Muhammad Hatta (Dokumentasi: zenius.net) |
Dari beberapa hal yang menyebabkan mundurnya Hatta dari Wapres pada 1 Desember 1956, salah satunya adalah karena perbedaan jalan politik dengan sang presiden, Ir. Sukarno. Benarkah demikian?
Wakil Presiden dan Sistem Parlementer
Pemerintah Indonesia berhasil melaksanakan pemilu pertamanya dalam sejarah pada tahun 1955, tepatnya pada bulan September dan Desember. Pemilu tersebut untuk memilih legislatif sebagai parlemen Indonesia dan dewan Konstituante. Konstituante adalah dewan yang dibentuk untuk mempersiapkan dan membentuk Undang-Undang Dasar Indonesia yang baru. Sebab sejak 17 Agustus 1950 Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara dan arah politik pemerintahan yang dianut adalah demokrasi liberal. Sistem demokrasi liberal menjadikan pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri dan kepala negara oleh Presiden.
Pada tahun 1955, sebelum dilaksanakannya Pemilu, Hatta pernah menyampaikan keinginannya untuk mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Ia ingin mengundurkan diri jika nantinya Parlemen dan Konstituante hasil Pemilu 1955 sudah terbentuk. Menurutnya dalam negara bersistem parlementer, kedudukan kepala negara hanya sekedar simbol saja sehingga Wakil Presiden sesungguhnya tidak diperlukan lagi.
Setelah parlemen dalam hal ini dijalankan oleh lembaga DPR paska Pemilu 1955 terbentuk, menurut Meutia Hatta Swasono (Putri Muh. Hatta), lembaga tersebut juga tidak menetapkan keduanya sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan peranan yang seharusnya. Sehingga kembali menimbulkan pertanyaan "apa sebenarnya tugas dan fungsi wakil presiden dalam kabinet parlementer?"
Pada 23 Juli 1956 Hatta menyurati Ketua DPR yang saat itu dijabat oleh M.R Raden Mas Sartono yang intinya berisi tentang keinginannya mengundurkan diri. Keinginan Hatta tersebut ditolak namun dengan cara yang halus dengan tidak menggubris atau membalas surat itu. Keinginan Hatta untuk mundur tersebut sebenarnya juga disampaikan kepada sahabatnya Ir. Soekarno. Akan tetapi tentu saja Sukarno menolak inginnya Hatta.
Pada 23 November 1956 Hatta kembali menulis surat susulan karena tidak ditanggapinya surat yang pertama pada 23 Juli 1956. Isinya justru lebih tegas, "pada 1 Desember 1956 saya akan mengundurkan diri dan berhenti menjadi Wakil Presiden RI". Surat susulan tersebut memaksa DPR kali ini menanggapinya dengan serius. Pada tanggal 30 November 1956 DPR mengadakan sidang membahas keinginan mundurnya Hatta, hasilnya disetujui. Mulai 1 Desember 1956 Muhammad Hatta tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang sudah dipercayakan padanya sejak republik ini berdiri. Nahasnya, mundurnya Hatta justru menjadikan kursi Wakil Presiden RI kosong (termasuk saat kembali ke sistem Presidensil 5 Juli 1959) hingga ditetapkannya Sultan Hamengkubuwono IX mendampingi Presiden Suharto pada 24 Maret 1973.
