Kisah 'Kalong' Pemburu Manusia Merah Paska Tragedi 65

Ilustrasi berita penangkapan Suparjo yang terlibat dalam
PKI. (Dokumentasi: Istimewa)
Kalong adalah mamalia yang dapat terbang karena memiliki sayap dan termasuk hewan yang aktif di malam hari. Jika tidak jeli membedakan, Kalong seringkali disamakan dengan Kelelawar. Kalong memang masih berkerabat dengan Kelelawar, tapi tubuhnya terlihat lebih besar. Kalong umumnya memakan buah-buahan dan memburu hewan-hewan kecil seperti serangga.
Berbicara tentang kalong maka tetiba saja terlintas dipikiran penulis tentang suatu regu tentara yang memiliki tugas 'memburu' manusia-manusia yang dianggap menggiurkan bagi kalong, yakni memiliki catatan merah.Regu ini dibentuk paska Gerakan 30 September 1965. Ya, regu tersebut dalam menjalankan aksinya dengan sandi Operasi Kalong. Istilah kalong merujuk pada seluruh anggota regu yang tentulah ia tentara, sedangkan manusia yang memiliki catatan merah siapalagi kalau bukan orang yang diduga terlibat dalam PKI. 
Tim Operasi Kalong dibentuk oleh Kodam V/Jaya pada 15 Agustus 1966. Tugas mereka tidak terlalu berat, bagi anggotanya mungkin 'menyenangkan', yakni menangkap, menginterogasi, lalu mengklasifikasikan orang-orang berdasarkan beratnya tuduhan keterlibatan dengan PKI dan pembunuhan 7 pahlawan revolusi pada 1965. Tim ini dipimpin oleh Mayor Suroso dengan Kapten Rosadi, nama kalong mengilhami tim ini karena jika siang hari para anggotanya berada di kantor dan barulah ketika malam melakukan aksinya. Sedangkan sarang mereka berada di Jalan Gunung Sahari II No 8, Kemayoran, Jakarta yang riwayatnya pernah menjadi markas tukang becak. Menurut penuturan berbagai pihak yang pernah menjadi 'anak asuh' kalong, bentuk sarang atau rumah tersebut masih sama hingga sekarang. Jika pembaca ingin mengetahui seperti apa bentuk sarang kalong ini, bisa menggunakan fasilitas Google Street View.

Di bagian dalam sarang kalong, menurut penuturan Jawito yang dijebloskan ke tempat tersebut karena keanggotannya di Pemuda Rakyat, disulap menjadi beberapa bagian ruang seperti aula, bagian administrasi, dan ruang interogasi. Sedangkan ruang sisanya digunakan untuk tempat menahan tahanan yang muat sekitar 200 orang. Para tahanan tidur di ruangan tersebut berselasar dan berdempetan  namun hanya disediakan 2 kamar mandi yang ala kadarnya.

Menginap di sarang kalong tentunya bukan pengalaman yang menyenangkan, sejumlah program pelatihan kejujuran pun sudah disiapkan oleh tim kalong. Para manusia merah yang dituduh terlibat peristiwa G-30-S ataupun menjadi anggota dari PKI dan underbouw nya harus melewati sejumlah tahapan agar berhasil dikorek sebuah kejujuran informasi. Misalnya, menyebutkan siapa-siapa saja teman atau rekannya di organisasi terlarang tersebut, apa perannya, dan apa peran anda pada peristiwa G-30-S. Metode yang digunakan untuk mengorek informasi menurut Syaiful, eks-tapol yang ditangkap kalong pada 1968 karena keanggotaannya di Lekra, penyiksaan sudah menjadi prosedur tetap tim itu. Penyiksaan untuk mengorek kejujuran informasi bukan hanya sekedar di sundut menggunakan rokok atau dipukul, melainkan hingga disetrum dan dipecut menggunakan ekor pari.

Masih dituturkan oleh Jawito, adapula metode lain yakni menginjak tahanan dengan sepatu lars. Ia sendiri pernah disetrum oleh tim kalong yang menurutnya sekali setrum bisa sampai 5 menit dan luar biasa sakitnya. Tahanan lain seperti Tan Swie Ling juga menuturkan temannya pernah dipecut 80 kali dengan ekor pari, sedangkan metode favorit lainnya yakni jurus "ayat kursi" dimana jari kaki tahanan digencet dengan kursi yang diduki petugas. Penuturan lain dari Bedjo Untung, ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 (YPKP) mengungkapkan bagaimana beratnya kehidupan tapol terutama di sarang kalong. Ia yang ditangkap pada 1970 karena menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), pada awal kedatangannya menyaksikan puluhan tahanan luka-luka tanpa ada perawatan. Jatah makan disana sangat minim, yang paling sering hanya diberikan 4 sendok nasi dengan potongan kecil tempe rebus dan sayur bayam. Banyak tahanan yang menderita beri-beri dan penyakit lain karena hidup berdesakan dan makanan yang minim gizi. Orang yang tidak tahan dengan kehidupan disana ada yang sampai bunuh diri. Menurut Bedjo, ada 5 tapol sepanjang ia ditahan yang melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri atau menyeburkan diri ke sumur.

Pada kenyataannya para tapol yang menjadi 'anak asuh' kalong banyak yang gagal memberikan informasi terkait jaringan PKI dan underbouwnya. Bagi Syaiful petugas kalong buta soal para kader dan organisasi PKI sehingga cara-cara kekerasan digunakan untuk mengorek informasi. Padahal memang tapol yang ditahan di sarang kalong rata-rata adalah tapol yang tidak terkait bahkan sama sekali tidak terkait dengan pecahnya peristiwa G-30-S. Banyak dari mereka adalah anggota biasa dari underbouw PKI yang belakangan hari terbukti tidak tidak mengetahui adanya skenario penculikan dan pembunuhan 7 jenderal Angkatan Darat. Sebagai contoh, Koesalah Soebagja Toer yang merupakan adik kandung sastrawan Pramoedya Ananta Toer ditahan pada 1968 oleh kalong karena dituduh terlibat Gerakan 30 September. Koesalah sehari-harinya bekerja sebagai dosen di Akademi Bahasa Asing, ia mengajar bahasa Rusia dan menerjemahkan buku-buku sastra Rusia ke dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada yang tahu pasti sampai kapan sarang kalong beroperasi, yang jelas hingga tahun 1974 tim yang terkenal kebengisannya diantara tim lainnya itu masih menerima 'anak asuh'. Dewasa ini tidak diketahui secara pasti siapa yang memiliki sarang kalong, menurut warga disekitar rumah itu sekarang menjadi tempat menyimpan barang dagangan milik saudagar tionghoa yang memiliki toko dikawasan Senen Jakarta.


Sumber:
CNN Indonesia 
Rappler
Majalah Tempo, Liputan Khusus Pengakuan Algojo 1965, edisi 1-7 Oktober 2012

0 comments:

Post a Comment