Jend. A.H Nasution (kiri), dan Jend. Suharto (kanan). Dokumentasi: LIFE |
Duet Pak Harto dan Nasution yang kerap disapa Pak Nas pun berlanjut paska G-30-S. Lewat Supersemar 11 Maret 1966, Suharto melakukan perombakan kabinet dan pada 20 Maret nya Nasution diangkat menjadi ketua MPRS (Majelis Permusywaratan Rakyat Sementara). Jabatan Menhankam/Panglima ABRI dihapuskan namun kekuasaan itu dijabat oleh Suharto. Lewat sejumlah sidang-sidang umum, Nasution aktif melobi dan mengusahakan agar Supersemar tidak dapat ditarik kembali oleh Presiden Sukarno. Sebagai ketua MPRS Nasution juga mendorong agar ajaran Marxisme-Leninisme resmi dilarang melalui Tap. MPRS, mencabut keputusan presiden seumur Sukarno, dan pelaksanaan pemilu legislatif secepatnya. Duet Pak Harto dan Pak Nas semakin klop, disuatu sisi Suharto sebagai pelaksana jabatan eksekutif dan Pak Nas adalah pemegang tertinggi jabatan lembaga legislatif dan lembaga tertinggi negara.
Puncaknya, pada 22 Juni 1966 MPRS menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Sukarno yang berjudul "Nawaksara" karena isinya dianggap mengecewakan, terutama sekali karena tidak membahas soal peristiwa 30 September. Pada bulan Februari 1967 DPR-GR secara gencar menyerukan MPRS untuk melaksanakan sidang istimewa untuk menggantikan Sukarno dengan Suharto. Walhasil, pada 12 Maret 1967 MPRS mencabut mandat Sukarno menjadi presiden. Kelanjutannya dapat ditebak, karena Pak Harto dan Pak Nas memang "duet" maka MPRS kemudian mengangkat Suharto sebagai Pejabat Presiden. Suharto baru berkuasa dengan status "sempurna" sebagai presiden setelah MPRS melakukan pemilihan dan pelantikan terhadap Suharto sebagai Presiden kedua Indonesia pada 27 Maret 1968.
Naik Turun Hubungan Suharto dan Nasution
Publik Indonesia secara umum melihat hubungan Suharto dan Nastion sebagai dua penyelamat bangsa yang saling kompak. Padahal pada tahun 1956 Nasution ingin memecat Suharto karena kesalahan fatalnya! Waktu itu Nasution sudah menjabat sebagai KSAD berusaha untuk membasmi korupsi di lingkungan Angkatan Darat. Salah satu komando teritorial yang ingin diselediki adalah Kodam IV/Diponegoro dengan komandannya Kolonel Suharto. Hasilnya berdasarkan penyelidikan Brigjen Sungkono, ada yang tidak beres dengan transaksi keuangan Kodam IV/Diponegoro. Berdasarkan penyelidikan selama menjadi Panglima Kodam, Suharto banyak melakukan penyelewengan misalnya melakukan penyelundupan barang yang berelasi dengan pengusaha Tionghia Lim Sie Liong. Termasuk juga dia mendirikan yayasan untuk membantu masyarakat setempat, namun dananya didapat dari pungutan wajib dari (pelaku) industri produksi dan layanan, bisa dibilang ini semacam istilah "setoran". Bahkan menurut Soebandrio keuntungan dari usaha haramnya tersebut bukan digunakan untuk kepentingan masyarakat atau mensejahterakan prajurit, justru lebih banyak masuk ke kantong pribadinya.
