Inggit Garnasih, Istri Perjuangan Bung Karno

Sukarno dan Inggit Garnasih
(Dokumentasi: Istimewa)
Presiden Sukarno semasa hidupnya memiliki 9 istri dan yang paling dicintainya barangkali ialah istri keduanya, Inggit Garnasih. Inggit lahir di Bandung pada 17 Februari 1888, masa mudanya dikenal sebagai gadis desa yang cantik jelita dan menjadi idaman pria kala itu. Ia kemudian menikah dengan Nata Atmadja, seorang Patih di kantor Residen Priangan. Pernikahan itu tidak berlangsung lama dan mereka bersepakat untuk cerai. Kemudian Inggih menikah lagi dengan seorang pengusaha dan aktifis Sarekat Islam, Haji Sanusi. Hubungan Inggit dengan Haji Sanusi sebenarnya berlangsung baik, akan tetapi tidak dipungkiri Inggit lebih sering merasa kesepian karena sering ditinggal suaminya yang sangat sibuk.
Pada tahun 1923 (1922?) Sukarno muda datang ke Bandung untuk melanjutkan studinya di jenjang perguruan tinggi di Technisce Hooge School (THS) atau sekarang ITB. Tidak sembarangan orang bisa kuliah di THS apalagi pribumi, hanya mereka dari kalangan ningrat dan lulusan HBS atau AMS saja yang diterima berkuliah disana. Seperti diketahui, Sukarno memang mendapatkan pendidikan terbaik ia berhasil lulus dari HBS Surabaya yang sebenarnya sekolah menengah (SMP-SMA digabung) khususnya untuk bangsa Eropa. Saat bersekolah HBS di Surabaya ia menikah dengan Siti Oetari yang tidak lain adalah anak dari H.O.S Tjokroaminoto, guru ideologi sekaligus juragan kostnya. Pernikahan itu terjadi pada tahun 1921 dikala usia Oetari masih 16 tahun.
Kepindahan Sukarno ke Bandung untuk kuliah di THS tidak bersama Siti Oetari, ia tidak memiliki rumah di Bandung melainkan berencana untuk indekost. Di Bandung Sukarno muda tinggal di rumah kost milik Inggit Garnasih. Entah bagaimana Sukarno muda dengan Inggit Garnasih yang terpaut umur 13 tahun tersebut perlahan saling berbalas kasih. Inggit menaruh hati pada pemuda dari Surabaya tersebut. Sukarno pun seakan memberikan jalan agar cinta sang juragan dapat terbalas. Padahal saat itu Sukarno masih terikat hubungan dengan Siti Oetari, begitupula Inggit yang masih resmi menjadi istri Haji Sanusi meskipun teramat kesepian.
Kisah cinta mereka semakin tidak terbendung, pada 1923 Sukarno menceraikan Siti Oetari. Sedari awal kisah percintaan Sukarno pada Oetari lebih tepatnya seperti hubungan saudara, antara kakak dengan adik. Tidak berselang lama gantian Inggit Garnasih yang memutuskan bercerai dengan Haji Sanusi, lagipula dari pernikahan mereka berdua memang selama ini tidak dikarunia anak sehingga makin mengurangi keharmonisan rumah tangga. Pada 24 Maret 1923 Sukarno dan Inggit Garnasih menikah yang dikukuhkan dalam Surat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal sama. Akad pernikahan mereka dilaksanakan di rumah orang tua Inggit di Jl. Javaveem, Bandung. Jadilah mereka berdua resmi menjadi pasangan suami istri


