Hitoshi Imamura, Jenderal Jepang Yang Diselamatkan Bung Karno

General Hitoshi Imamura
(Dokumentasi: gettyimages)
Masa pendudukan Jepang yang berlangsung dari tahun 1942 hingga kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 memang suatu babakan waktu yang cukup singkat, hanya 3 tahun. Akan tetapi ada berbagai pengaruh yang amat besar dari sekitar  3 tahun tersebut dalam kehidupan sehari hari, bahkan hingga sekarang. Banyak kisah-kisah di sekitar zaman kemerdekaan yang masih belum banyak terungkap dalam buku sejarah. Salah satunya tentang sosok si jenderal Jepang penakluk kolonialisme Belanda, yakni Hitoshi Imamura. Terlebih Jenderal Imamura ternyata punya kedekatan yang cukup baik pada pemimpin republik, katakanlah Sukarno. 


Hitoshi Imamura lahir di Prefektur Miyagi, 27 Juni 1886. Karir militernya dimulai saat ia lulus dari Akademi Militer Kekaisaran Jepang pada 1907 dengan pangkat letnan dua. Karirnya terus menanjak dan dikenal cukup berprestasi. Pada 28 Januari 1932 pangkatnya sudah mencapai kolonel dan menjadi komandan Narashino Army School. Pada Maret 1935 pangkatnya sudah mencapai jenderal, tepatnya mayor jenderal dan menjadi salah satu kepala staf di Tentara Kwantung, yakni tentara yang beranggotakan bangsa China di negara boneka Manchuko, Manchuria. Pangkatnya terus mengalami kenaikan, pada Maret 1938 ia sudah berpangkat letnan jenderal dan memimpin Divisi ke-5 Tentara Kekaisaran Jepang yang sedang dalam peperangan Sino-Japanese War kedua di China. Tidak lama ia kembali dipindahkan menjadi komandan Pasukan Angkatan Darat ke 23  Tentara Kekaisaran Jepang yang bermarkas di Guangdong pada 1941.


Misi Mengusir Hindia Belanda

Palagan pertempuran Imamura harus kembali bergeser, belum ada setahun memimpin Pasukan AD ke 23, ia dipindahkan ke Pasukan AD ke 16. Misi Pasukan AD ke 16 Imperial Japanese Army cukup berat, yakni menaklukkan Pulau Jawa sekaligus mengusir Belanda dari pulau yang menjadi pusat administrasi mereka itu. Hasilnya, dalam tempo tiga bulan sejak Jepang mendarat di Tarakan (Januari 1942) Kalimantan Utara, pada 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Jenderal Teer Porten harus menandatangani kapitulasi dengan bala tentara Jepang di Kalijati, Subang. Segera setelah itu seluruh perwira tentara Belanda dan Hindia Belanda di jebloskan ke dalam penjara,  dan menjalani kerja paksa, termasuk keluarga mereka yang diinternir dalam kamp oleh Jepang. Dalam waktu tiga tahun tersebut orang Belanda benar-benar merasakan bagaimana rasanya dijajah dan hidup serba kekurangan. 

Keberhasilan Imamura dalam menaklukkan Jawa sebenarnya bukan dengan jalan yang mudah, saat mencoba mendarat di Jawa, tepatnya di Banten bahkan ia hampir tewas. Kapal yang membawa dirinya Shinsu Ryoju Maru tenggelam di Selat Sunda karena torpedo dari sesama kapal perang Jepang. Torpedo itu sebenarnya dilepaskan untuk mengejar kapal perang Amerika dan Inggris yang kebetulan berpepasan dengan armada yang mengangkut Pasukan AD ke 16, namun luput menuju kapal yang ditumpangi Imamura. Berjam-jam ia terombang-ambing kedinginan di permukaan laut Selat Sunda sebelum akhirnya di selamatkan kapal Jepang yang lain dan dibawa ke Pelabuhan Merak.