Berita ini menyebar luas di lingkungan AD dan membuat berang sejumlah petingginya akibat ulah Suharto. Konon hal ini menyebabkan Ahmad Yani pernah menempeleng Suharto, Yani geram Korps AD dipermalukan akibat ulahnya.. Maklum, waktu itu Suharto pangkatnya masih di bawah Ahmad Yani. Nasution sebagai KSAD malah berencana untuk mengeluarkan Suharto dari dinas kemiliteran alias dipecat melalui mekanisme Mahkamah Militer. Untungnya ide membawa Suharto ke Mahkamah Militer ditolak oleh Mayor Jenderal Gatot Subroto. Menurutnya Suharto masih bisa dibina menjadi perwira yang baik. Selamatlah Suharto karena Gatot Subroto, malah ia kemudian disekolahkan di Seskoad, Bandung. Hubungan Pak Nas dan Pak Harto yang terjalin mesra karena peristiwa G-30-S nyatanya tidak berlangsung terlalu lama. Suharto yang sudah berhasil menjadi RI-1 sejak 1967 masih merasa Nasution memiliki popularitas yang tinggi dan dapat menyaingi dirinya. Maklum saja, pemerintahan Orde Baru memang menggunakan konsep Dwi Fungsi ABRI yang begitu militeristik. Jika tidak terlalu berlebihan Orde Baru sebenarnya juga rezim junta militer. Nah, di kalangan petinggi militer berbagai angkatan popularitas Nasution memang sangat tinggi. Tidak sedikit juga yang beranggapan sebenarnya Nasution lebih pantas menggantikan Sukarno. Sebagai ketua MPRS, Nasution lah orang "terkuat" kedua di Indonesia saat itu.
Tahun 1969 pengaruh Nasution sedikit demi sedikit mulai dikurangi, ia tidak diizinkan untuk berbicara atau memberikan pidato di Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad) dan Akademi Militer di Magelang. Pada 1971 di usianya yang ke 53 ia diberhentikan dari dinas militer lebih cepat 2 tahun dari usia seharusnya yakni 55 tahun. Tahun berikutnya pada 1972 posisinya sebagai Ketua MPRS digantikan oleh Idham Chalid. Kini Nasution resmi menyandang status sebagai seorang "sipil" dan tidak lagi mempunyai kekuasaan politik maupun militer.
Menyandang status jadi purnawirawan/sipil dan dijauhkan dari lingkungan kekuasaan politik maupun militer nyatanya juga tidak membuat hidup Nasution lepas dari perlakuan "tidak sopan" pemerintah Suharto. Entah salah apa yang dilakukan Nasution pada Pak Harto, rumahnya dikenakan kebijakan pemutusan air ledeng sampai ia harus membangun sumur di belakang rumahnya. Selain dilarang bicara di Seskoad dan Akmil, media massa yang saat itu sudah di kontrol pemerintah juga tidak boleh memuat rekaman wawancara maupun tulisan Pak Nas. Kontrol Orde Baru terhadap Pak Nas juga berlaku ke ranah-ranah privat dan kerohanian beliau. Tentara sering berjaga saat sholat jumat agar beliau tidak dapat naik ke mimbar sebagai khatib.
Menjadi Oposisi Pemerintah dan Petisi 50
Pak Nasution meskipun sudah tidak lagi memiliki kekuasaan sebenarnya amat peduli pada nasib bangsa dan menginginkan negara di jalankan yang benar sesuai konstitusi, ini artinya beliau amat peduli dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Paska ia dicopot dari jabatannya, Nasution melihat Pak Harto menyalahgunakan konsep dwi fungsi ABRI yang dicetusnya. Konsep ini awalnya dicetuskan oleh Nasution sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi ABRI dalam dunia perpolitikan, namun yang terjadi ABRI malah dijadikan Suharto lebih mendominasi kekuasaan baik di pusat maupun daerah. Golongan Karya (Golkar) yang dibentuk pada 1964 oleh sejumlah jenderal Angkatan Darat termasuk Nasution untuk membendung pengaruh PKI, malah dijadikan organisasi politik oleh Suharto dan dengan cara-cara yang tidak demokratis melakukan usaha-usaha untuk mengumpulkan suara. Melihat ketidakberesan itu Nasution enggan mengikuti pemilu selama orde baru tetap berkuasa.
Pada 1978 Nasution dan mantan Wapres Mohammad Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Sesuai namanya, yayasan ini memiliki tujuan untuk memberikan penyadaran berkonstitusi kepada masyarakat sekaligus sebagai kritikan pada pemerintah yang sering kali menafsirkan seenaknya Pancasila dan UUD 1945.
Manuver terakhir Nasution dalam upaya "menginsyafkan" Pak Harto adalah melalui penyampaian sebuah sikap dalam sebuah petisi yang lebih dikenal Petisi 50. Dinamakan Petisi 50 karena ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia baik dari kalangan sipil maupun purnawirawan militer, diantaranya A.H. Nasution, mantan Kapolri Jend. (Purn). Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, dan mantan Presiden PDRI Syafrudin Prawiranegara. Nama-nama lain seperti mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir dan Burhanudin Harahap juga termasuk penandatangan petisi tersebut. Petisi 50 dibuat pada 5 Mei 1980 dan dibacakan di hadapan anggota DPR (MPR) pada 13 Mei 1980.
