Jenderal Ahmad Yani
(Dokumentasi: Koleksi Museum Sasmitaloka
Jenderal Ahmad Yani, Jakarta)
(Dokumentasi: Koleksi Museum Sasmitaloka
Jenderal Ahmad Yani, Jakarta)
Kondisi kesehatan Bung Karno yang semakin menurun ditengah tugas negara yang amat kompleks dan banyak termasuk memainkan percaturan internasional membuat ia harus segera mencari penggantinya. Bukan lewat mekanisme pemilu, juga bukan digantikan oleh Wakil Presiden karena sejak 1956 Sukarno memimpin sendiri bangsa ini dengan dibantu menteri-menterinya. Banyak desas-desus orang-orang yang dianggap cocok menggantikan Sukarno, diantaranya Jenderal A.H Nasution, Subandrio, dan Menpangau KSAU. Akan tetapi ada satu nama yang secara ekplisit dan jelas-jelas disebutkan sendiri oleh Presiden Sukarno tentang siapa yang cocok dan akan menggantikan dirinya kelak, dia adalah Jenderal Ahmad Yani yang kala itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Kebenaran kabar ini setidaknya diungkapkan oleh tiga pihak, yakni: Maulwi Saelan, mantan wakil komandan Pasukan Tjakrabirawa, kemudian Sarwo Edhie yang pernah menjabat Komandan RPKAD (sekarang Kopassus), dan yang terakhir adalah putra-putri sang Jenderal Ahmad Yani. Maulwi Saelan misalnya, dalam buku biografinya yang berjudul Penjaga Terakhir Soekarno menuturkan Bung Karno pernah menitipkan Jenderal Ahmad Yani kelak sebagai penggantinya - mungkin maksudnya Maulwi Saelan harus berganti menjadi pengawal Ahmad Yani kelak apabila menjadi Presiden.
Pengakuan yang kedua datang dari Sarwo Edhie, sebagaimana yang dikutip oleh Amelia Yani (putri Ahmad Yani). Saat Amelia mewawancarai Jenderal Sarwo Edhie untuk keperluan penulisan biografi ayahandanya, jenderal yang kebetulan satu kampung halaman di Purworejo itu mengungkapkan: pernah dalam rapat petinggi negara Sukarno berpesan untuk digantikan oleh Ahmad Yani agar menjadi Presiden bila kesehatannya juga tidak membaik. Hal ini membuat seluruh petinggi negara yang ikut rapat mengetahui keinginan Sukarno, hadir juga pada rapat itu Menteri Chaerul Saleh, Jenderal A.H. Nasution, dan Subandrio.
Pengakuan yang ketiga juga tidak kalah akuratnya, yakni dari putra-putri Jenderal Ahmad Yani bahkan bisa dibilang seluruh keluarganya termasuk istri dan ibundanya. Mereka menuturkan, suatu hari Ahmad Yani pernah cerita kepada keluarga bahwa dirinya bakal menjadi Presiden (untuk menggantikan Pak Sukarno), namun beliau berpesan untuk jangan diberitahu ke orang lain terlebih dahulu. Informasi itu disampaikan ke keluarga sekitar dua bulan sebelum meletusnya G-30-S, kurang lebih sekitar bulan Juli 1965.
Jenderal Ahmad Yani atau Pak Harto?
Sosok siapa yang cocok menggantikan Presiden Sukarno, yang beliau sendiri memberikan tanda-tandanya baik secara ekplisit ataupun secara implisit sebenarnya bukan hanya Jenderal Ahmad Yani. Ada satu nama lain, yakni Jenderal Suharto alias Pak Harto sang penguasa Orde Baru. Tentang ini pernah penulis bahas dan dapat dibaca pada artikel berikut:
Akan tetapi dipilihnya Jenderal Ahmad Yani sebagai sosok yang pas untuk menggantikan dirinya, Sukarno, lebih memiliki bukti sejarah yang kuat dan 'diamini' oleh berbagai pihak. Bila Sukarno pernah memberikan tanda-tanda Suharto yang akan menggantikan dirinya pada 1963 dan 1964, maka nama Ahmad Yani justru muncul menjelang peristiwa G-30-S.
Kedekatan Sukarno dan Ahmad Yani
Sukarno bukan tanpa alasan memilih Yani sebagai penggantinya. Sejumlah prestasi mentereng pernah dilakukan Yani yang membuat Sukarno begitu bangga. Bahkan putra-putri Yani mengungkapan ayahnya adalah 'anak emas'nya Bung Karno. Ahmad Yani lahir di Purworejo pada 19 Juni 1922, pendidikan dasar dan menengah ia selesaikan di Batavia. Ia sempat ikut wajib militer tentara Hindia Belanda (KNIL), namun belum selesai karena Jepang keburu berkuasa di Indonesia pada 8 Maret 1942. Pada tahun 1943 ia bergabung bersama tentara PETA hingga sampai pangkat Komandan Peleton dan ditempatkan di Magelang. Namanya mulai dikenal dalam prestasi militer saat dijuluki 'De Reder van Magelang' atau juruselamat Magelang karena berhasil mempertahankan kota itu dari serangan Belanda.
