok Pejuang Mujahidin yang oposisi dan dibantu oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Jalan cerita ini persis seperti kebanyakan konflik-konflik lain sekitaran perang dingin yang dilatar belakangi oleh ideologi. 


Penderitaan yang disebabkan invasi Uni Soviet kepada rakyat Afganistan mengundang perhatian dunia. Banyak rakyat Afganistan tewas sia-sia atau terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya. Walhasil, gelombang bantuan kemanusiaan pun mengalir ke negeri yang tidak memiliki laut tersebut. Tidak terkecuali Indonesia yang juga berencana mengirim bantuan, namun juga memiliki maksud lain. Yaitu, secara tidak langsung membantu mujahidin Afganistan.


Operasi Babut Mabur

Pejuang lokal Mujahidin bukanlah tandingan yang sepadan apabila harus melawan tentara Uni Soviet yang sangat kuat. Dikutip dari Majalah Angkasa, pada 18 Februari 1981 pimpinan intelejen RI Letjen TNI L.B. Moerdani dan beberapa staf intelejen Menhakam RI melakukan pertemuan khusus dengan kepala intelejen Pakistan. Pertemuan rahasia ini membahan permintaan pejuang Mujahidin dan intelejen Pakistan dalam membantu perjuangan berupa logistik, obat-obatan, dan persenjataan. Pakistan adalah negara yang berbatasan langsung dengan Afganistan. Secara diam-diam Pakistan mendukung perjuangan Mujahidin Afganistan dan wilayahnya terdapat basis-basis pelatihan untuk pejuang Mujahidin dan jalur gelap masuknya bantuan termasuk senjata. Hasil pertemuan tersebut, pemerintah RI setuju!

Dengan persetujuan Presiden Soeharto segera senjata-senjata seperti senapan, granat, dan amunisi dikumpulkan dari gudang-gudang yang disimpan di seluruh Indonesia. Mengapa senjata Uni Soviet yang dikumpulkan? Penulis tidak bisa berspekulasi banyak, akan tetapi paska peristiwa G-30/S memang banyak senjata buatan Uni Soviet yang "digudangkan". Secara kebetulan senjata Uni Soviet seperti senapan AK-47 yang legendaris itu memang sangat cocok digunakan di daerah ekstrem layaknya Afganistan karena terkenal bandel, awet, dan mudah perawatan. Senjata-senjata tersebut kemudian diangkut ke Jakarta dan disimpan di gudang khusus milik Staf Intelejen Hankam, Pusat Intelejen Strategis, dan Lanud Halim Perdanakusuma.

Setelah terkumpul senjata-senjata itu cukup untuk mempersenjatai 2 batalion infanteri. Satu batalion infanteri biasanya berkekuatan 700-1000 prajurit. Akan tetapi ada "PR" lain sebelum senjata tersebut dikirim ke Afganistan, yakni menghapus nomor seri senapan terlebih dahulu. Hal ini penting agar informasi tentang setiap senapan tersebut menjadi kabur. Sebab, setiap nomor seri pada senapan dapat dilacak kapan tahun pembuatannya, siapa pemesannya, dan dikirimkan ke negara mana. Untuk itulah nomor seri mesti dihapus agar pihak Uni Soviet yang notabene sedang melawan Mujahidin tidak mengetahui bahwa senapan tersebut bantuan Indonesia.

Bulan Juli 1981 senjata-senjata tersebut kemudian dikemas dalam sebuah peti dan diberi label palang merah. Tentu saja hal ini untuk mengelabuhi pemeriksaan, bahkan senjata-senjata tersebut sengaja dicampur atau disisipkan bersama peti-peti yang berisikan selimut, perban, obat-obatan, dsb. Setelah melalui kajian, akhirnya pengiriman bantuan tersebut menggunakan pesawat terbang. Pesawat yang digunakan adalah Boeng 707 milik maskapai Pelita Air Service. Jenis pesawat ini dipilih karena memiliki daya angkut yang besar dan memiliki jarak tempuh yang jauh. Pilot yang dipilih untuk menjalankan misi rahasia ini pun yang terbaik, antara lain Capt. Arifin, Capt. Abdullah, dan Capt. Danur dari maskapai Pelita Air Service dan Garuda Indonesia yang keduanya merupakan maskapai "plat merah".

Boeing 707 yang pernah digunakan untuk mengirim bantuan ke Afganistan
kemudian di hibahkan kepada TNI-AU
(Dokumentasi: airliners.net)


Penerbangan pun diambil rute yang agak memutar dengan memilih transit di negara-negara friendly country. Dari Jakarta tidak langsung mengarah ke Afganistan, tetapi mendarat di sebuah pulau di Samudera Hindia, Pulau Diego Garcia, milik Inggris (sekutu Amerika) yang jaraknya sekitar 3000mil laut. Barulah dari Diego Garcia menuju ke Rawalpindi, Pakistan Utara. Sesampai di Rawalpindi muatan bantuan di bongkar dan dimuat ke dalam truk tentara Pakistan yang memang sudah menunggu. Setelah itu mereka bergerak ke Nangarhar, Afganistan, melalui Peshawar dan melewati Khyberr Pass. Tentu saja iring-iringan tersebut menyabarkan diri sebagai konvoi bantuan kemanusiaan agar tidak terlacak oleh pihak Uni Soviet. Jadi, sedikit banyak Indonesia memiliki andil dalam perjuangan Mujahidin Afganistan dalam mengusir penjajahan pendudukan Uni Soviet.


Sumber:





0 comments:

Post a Comment