dr. Achmad Mochtar, dokter yang rela menjadi tumbal malpraktik dokter Jepang (Dokumentasi: jakartanews.co) |
Masa pendudukan Jepang memang dipenuhi dengan berbagai peristiwa kemanusiaan yang menyayat hati, kali ini korban dari kekejaman tentara pendudukan mereka adalah sekelompok Dokter. Hal ini berawal dari sebuah malpraktik terhadap Romusha yang akan dikirim untuk kerja paksa. Bagaimana bisa? Pekerja Romusha yang akan dikirim oleh Jepang biasanya akan melewati dahulu tahap vaksinisasi. Para pekerja paksa tersebut diberikan berbagai vaksin agar daya tahan tubuhnya yang lebih kuat. Namun nahas, pada Juli 1944 sekira 900 Romusha tewas yang diduga karena kesalahan pemberian vaksin oleh dokter Indonesia.
Tentang peristiwa ini, Ir. Soekarno dalam buku otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams menggambarkan peristiwa itu sebagai berikut:
"Dr. Mukhtar mengepalai laboratorium yang mendapat tugas menyuntik ribuan romusha dengan serum antitetanus sebelum mereka diberangkatkan. Vaksinnya salah. Dalam waktu tiga hari puluhan ribu orang mati. Jumlah itu di luar dari apa yang bisa kuberikan kepada Jepang untuk penggantinya"
Nah, terkait jumlah tewas hingga saat ini memang masih tidak ada catatan yang pasti. Jika Soekarno menyebut puluhan ribu, menurut www.historia.id menyebutkan sekitar 900 orang dan detik.com menyebut antara 400-900 orang. Dr. Mukhtar yang dimaksud oleh Soekarno adalah dr. Acmad Mochtar. Ia adalah kepala Lembaga Eijkman, suatu lembaga penelitian medis dan biologi di Jakarta yang mulai berdiri pada 1888. Mochtar lahir di Sumatera Barat pada 1892, ia lulus di STOVIA pada 1916 dan kemudian meraih gelar Doktoral di Universitas Amsterdam. Ia menjadi pribumi pertama yang menjabat lembaga riset medis terpopuler di Hindia Belanda tersebut sejak 1916. Pada saat program romusha digalakkan, lembaga inilah yang menyiapkan vaksin-vaksin untuk disuntikkan kepada pekerja tersebut. Akan tetapi pada Juli 1944 kejanggalan terjadi setelah dokter-dokter Jepang menyuntikkan serum vaksin. Para romusha yang telah disuntik tersebut banyak yang mengalami wabah penyakit dan akhirnya selama 3 hari setelah penyuntikan ratusan dari mereka tewas di Klender, Jakarta.
Versi lain juga menyebutkan ihwal peristiwa ini. Kematian ratusan romusha bukanlah disebabkan oleh vaksin dari Lembaga Eijkman, melainkan siasat Jepang yang mencari kambing hitam akan kesalahan dokter-dokternya. Dokter Jepang sendirilah yang menyuntikkan vaksin disentri, kolera, dan tipes dari serum-serum yang berasal dari mereka sendiri. Untuk mencari penyebabnya, Jepang memerintahkan Lembaga Eijkman untuk mengautopsi sampel dari ratusan korban tersebut untuk ditelusuri apa penyebab kematiannya. Saat hasil autopsi keluar dan ditemukan banyak terdapat racun di tubuh korban, Jepang malah menuduh kematian ratusan romusha tersebut karena kesalahan mereka. Padahal para romusha tersebut memang sudah mati terlebih dahulu di tangan dokter-dokter Jepang sebelum di autopsi.
Paska kejadian tersebut, pada Oktober 1944 seluruh Dokter, Peneliti, dan Staf di Lembaga Eijkman ditangkap oleh Kenpetai (Polisi Militer Jepang). Di bawah introgasi yang kejam oleh Kenpetai dan berbagai siksaan mulai dari dipukul hingga disetrum banyak dokter dan peneliti yang tewas pada penahan tersebut. Pada Januari 1945 Jepang mulai melakukan pembebasan tahanan, namun Jepang menjatuhkan hukuman mati kepada Achmad Mochtar atas tuduhan melakukan malpraktik dan sengaja menyuntikkan bakteri ke tubuh romusha. Pada Juli 1945 ia dipancung dengan sebilah pedang samurai dan jasadnya dimakamkan di Ancol.
Menurut J.K. Baird, direktur Clinical Resarch Unit Oxford University yang melakukan penelitian terhadap peristiwa itu mengungkapkan bahwa Dokter Achmad Mochtar dipancung Jepang karena rela mengaku agar teman-teman ilmuwan dan peneliti lainnya bisa bebas. Ia sengaja menjadi tumbal agar rekan-rekan sejawatnya tetap bisa brkarya demi ilmu pengetahuan Indonesia yang akan segera merdeka. Masih ditambahkan oleh Baird, Jepang sengaja memfitnah para peneliti Indonesia tersebut untuk menutupi kegagalan dokter-dokter Jepang dalam menciptakan vaksin tetanus untuk kebutuhan para tentara dan pilot Jepang dan sebenarnya mereka menggunakan romusha sebagai "kelinci percobaan" serum vaksin itu. Sungguh tuduhan malpraktik yang merupakan konspirasi licik Jepang. Namanya kini diabadikan mejadi RSUD di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Menurut J.K. Baird, direktur Clinical Resarch Unit Oxford University yang melakukan penelitian terhadap peristiwa itu mengungkapkan bahwa Dokter Achmad Mochtar dipancung Jepang karena rela mengaku agar teman-teman ilmuwan dan peneliti lainnya bisa bebas. Ia sengaja menjadi tumbal agar rekan-rekan sejawatnya tetap bisa brkarya demi ilmu pengetahuan Indonesia yang akan segera merdeka. Masih ditambahkan oleh Baird, Jepang sengaja memfitnah para peneliti Indonesia tersebut untuk menutupi kegagalan dokter-dokter Jepang dalam menciptakan vaksin tetanus untuk kebutuhan para tentara dan pilot Jepang dan sebenarnya mereka menggunakan romusha sebagai "kelinci percobaan" serum vaksin itu. Sungguh tuduhan malpraktik yang merupakan konspirasi licik Jepang. Namanya kini diabadikan mejadi RSUD di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sumber;
Cindy Adams, 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
0 Comments:
Post a Comment