Salakanagara, Legenda Kerajaan Tertua Sebelum Kutai

Peta Salakanagara pada tahun 358 M
(Dokumentasi: istimewa)
Kerajaan Kutai yang terletak di Kalimantan Timur diketahui hingga saat ini masih dianggap sebagai kerajaan pertama di Nusantara. Setidaknya dalam kurikulum pengajaran sejarah nasional, Kutai masih terus diajarkan sebagai kerajaan pertama di Indonesia yang menganut Hindu sebagai agama resminya. Akan tetapi perdebatan tentang kerajaan pertama di Nusantara muncul di permukaan beberapa tahun ini, mempertanyakan apakah betul Kutai menjadi yang pertama?

Keyakinan Kutai sebagai kerajaan pertama di nusantara goyah setelah menurut sejumlah penelitian ternyata ada kerajaan lain yang lebih awal berdirinya daripada kerajaan yang dipimpin oleh Mulawarman tersebut. Adalah Salakanagara, suatu kerajaan yang terletak di barat Jawa yang diyakini jauh lebih awal daripada kemunculan Kutai pada abad ke 4 M. Setidaknya ada 3 sumber yang menjadi eksistensi Salakanegara pernah ada.
Pertama, catatan dari Claudius Ptolomeus yang merupakan penjelajah berkebangsaan Yunani. Dalam bukunya yang terkenal - Geographia - sekitar tahun 150 M ia mencantumkan Argyre yang menurutnya terletak di timur yang sangat jauh. Ptolomeus yang juga menerbitkan petanya juga tidak mencantumkan Asia bagian timur terlalu lengkap dan rapi seperti peta modern kini. Letak Argyre inilah yang kemudian dikait-kaitkan dengan Pulau Jawa di Nusantara atau dulunya lebih dikenal dengan nama Yawadwipa. Argyre sendiri dalam bahasa Yunani artinya perak. Hal ini merujuk pada penamaan tempat tersebut dalam bahasa Sansekerta, Salakanagara yang artinya Negara Perak.
Kedua, yakni sumber dari berita Tiongkok. Disebutkan bahwa pada tahun 131 M terjadi hubungan dagang dimana raja Salakanagara mengirimkan utusannya ke Dinasti Han. Kebenaran ini didukung dengan ditemukannya artefak tembikar yang berdasarkan bentuknya diduga dibuat pada masa Dinasti Han.
Ketiga, kali ini berasal dari sumber dalam negeri yakni karya sastra Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara yang merupakan salah satu naskah dalam sekumpulan naskah Wangsakerta yang ditulis pada tahun 1677 M dan selesai pada tahun 1699 M oleh Kesultanan Cirebon. Dalam naskah tersebut tertulis daftar nama-nama raja yang memerintah Salakanagara dan hubungan kekerabatan mereka. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara juga menuliskan wilayah Salakanagara mencakup wilayah Jawa bagian barat termasuk pulau di sekitarnya. Jika dibandingkan dengan masa modern sekarang, maka wilayah Salakanagara berada di sekitar Provinsi Banten, termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Krakatau.
Akan tetapi naskah Wangsakerta-Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara sendiri masih menimbulkan polemik. Meskipun Wangsakerta termasuk karya sejarah yang cukup lengkap, namun disusun dalam penulisan bergaya sastra dan objektifitasnya masih diragukan oleh sejumlah sejarawan.


Didirikan Orang India
Raja pertama Salakanagara adalah Dewawarman I, ia adalah seorang pedagang dari India. Seorang penguasa lokal bernama Aki Tirem kemudian menikahkan Dewawarman I dengan anaknya Larasati Sri Pohaci. Saat Aki Tirem meninggal, ia menggantikan kepemimpinan wilayah tersebut dan mengangkat dirinya menjadi raja Salakanagara pertama dengan gelar Prabu Dharmalokapala Raksagapura Sagara. Kerajaan ini beribukota di Rajatapura, tahun pendiriannya yakni pada 130 M. Berikut daftar raja (dan ratu) yang memimpin Salakanagara:

1. Dewawarman I (130-168 M)
2. Dewawarman II (168-195 M)
3. Dewawarman III (195-238 M)
4. Dewawarman IV (238-252 M)
5. Dewawarman V (252-276 M)
6. Ratu Mahisa Suramardini Warmandewi (276-289 M)
7. Dewawarman VI (289-308 M)
8. Dewawarman VII (308-340 M)
9. Sphatikarnawa Warmandewi (340-348 M)
10. Dewawarman VIII (348-362 M)
11. Dewawarman IX (362 M- )

Pada masa kepemimpinan Dewawarman IX sang raja terakhir Salakanagara, wilayahnya sudah menjadi bawahan Kerajaan Tarumanegara yang beribukota di dekat Bekasi. Raja pertama Tarumanegara adalah Jayasingawarman.