Petisi 50 dikeluarkan berlatar belakang ungkapan keprihatinan tokoh-tokoh tersebut terhadap praktik penyelanggaraan negara yang kian hari kian melenceng dilakukan Suharto. Terutama paska Suharto berpidato di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980 dan di markas Kopassus Cijantung 16 April 1980. Dalam pidatonya Suharto bersikukuh untuk tidak akan pernah mengamandemen apalagi mengganti UUD 1945, menurutnya lebih baik menculik 1 orang dari 2/3 anggota DPR yang menghendaki amandemen UUD 1945 agar tidak terwujud. Hal yang lebih parah lagi menurut para penandatangan Petisi 50, Suharto seakan menganggap dirinya adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus hingga kritikan bagi dirinya dianggap sebagai Anti-Pancasila. Seperti diketahui UUD 1945 memang merupakan suatu konstitusi yang belum sepenuhnya sempurna dan kuat karena dibuat dalam masa yang revolusioner, disusun dengan cepat karena keterbatasan waktu semata sebagai syarat pendirikan negara Indonesia merdeka. Sehingga memang perlu suatu amandemen atau perubahan agar UUD 1945 menjadi lebih baik.
Akibat Petisi 50 yang cukup membuat Suharto berang tersebut, penandatangannya termasuklah Nasution diberi sanksi sosial oleh pemerintah. Mulai dari pencekalan perjalanan ke luar negeri sampai kesulitan dalam administrasi dengan pemerintah termasuk tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank. Lengkap sudah penderitaan Jenderal (Purn.) A.H Nasution, disingkirkan dari politik dan pengembangan ekonomi.
Rujuk
Pada 1993 Pemerintah Orde Baru mulai melonggarkan sejumlah kebijakan yang kurang mengenakkan bagi Nasution. Pada Maret 1993 saat Nasution dirawat di RSPAD Gatot Subroto, ia banyak menerima kunjungan (besukan) dari para petinggi ABRI dan sejumlah pejabat negara, termasulah Suharto yang mengunjungi teman duet nya itu pada 13 Maret 1997. Pada bulan Juli nya di tahun yang sama, Suharto mengundang Nasution ke Istana untuk berbincang masalah problem negara. Undangan yang sama juga terjadi lagi pada Agustsu 1993, meskipun tidak membicarakan soal politik namun taktik Suharto sudah jelas terbaca ingin melakukan rekonsiliasi pada seniornya tersebut. Pada 5 Oktober 1997 dalam upacara memperingati HUT TNI, Nasution diberi pangkat kehormatan menjadi Jenderal Besar bersama Almarhum Jenderal Sudirman. Uniknya, pemberian pangkat kehormatan ini juga untuk dirinya sendiri, Suharto, sehingga pada 5 Oktober 1997 tersebut Indonesia memiliki 3 Jenderal Besar berbintang lima.
Pernah dalam suatu wawancara Nasution menyebut dirinya bukanlah seorang kritikus pemerintah seperti tudingan Orde Baru, melainkan sebagai sebuah perbedaan pendapat yang harus disampaikan. Sebab Nasution yang berlatar belang militer - pejuang - patriot bukanlah orang yang senang berdiam diri atau bungkam dan membiarkan suatu yang tidak benar terjadi. Pak Nas berjuang dengan cara dan pendekatannya agar pemerintah sebagai penyelenggara negara berjalan semestinya. Terkait dengan perlakuan Suharto pada dirinya ia menyatakan tidak memiliki dendam pada pemimpin trah keluarga cendana tersebut. Dalam kutipannya "Saya tidak dendam. Jangankan pada orang yang menyiksa batin saya selama 20 tahun, pada orang yang telah membunuh anak saya sendiri pun saya tidak dendam, pulang dari Pulau Buru datang ke rumah minta maaf, ya saya maafkan". Di masa tuanya, kedua tokoh tersebut pun menikmati hubungan mereka dengan damai.
Jenderal Besar (Purn.) Abdul Haris Nasution yang begitu amat disegani, berkharisma, dan seorang cendikiawan itu wafat pada 5 September 2000 di Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata.