Kemudian pada 1952 ia ditarik ke Tegal dan membentuk pasukan khusus Banteng Raiders untuk menghancurkan gerakan DI/TII. Pada 1955 ia dikirim ke Amerika Serikat untuk belajar Komando di sekolah staf dan komando Fort Leavenworth, Texas. Setahun kemudian pada 1956 ia sudah selesai pendidikan dan ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat menjadi bawahan langsung Jenderal A.H Nasution. Pada 1958 ia kembali turun di palagan tempur memimpin Operasi 17 Agustus dan berhasil merebut kota Bukittinggi dan Padang dari PRRI. Karirnya terus melejit, pada 23 Juni 1962, tiga hari setelah ulang tahunnya ia sudah menjabat sebagai Menpangad/KSAD.
Banyak jabatan yang pernah dipercayai Sukarno kepada Ahmad Yani. Misalnya dalam upaya untuk merebut Irian Barat dari Belanda, ia dipercaya melakukan misi pembelian senjata ke luar negeri. Pada 1963 ia juga menjabat sebagai Kepala Staf Gabungan Komando Tinggi (KOTI) pembebasan Irian Barat. Karena KSAD saat itu juga merangkap sebagai Menteri Angkatan Darat, maka sudah barang tentu Presiden Sukarno sering kali bertemu dengan Yani dalam acara rapat kenegaraan maupun non acara non rapat dan non kenegaraan. Sebagai contoh, Yani sering diajak Sukarno dalam kunjungan-kunjungan di daerah. Bahkan dalam urusan yang lebih pribadi sekalipun misalnya, Sukarno menunjukkan kepedulian terhadap renovasi rumah Yani di daerah Menteng dan datang secara pribadi dalam syukuran di rumahnya.
Ahmad Yani sebenarnya adalah jenderal yang sangat loyal dan pro terhadap Sukarno. Sukarno tahu ini bentul. Satu-satunya hal yang membuat hubungan Sukarno dan Yani goyah adalah soal kedekatan sang proklamator pada kubu PKI. Wajar saja, PKI adalah kubu yang berulang kali melakukan serangan-serangan politik terhadap Angkatan Darat, misalnya soal pembentukan Angkatan Kelima sebagaimana diusulkan oleh PKI. Ahmad Yani adalah pihak yang sangat tidak setuju dengan usul konyol PKI tersebut, sebaliknya PKI menilai Yani adalah orang yang kontra revolusi. Sampai-sampai Aidit pernah menyinggung Angkatan Darat sebagai "penggerogot keuangan negara". Jenderal-jenderal Angkatan Darat berang dibuatnya mendengar tudingan itu.
Sukarno sebenarnya mengetahui konflik antara Angkatan Darat dengan PKI, namun Sukarno lebih senang berada di posisi netral. Sukarno juga tidak ingin kubu Komunis semakin jumawa, tetapi Sukarno hampir tidak punya pilihan karena hanya PKI lah yang kubu yang selalu mendukung program Sukarno meskipun dengan cara "menjilat"!. Maka sosok Yani menurutnya adalah orang yang pas menggantikannya kelak dengan harapan, dapat mengurangi "lagaknya" PKI.
Bagi Sukarno hanya Ahmad Yani Jenderal yang memiliki kekuasaan luas dan memiliki 'catatan bersih'. Sebenarnya ada Jenderal A.H Nasution yang tidak kalah berpestasi dan memiliki pangkat lebih tinggi dari Yani, namun Nasution diketahui memiliki catatan yang kurang bersih bagi Sukarno. Terutama apabila mengingat peristiwa 1952 dikala Nasution memimpin sejumlah tentara melakukan unjuk kekuatan di depan istana untuk menuntut dibubarkannya DPR. Lagipula Yani juga lebih muda daripada Nasution dan yang paling keras menentang kubu komunis. Belakangan hari kubu PKI kembali menyerang jenderal-jenderal AD tersebut dengan isu Dewan Jenderal dan menuduh justru Yani adalah Jenderal yang akan mengkudeta Sukarno.
Kembali lagi soal rencana Ahmad Yani menjadi Presiden. Sedianya Ahmad Yani dijadwalkan akan menghadap Presiden Sukarno pada 1 Oktober 1965 jam 08.00 pagi di istana negara, menurut Maulwi Saelan pertemuan itu untuk membahas lebih lanjut penggantian dirinya (Sukarno). Akan tetapi selang beberapa jam sebelumnya sekitar pukul 04.00 Ahmad Yani keburu ditembak oleh Pasukan Tjakrabirawa yang hendak menjemputnya dan kemudian jasadanya dibawa ke Lubang Buaya. Dengan peritiwa ini maka pupus lah impian Sukarno menjadikan Yani sebagai penggantinya/presiden.
Dibunuhnya Ahmad Yani pada 1 Oktober 1965 beberapa jam sebelum ia dijadwalkan bertemu Presiden Sukarno itu, belakangan hari menjadi misteri yang masih menjadi tanda tanya, benarkah ada pihak yang akan menggagalkan Yani menjadi Presiden?
Sumber:
Roso Daras, 2014. Total Bung Karno II: Serpihan Sejarah Yang Tercecer. Penerbit Imania, Jakarta
Merdeka
Vivanews
Okezone
0 Comments:
Post a Comment