Wilayah Kekuasaan 
Salakanagara diyakini memiliki wilayah kekuasaan di Pulau Jawa bagian barat yang saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Banten. Kemudian Salakanagara sendiri masih memiliki kerajaan  bawahan seperti Kerajaan Agninusa di Pulau Krakatau, Kerajaan Ujung Kulon di Ujung Kulon, dan Kerajaan Tanjung Kidul yang beribukota di Agrabintapura dan diyakini berada di Cianjur Selatan.
Terkait dengan ibukota Salakanagara sendiri, Rajatapura, juga masih mengalami perdebatan dalam hal ini dimana posisi pastinya kini. Di berbagai literatur modern, Rajatapura diyakini berada di wilayah Pandeglang, Banten, tepatnya di Teluk Lada. Menurut naskah Wangsakerta kota ini adalah kota tertua di Pulau Jawa.

Perkiraan letak ibukota Salakanagara
(Dokumentasi: istimewa )

Letak Rajatapura di Teluk Lada, Pandeglang, memiliki kekuatan apabila dikaji dari posisi geografis. Posisinya memang di tepi lautan, sehingga Rajatapura juga memiliki pelabuhan dagang. Akan tetapi hingga kini Pandeglang tidak memiliki pelabuhan yang besar layaknya bandar dagang seperti Sunda Kelapa. Pelabuhan di Teluk Lada hanya pelabuhan biasa untuk para nelayan. Padahal Salakanagara cukup menggantungkan ekonominya pada perdagangan dengan adanya jalinan perdagangan dengan Dinasti Han (Tiongkok).

Ahli lain berargumen bahwa letak Rajatapura sebenarnya adalah di Jakarta. Tepatnya di wilayah Condet yang dialiri Sungai Tiram. Wilayah Condet atau dulunya bernama Ciondet hanya terletak 30 kilometer dari pelabuhan bandar dagang kuno, Sunda Kelapa. Lagipula ada dugaan nama Sungai Tiram diambil dari Tirem yang merujuk pada Aki Tirem sebagai mertua Dewawarman I pendiri Salakanagara.

Akan tetapi ada pula ahli yang berhipotesa bahwa Rajatapura sebenarnya ada di kaki Gunung Salak. Selain terdapat kemiripan pada nama (Salaka => Salak), di suatu bagian kaki gunung tersebut sering terlihat keperak-perakan apabila diterpa oleh pancaran sinar matahari. Sehingga dari sinilah asal muasal pemberian nama Salakanagara atau Negeri Perak.

Minim Peninggalan Sejarah
Salah satu hal yang membuat Salakanagara masih disangsikan keberadaannya ialah karena minimnya peninggalan sejarah, terutama prasasti. Tidak ada satupun bukti peninggalan prasasti yang berhasil ditemukan hingga kini dari Salakanagara. Prasasti tertua di Nusantara sendiri ialah Prasasti Yupa peninggalan Kutai di Kalimantan Timur sekitar abad ke 4 yang berjumlah tujuh buah. Pun, juga dengan candi atau peninggalan bangunan lainnya yang belum ditemukan hingga kini. Oleh sebab itu banyak yang memperdebatkan Salakanagara apakah sudah dapat digolongkan sebagai kerajaan atau belum.

Peninggalan prasasti merupakan suatu hal yang amat penting dalam eksistensi suatu kerajaan di nusantara. Sebab prasasti kebanyakan dibuat pada masa kerajaan itu berlangsung dan mengandung nilai informatif karena prasasti berisikan tentang terjadinya suatu peristiwa. Hal yang paling penting lainnya ialah, penemuan prasasti dapat menjadi pertanda bahwa kerajaan tersebut sudah masuk zaman aksara (mengenal tulisan). Misalnya seperti Kutai yang tidak ditemukan sisa peninggalan bangunan atau candi pada kebudayaannya. Akan tetapi ketujuh Prasasti Yupa yang ditemukan, sudah cukup menjadikan Kutai masuk dalam zaman aksara dan menjadai kerajaan pertama di nusantara.

Satu-satunya sumber tertulis Kerajaan Salakanagara adalah naskah-naskah Wangsakerta - Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara yang dibuat beribu-ribu tahun setelahnya dan dikemas dalam bentuk kitab sastra sehingga objektifitasnya masih dipertanyakan.

Sebenarnya adalah peninggalan lain di sekitar Pandeglang yang diduga milik Salakanagara, yakni bangunan mirip Punden Berundak, Batu Bolong, dan batuan semacam Dolmen. Jika bukti-bukti ini yang ditemukan, berarti Salakanagara masih menjalankan corak-corak kehidupan zaman pra-aksara terutama sekali masa Megalithikum.


Sumber:
Tirto
Wikipedia
Joko Darmawan, Lanang Anwarsono, 2016. Mengenal Budaya Nasional: Kerajaan Nusantara, Penerbit Esensi, Jakarta 

0 comments:

Post a Comment