Sumber:
Toto Taryana, dalam senandungwaktu.com, kamis 5 Oktober 2017
Tirto.id
Merdeka.com
Tahun 1969 pengaruh Nasution sedikit demi sedikit mulai dikurangi, ia tidak diizinkan untuk berbicara atau memberikan pidato di Sekolah Staf Angkatan Darat (Seskoad) dan Akademi Militer di Magelang. Pada 1971 di usianya yang ke 53 ia diberhentikan dari dinas militer lebih cepat 2 tahun dari usia seharusnya yakni 55 tahun. Tahun berikutnya pada 1972 posisinya sebagai Ketua MPRS digantikan oleh Idham Chalid. Kini Nasution resmi menyandang status sebagai seorang "sipil" dan tidak lagi mempunyai kekuasaan politik maupun militer.
Menyandang status jadi purnawirawan/sipil dan dijauhkan dari lingkungan kekuasaan politik maupun militer nyatanya juga tidak membuat hidup Nasution lepas dari perlakuan "tidak sopan" pemerintah Suharto. Entah salah apa yang dilakukan Nasution pada Pak Harto, rumahnya dikenakan kebijakan pemutusan air ledeng sampai ia harus membangun sumur di belakang rumahnya. Selain dilarang bicara di Seskoad dan Akmil, media massa yang saat itu sudah di kontrol pemerintah juga tidak boleh memuat rekaman wawancara maupun tulisan Pak Nas. Kontrol Orde Baru terhadap Pak Nas juga berlaku ke ranah-ranah privat dan kerohanian beliau. Tentara sering berjaga saat sholat jumat agar beliau tidak dapat naik ke mimbar sebagai khatib.
Menjadi Oposisi Pemerintah dan Petisi 50
Pak Nasution meskipun sudah tidak lagi memiliki kekuasaan sebenarnya amat peduli pada nasib bangsa dan menginginkan negara di jalankan yang benar sesuai konstitusi, ini artinya beliau amat peduli dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Paska ia dicopot dari jabatannya, Nasution melihat Pak Harto menyalahgunakan konsep dwi fungsi ABRI yang dicetusnya. Konsep ini awalnya dicetuskan oleh Nasution sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi ABRI dalam dunia perpolitikan, namun yang terjadi ABRI malah dijadikan Suharto lebih mendominasi kekuasaan baik di pusat maupun daerah. Golongan Karya (Golkar) yang dibentuk pada 1964 oleh sejumlah jenderal Angkatan Darat termasuk Nasution untuk membendung pengaruh PKI, malah dijadikan organisasi politik oleh Suharto dan dengan cara-cara yang tidak demokratis melakukan usaha-usaha untuk mengumpulkan suara. Melihat ketidakberesan itu Nasution enggan mengikuti pemilu selama orde baru tetap berkuasa.
Pada 1978 Nasution dan mantan Wapres Mohammad Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Sesuai namanya, yayasan ini memiliki tujuan untuk memberikan penyadaran berkonstitusi kepada masyarakat sekaligus sebagai kritikan pada pemerintah yang sering kali menafsirkan seenaknya Pancasila dan UUD 1945.
Manuver terakhir Nasution dalam upaya "menginsyafkan" Pak Harto adalah melalui penyampaian sebuah sikap dalam sebuah petisi yang lebih dikenal Petisi 50. Dinamakan Petisi 50 karena ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia baik dari kalangan sipil maupun purnawirawan militer, diantaranya A.H. Nasution, mantan Kapolri Jend. (Purn). Hoegeng Imam Santoso, mantan Gubernur Jakarta Ali Sadikin, dan mantan Presiden PDRI Syafrudin Prawiranegara. Nama-nama lain seperti mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir dan Burhanudin Harahap juga termasuk penandatangan petisi tersebut. Petisi 50 dibuat pada 5 Mei 1980 dan dibacakan di hadapan anggota DPR (MPR) pada 13 Mei 1980.