Silang Pendapat Soal Demokrasi dan PKI
Antara Sukarno dan Hatta yang merupakan sosok dwi-tunggal, yang di permukaan selalu terlihat adem ayem guyub rukun, sebenarnya diantara mereka sering terjadi friksi berupa silang pendapat. Tidak hanya saat Hatta mengundurkan diri, namun sudah lebih jauh saat mereka masih berjuang sebagai kaum pergerakan nasional. Pada tahun 1932 semasa di Belanda, Hatta ditawari menjadi anggota Partai Sosialis Merdeka untuk duduk di Tweede Kamer, semacam badan parlemen di Kerajaan Belanda. Hatta menolak tawaran ini, karena dirinya ingin pulang ke Indonesia dan melanjutkan perjuangan di tanah airnya. Berita tentang tawaran ini entah bagaimana tersiar dengan gencarnya di lingkungan kaum pergerakan di Indonesia. Sukarno mengkiritik Hatta tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan non-kooperatif sebagai jalan perjuangan yang anti berkerja sama dengan Belanda. Kritikan Sukarno itu ditulisnya pada 21 Desember 1932 dan ditulis kembali dan disiarkan oleh pers Indonesia dan pers Tionghoa. Tahu akan hal itu, Hatta membalas kritikan Sukarno tersebut pada 30 Desember 1932 melalui koran Daulat Ra'jat dengan judul Non-Cooperation. Balasan Hatta tersebut berisi tentang klarifikasinya soal masuk ke dalam parlemen Belanda. Hatta juga menambahkan meskipun politik non-kooperasi tetap dijalankan, namun bukan berarti juga menolak parlementaire aksi. Masuk ke dalam Tweede Kamer dengan maksud berjuang menentang imperalisme kolonial tidak berarti bekerja sama dengan pemerintah sebab itu tidak bertentangan dengan non kooperasi.
Setelah sempat akur selama beberapa waktu hingga pintu kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta kembali berselisih paham. Penyebabnya kali ini soal aturan pembentukan Partai Politik. Pada 3 November 1945 Hatta sebagai Wakil Presiden RI ditengah negara yang benar-benar masih prematur berdiri dengan "seabrek" tugas pemerintahan mengeluarkan Maklumat X yang mendorong dibentuknya partai-partai politik. Sukarno enggan menandatangani maklumat tersebut, baginya partai politik di Indonesia perlu dibatasi agar mudah dikendalikan pemerintah. Agaknya ini bertolak belakang dengan Hatta yang jusru ingin sebaliknya agar Indonesia menjadi multipartai.
Beralih ke dekade 1950'an, Hatta kembali berselisih paham dengan Sukarno. Kali ini soal kebijakan Sukarno yang seolah membuka kembali pintu bagi PKI dalam percaturan politik Indonesia. Padahal seperti yang diketahui pada 1948, pemerintah RI mati-matian dalam suasana sedang melawan Belanda juga harus memadamkan pemberontakan PKI di Madiun. Sukarno senang dengan haluan PKI di bawah kepemimpin baru yang masih berusia muda pimpinan D.N. Aidit, dimana mereka menyatakan sebagai partai nasionalis. Toh gayung juga masih bersambut dimana PKI juga mendukung politik anti neokolonialisme dan anti barat yang digelorakan Sukarno.
Lambat laun PKI menjadi besar kepala karena merasa terlindungi oleh Sukarno. Apalagi paska pemilu 1955, yang menjadikan mereka kini benar-benar memiliki "taji" dan masuk dalam kabinet. Hal inilah yang tidak disenangi oleh Hatta, dosa-dosa PKI yang memberontak pada 1948 masih harus diwaspadai dan tidak serta merta bisa dimaafkan. Hatta (dan tokoh nasional lain) bukannya tidak pernah mengingatkan Sukarno akan bahaya PKI apabila berhasil bangkit. Akan tetapi bagi Sukarno melarang PKI berkembang maka bertolak belakang dengan Demokrasi Liberal. Puncak pertentangan kedua proklamator tersebut berujung pada mundurnya Hatta 1 Desember 1956.