Pendamping Perjuangan
Kisah hidup Inggit Garnasih dengan Sukarno sudah ditakdirkan sebagai seorang istri "pendamping perjuangan". Dari sekian istri Bung Karno, Inggit yang diperistri cukup lama, dari 1923-1943, kurang lebih dua puluh tahun. Hanya Inggit yang mengetahui betul dan menjalankan bersama beratnya perjuangan yang dilalui Sukarno dalam menuju kemerdekaan. Istrinya yang lain, mulai dari Fatmawati hingga Heldy Jafar merasakan Sukarno sebagai Presiden RI. Sedangkan Inggit saat Sukarno masih menjadi musuh nomor satu pemerintah kolonial, harus bersusah payah, hidup miskin, bahkan bersama-sama menikmati pengasingan.
Inggit menemani dan menjadi penyemangat Sukarno dalam masa-masa awal aktif di dunia pergerakan. Sukarno aktif di klub studi THS hingga akhirnya mendirikan PNI bersama rekan-rekannya. Pada 1926 ia sudah lulus dari THS, akan tetapi ia menolak sejumlah pekerjaan yang datang dari pemerintah kolonial dengan alasan prinsip non-kooperasi. Inggit setia mendampingi Sukarno yang ekonominya tidak membaik setelah ia jadi Insinyur sekalipun. Bahkan untuk menyajikan minuman pada tamu, Sukarno hanya mampu menyajikan teh encer tidak bergula (tidak mampu membeli gula).
Pada 29 Desember 1929, Sukarno muda ditangkap di Yogyakarta paska menghadiri rapat bersama teman perjuangan PNI di perbatasan Yogya-Klaten. Sukarno kemudian dibawa ke Penjara Banceuy, Bandung, menggunakan kereta api yang memakan perjalanan selama 12 jam. Selama dipenjara Inggit secara rutin mengunjungi Sukarno, ia juga kerap kali menyelipkan uang diantara makanan untuk suaminya tersebut. Uang itu biasanya digunakan Sukarno untuk membeli koran, tentunya dengan iming-iming bujuk rayu kepada penjaga. Inggit juga menjadi perantara komunikasi antara Sukarno yang dipenjara dengan sahabat pergerakannya, melalui sebuah rokok. Ya! sebuah rokok. Inggit cukup terampil dalam melinting rokok. Rokok yang berikat merah berisi pesan dari Sukarno untuk relasinya di luar penjara, begitu juga sebaliknya.
Sukarno juga tetap dapat membaca buku kesayanganya yang juga diselundupkan oleh Inggit. Caranya? Inggit sengaja berpuasa beberapa hari agar buku tersebut dapat diselipkan di perutnya dan kemudian diberikan ke Sukarno saat kunjungan penjara. Itulah sebabnya Sukarno tetap dapat menulis buku dan daya intelektualitasnya tidak meredup. Ia berhasil menyusun buku Indonesia Menggugat yang merupakan pidato pembelaannya di Landraad (Pengadilan Hindia Belanda) sekitar Desember 1930. Ia dijatuhi hukuman penjara 4 tahun setelah tuduhan subversif dikabulkan hakim, ia melewati pengadilan yang bukti-buktinya sangat sumir dan prematur. Cara yang sama juga tetap dilakukan Inggit paska vonis tersebut dimana Sukarno akhirnya dipindahkan ke Penjara Sukamiskin.


Menemani Dalam Pembuangan

Pada 31 Desember 1932 Sukarno akhinya dibebaskan, ia hanya menjalani hukuman selama 2 tahun karena mendapatkan sejumlah remisi. Akan tetapi malang, pada 1 Agustus 1933 ia kembali di tangkap di Jakarta setelah melakukan diskusi dengan tokoh pergerakan Husni Thamrin. Ia dijebloskan kembali ke Penjara Sukamiskin di Bandung. Inggit kembali mengunjungi pernjara tersebut untuk bertemu suaminya. Sering kali Inggit pergi melihat suaminya dengan berjalan kaki karena tidak punya ongkos, ia pergi ditemani Ratna Juami anak angkatnya. Penahanan Sukarno kali ini tanpa proses pengadilan, akan tetapi ia paham konsekuensinya: dibuang alias diasingkan. Petugas penjara memberitahu bahwa pembuangannya juga disertai oleh keluarganya, maksunya istri maupun anaknya akan ikut dalam pembuangan Sukarno. Bahkan mertuanya (ibunya Inggit), Ibu Amsi juga ikut menyertai dalam pembuangan.
Mereka dibawa dari Bandung ke Surabaya menuju pelabuhan Tanjung Perak. Sehari sebelum menaiki kapal dan berlayar dalam pembuangan Sukarno sempat dijenguk oleh ayahnya Raden Sukemi dan Ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Kali ini ia akan dibuang ke Ende di Flores yang jaraknya ribuan kilometer dari Bandung.
Masa-masa awal Sukarno dalam pembuangannya, ia diliputi oleh wajah murung dan tidak bersemangat. Wajar saja, seorang "Singa Podium" seperti Sukarno tiba-tiba harus dipasung kebebasannya di Ende, ibarat taman safari dan Singa. Tidak ada yang ia bisa ajak untuk berdiskusi dan orang-orang Ende pun belum mengetahui siapa Sukarno sebenarnya. Ia amat terasing disana. Disinilah sosok Inggit yang tulus lembut dan senantiasa memberi semangat Sukarno kembali teruji. Inggit yang tidak rela melihat suaminya terus murung tidak hentinya menyemangati ngkus, sapaan Inggit kepada Sukarno. Dalam duduk murungnya, Inggit berkata pada suaminya: "Saya tahu Ngkus tidak bisa sendiri, Ngkus harus selalu didengar banyak orang. Ngkus harus selalu memimpin banyak orang. Di sini, di tanah pembuangan, saya tidak melihat Bung Karno singa podium yang gagah itu. Di mana semangatmu yang begitu menggelora Ngkus Kasep (ganteng)? Itu yang saya khawatirkan".
Percakapan itu belum usai Inggit kembali berujar kepada suaminya agar meminta apapun yang bisa dilakukan olehnya agar suaminya tidak putus asa. Sukarno menjawab "nuhun Enggit, nuhun, sudah sedemikian banyak pengorbanan Inggit buat saya, maafkan Ngkus, membuat geulis harus menanggung risiko yang berat ini". 
Inggit yang ikhlas akan risiko perjuangan tersebut kemudian kembali menimpali ucapan suaminya yang kasep tersebut, "Cinta kadeudeuh saya kepada Ngkus tidak bisa diukur hanya dengan saya ikut ke tanah pembuangan ini. Saya senang, selalu senang, bisa berbakti kepada suami. Saya senang, kasep, asal Ngkus janji untuk harus bangkit kembali". Sejak saat itulah Sukarno mulai pulih semangat dan keceriaannya. Meskipun dalam pengasingan ia tetap menjalin komunikasi secara rahasia dengan kawan-kawan pergerakan di Jawa. Ia juga berkorespondensi dengan T.A Hassan di Bandung melalui surat menyurat rahasia untuk berbicara tentang Islam.