Petisi 50 dikeluarkan berlatar belakang ungkapan keprihatinan tokoh-tokoh tersebut terhadap praktik penyelanggaraan negara yang kian hari kian melenceng dilakukan Suharto. Terutama paska Suharto berpidato di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980 dan di markas Kopassus Cijantung 16 April 1980. Dalam pidatonya Suharto bersikukuh untuk tidak akan pernah mengamandemen apalagi mengganti UUD 1945, menurutnya lebih baik menculik 1 orang dari 2/3 anggota DPR yang menghendaki amandemen UUD 1945 agar tidak terwujud. Hal yang lebih parah lagi menurut para penandatangan Petisi 50, Suharto seakan menganggap dirinya adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus hingga kritikan bagi dirinya dianggap sebagai Anti-Pancasila. Seperti diketahui UUD 1945 memang merupakan suatu konstitusi yang belum sepenuhnya sempurna dan kuat karena dibuat dalam masa yang revolusioner, disusun dengan cepat karena keterbatasan waktu semata sebagai syarat pendirikan negara Indonesia merdeka. Sehingga memang perlu suatu amandemen atau perubahan agar UUD 1945 menjadi lebih baik.
Akibat Petisi 50 yang cukup membuat Suharto berang tersebut, penandatangannya termasuklah Nasution diberi sanksi sosial oleh pemerintah. Mulai dari pencekalan perjalanan ke luar negeri sampai kesulitan dalam administrasi dengan pemerintah termasuk tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank. Lengkap sudah penderitaan Jenderal (Purn.) A.H Nasution, disingkirkan dari politik dan pengembangan ekonomi.
Rujuk
Pada 1993 Pemerintah Orde Baru mulai melonggarkan sejumlah kebijakan yang kurang mengenakkan bagi Nasution. Pada Maret 1993 saat Nasution dirawat di RSPAD Gatot Subroto, ia banyak menerima kunjungan (besukan) dari para petinggi ABRI dan sejumlah pejabat negara, termasulah Suharto yang mengunjungi teman duet nya itu pada 13 Maret 1997. Pada bulan Juli nya di tahun yang sama, Suharto mengundang Nasution ke Istana untuk berbincang masalah problem negara. Undangan yang sama juga terjadi lagi pada Agustsu 1993, meskipun tidak membicarakan soal politik namun taktik Suharto sudah jelas terbaca ingin melakukan rekonsiliasi pada seniornya tersebut. Pada 5 Oktober 1997 dalam upacara memperingati HUT TNI, Nasution diberi pangkat kehormatan menjadi Jenderal Besar bersama Almarhum Jenderal Sudirman. Uniknya, pemberian pangkat kehormatan ini juga untuk dirinya sendiri, Suharto, sehingga pada 5 Oktober 1997 tersebut Indonesia memiliki 3 Jenderal Besar berbintang lima.
Pernah dalam suatu wawancara Nasution menyebut dirinya bukanlah seorang kritikus pemerintah seperti tudingan Orde Baru, melainkan sebagai sebuah perbedaan pendapat yang harus disampaikan. Sebab Nasution yang berlatar belang militer - pejuang - patriot bukanlah orang yang senang berdiam diri atau bungkam dan membiarkan suatu yang tidak benar terjadi. Pak Nas berjuang dengan cara dan pendekatannya agar pemerintah sebagai penyelenggara negara berjalan semestinya. Terkait dengan perlakuan Suharto pada dirinya ia menyatakan tidak memiliki dendam pada pemimpin trah keluarga cendana tersebut. Dalam kutipannya "Saya tidak dendam. Jangankan pada orang yang menyiksa batin saya selama 20 tahun, pada orang yang telah membunuh anak saya sendiri pun saya tidak dendam, pulang dari Pulau Buru datang ke rumah minta maaf, ya saya maafkan". Di masa tuanya, kedua tokoh tersebut pun menikmati hubungan mereka dengan damai.
Jenderal Besar (Purn.) Abdul Haris Nasution yang begitu amat disegani, berkharisma, dan seorang cendikiawan itu wafat pada 5 September 2000 di Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata.
Sumber:
Toto Taryana, dalam senandungwaktu.com, kamis 5 Oktober 2017
Tirto.id
Merdeka.com
Penulis: M. Rikaz Prabowo
2 Comments:
Alfatihah Untuk Idola dan Panutan kami pak Nas,Namamu Abadi ada di hati kami
Trimakasih artikelnya,Alfatihah untuk Jendral Besar,Idola dan Panutan kami pak Nas..
Namamu Abadi di hati kami selalu
Post a Comment