Sukarno mengunjungi sahabatnya, Muhammad Hatta yang sakit. diperkirakan terjadi pada tahun 1963. (Dokumentasi: istimewa) |
Soft Opposition
Paska mundurnya Hatta dari kursi Wakil Presiden RI, ia memilih jadi rakyat biasa dengan mengisi kegiatannya dengan menulis dan mengajar. Hatta dengan gelar doktorandus (Drs.) dan Doktor Honoris Causa (Dr. (HC) nya sempat bolak balik Jakarta-Yogyakarta mengajar di Universitas Gadjah Mada. Disela kesibukannya menulis dan mengajar tersebut bukan berarti Hatta sepenuhnya "masa bodoh" dengan jalannya pemerintahan. Justru sebaliknya, ia banyak memberikan masukan hingga kritikan agar jalannya pemerintahan lebih baik. Akan tetapi ini bukan berarti Hatta memusuhi Sukarno atau sebaliknya. Mereka masih berteman dengan baik dan sering bertemu. Nah dalam pertemuan itulah biasanya Hatta menyampaikan masukan kepada Sukarno.
Seperti kejadian pada 1958, dimana Sukarno datang ke rumah Hatta dalam jamuan makan bersama. Di sela-sela pertemuan tersebut Hatta kembali mengingatkan Sukarno, lagi-lagi soal PKI yang diizinkannya masuk dalam kabinet dan konsep Nasakom. Tidak sampai disitu, momen dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Sukarno cukup disayangkan oleh Hatta. Mengantarkan Indonesia masuk dalam sistem Demokrasi Terpimpin, Sukarno mengatakan "marilah sekarang kita kubur semua partai!". Hatta menyebut tindakan Sukarno ini sebagai kediktatoran.
Bagi Hatta, dalam sejarah dunia kediktatoran yang bertumpu pada kewibawaan seseorang tidak akan lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dibuat oleh Sukarno tidak akan berumur panjang melebihi umurnya sendiri. Hal tersebut dituturkan oleh Hatta kepada Pak Wangsa, sekretarisnya, dalam perjalanan di kereta dari Yogyakarta ke Jakarta. Belakangan hari hal ini terbukti dimana kedudukan Sukarno mulai melemah paska Peristiwa 30 September 1965. Tulisan-tulisan Hatta lainnya yang mengkritisi pemerintahan Sukarno juga terdokumentasi dalam tulisan berjudul Demokrasi Kita yang dimuat dalam majalah Pandji Masyarakat pimpinan Buya Hamka. Tulisan yang cukup membuat kuping Sukarno "memerah" tersebut menyebabkan majalah Pandji Masyarakat dibredel (dilarang terbit).
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, meski Hatta kerap kali mengkritisi Sukarno (ataupun sebaliknya) bukan berarti ketegangan itu mempengaruhi hubungan pribadi mereka yang bisa menyebabkan permusuhan. Suatu ketika Hatta berkunjunga ke Amerik Serikat dan diberondong dengan publik disana dengan cemoohan dan hinaan, Hatta menukas bahwa baik buruknya Sukarno ia tetap seorang presiden bagi dirinya. Pandangan politik kedua tokoh tersebut memang kerap bersebrangan, tetapi Sukarno menghormatinya dan tetap menganggap Hatta sebagai sahabat dan karibnya. Pada 1963 atas perintah Sukarno, Hatta mendapatkan perawatan kesehatan setelah jatuh sakit di Stockholm, Swedia, dengan biaya negara. Kemudian pada tahun 1968 Hatta menjadi wali nikah bagi putra pertama Sukarno, Guntur Sukarnoputra. Saat itu Sukarno tidak bisa hadir karena sedang sakit. Terakhir kali, sekitar Juni 1970 Hatta mengunjungi Sukarno di Wisma Yaso, rumah penahanan politiknya dikala sahabat perjuangannya tersebut sakit keras.
Sumber:
Muhammad Hatta, 2011. Berjuang dan Dibuang: Sebuah Otobiografi, Kompas Gramedia, Jakarta
Wikipedia
Kompas
Merdeka
Roso Daras: Dibalik Perpecahan Sukarno-Hatta
Tirto.id:
-Sukarno Hatta Dwi Tunggal yang Tanggal
-Cara Legendari Hatta Mengkritik Sukarno
Penulis:
M. Rikaz Prabowo
0 Comments:
Post a Comment