Di Ende, Soekarno Bentuk Grup Tonil (Sandiwara) Kelimutu


Pun di Ende akhirnya ia mendapat lawan bicara sepadan yakni Pastor Paroki Peter Gerardus Huijtink SVD yang cukup ramah dan terbuka padanya. Di pembuangannya ia juga masih sempat menulis buku yang berjudul Mencapai Indonesia Merdeka. Masih ada kegiatan lain Bung Karno di Ende yang produktif dan sekaligus menghibur, yakni menciptakan grup Tonil (sandiwara) bernama Kelimutu. Sang istri tentu senang dengan kebangkitan semangat suaminya tersebut, ia juga turut serta menyiapkan pertunjukan tonil terutama untuk urusan logistik dan kostum. 

Sukarno (mengenakan peci, memegang sepeda) saat pengasingan
di Bengkulu (Dokumentasi: sindonews.com)


Kesetiaan Hingga Gerbang Kemerdekaan

Pada 1938 Bung Karno dan keluarga dipindahkan ke Bengkulu yang masih dalam rangka hukuman pembuangan. Saat Jepang resmi menggantikan Hindia Belanda di Indonesia pada 8 Maret 1942, Sukarno dibebaskan dan mereka kembali ke Jakarta. Paska pembebasan itulah Sukarno meminta izin untuk menikah lagi dengan Fatmawati, anak tokoh Muhammadiyah yang ia kenal saat pengasingan di Bengkulu. Kehendak Sukarno untuk kembali menikah kembali disampaikan secara gentle kepada Inggit karena sejak ia menikah belum juga dikaruniai anak. Ratna Juami sendiri atau yang disapa Omi sebenarnya adalah anak angkat mereka.
Sukarno berujar tetap ingin menjadikan Inggit sebagai istri pertama, sedangkan maksudnya kembali menikahi Fatmawati agar ia mendapatkan keturunan seperti yang ia idamkan. Sukarno bahkan berkata pada Inggit, apabila ia tidak setuju dengan Fatmawati, Inggit bisa mencarikan istri buatnya agar memiliki keturunan. Bahkan bukan hanya Sukarno yang memohon agar ia diberi izin untuk menikah kembali, anaknya Ratna Juami dan suaminya Asmara Hadi juga melakukan hal serupa pada Inggit demi keinginan ayah tirinya tersebut.
Akan tetapi tetap saja hal itu tidak membuat hati Inggit luluh, ia tetap keukeuh menolak "dimadu". Karena tidak juga menemui titik temu, Sukarno dan Inggit Garnasih resmi bercerai pada pertengahan 1943. Perjalanan cinta dan perjuangan yang terjalin selama dua puluh tahun akhirnya kandas, Inggit lebih memilih kembali ke Bandung dan Sukarno tinggal di Jakarta. Inggit yang amat berjasa bagi kehidupan Bung Karno dalam tahapan usianya membangun kepribadian dan watak, hidup bersama saat susah dan duka tersebut, harus rela berpisah dengan Sukarno tepat di pintu gerbang kemerdekaan yang tinggal dua tahun lagi Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan.

Pada 1 Juni 1943, tepat di usia Sukarno ke 43 Sukarno menikah dengan Fatmawati melalui wali nikah. Meskipun telah berpisah, hinga akhir hayatnya Inggit Garnasih tetap menyimpan cinta terhadap pria terakhirnya, siapa lagi kalau bukan Si Ngkus Kasep Sukarno.

Sumber:
Tirto
Sindo
Roso Daras,2013.Total Bung Karno: Serpihan Sejarah Yang Tercecer,Edisi I, Penerbit Imania, Depok
-------------, 2014.Total Bung Karno: Serpihan Sejarah Yang Tercecer,Edisi II,Penerbit Imania, Depok

0 comments:

Post a Comment