Jenderal Hitoshi Imamura yang dikelilingi anak-anak pribumi
disuatu tempat di Jawa,
(Dokumentasi: Isimewa).
Selama memimpin Jawa, Imamura dikenal sebagai jenderal yang cenderung lemah lembut (dibaca: tidak kasar) pada rakyat. Ia menolak menjalankan pemerintahan "tangan besi" pada penduduk Jawa, yang menurutnya sangat ramah bahkan kemenangan atas Belanda juga berkat andil dukungan rakyat. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa rakyat di Jawa (awalnya) cepat bersimpati dan mendukung kehadiran tentara Jepang mengenyahkan Belanda. Maklum, kebencian rakyat di Jawa terhadap Belanda benar-benar sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Saat Jepang masuk mengusir Belanda, orang Jawa menganggap mereka sebagai pembebas. Kelembutan Imamura bahkan juga berhasil merangkul kaum nasionalis yang akhirnya mau berkerja sama dengan Jepang, katakanlah seperti Sukarno, Hatta, K.H Dewantara, K.H Mas Mansyur dan sebagainya. Akan tetapi kondisi ini tidak berlangsung lama jenderal yang cukup disenangi rakyat Jawa itu dipindahkan. Kali ini ke Rabaul, Papua Nugini, memimpin Pasukan AD ke 8 di Pasifik untuk mengusir Amerika Serikat pada 9 November 1942. Pengganti Imamura, seperti Kumakichi Harada dan Yuichiro Nagano gagal mempertahankan simpati rakyat Jawa karena menjalankan pemerintahan yang cukup keras dan kejam pada rakyat.


Misi Penyelamatan Imamura

Front pasifik dalam Perang Dunia II antara Pasukan Jepang dengan Pasukan Sekutu berlangsung sengit dan berdarah-darah. Pasukan Jepang lewat Angkatan Lautnya yang awalnya begitu jaya, menjelang 1944 mulai mengalami kekalahan. Di Papua Nugini dan Kepulauan Solomon, Pasukan AD maupun AL Jepang mulai rontok lewat pertempuran darat laut dan udara. Antara bulan Agustus-September 1945 pasukannya menyerah pada pasukan sekutu (Australia). Ia kemudian ditahan di Rabaul untuk menghadapi pengadilan penjahat perang Jepang oleh sekutu pada 21 April 1946. Pada bulan Mei 1947 ia dinyatakan bersalah dan dihukum 10 tahun penjara, akan tetapi ia tidak  langsung menjalankannya. Ia dipindahkan ke Jakarta yang saat itu kembali dikuasai Belanda untuk menjalani persidangan penjahat perang kedua yang disponsori oleh Negeri Oranje atas kejahatannya selama memerintah Jawa. 
Di Jakarta ia ditahan oleh Belanda di Penjara Cipinang. Kehadiran ia kembali ke Jakarta terdengan hingga ke seantero ibukota. Jenderal Jepang yang dulu amat dikagumi rakyat dan menghancurkan bala tentara Belanda dalam tempo delapan hari tersebut kini jadi pesakitan di penjara. Bila Australia mengganjar ia dengan hukuman 10 tahun, maka Belanda punya rencana yang lebih radikal untuk menghukum mati Imamura sehingga pengadilan ini menjadi ajang balas dendam antara dirinya dan Belanda. Bahkan Belanda punya rencana untuk langsung menghukum mati Jenderal Imamura tanpa melalui pengadilan. Toh, dengan melewati pengadilan ia juga bakal bernasib sama seperti anak buahnya, Maruyama (Komandan Divisi) dan Shoji (Komandan Resimen).
Rencana Belanda ini terdengar ke telinga Presiden Sukarno yang saat itu berada di ibukota RI  Yogyakarta. Sukarno dan Imamura memang sahabat dekat, pertemuan pertama mereka saat sang proklamator dibebaskan saja sudah cukup berkesan. Imamura terkesan dengan kuasa rakyat dan kharisma pada Sukarno, sebaliknya Sukarno juga menganggap Imamura sebagai jenderal yang baik dan sangat diplomatis-kooperatif dalam mendukung kehidupan Indonesia yang lebih baik (dibaca: merdeka). Menurut Sukarno, Imamura adalah seorang tentara sejati yang berjuang untuk tanah airnya secara terhormat dan bukan seorang penjahat perang seperti yang dituduhkan padanya.
Sukarno tidak rela jika sampai Imamura dihukum mati. Ia memerintahkan orang-orangnya (kaum republik) untuk membebaskan Imamura. Di dalam penjara itu sendiri sebenarnya juga sudah ada mata-mata Presiden Sukarno yang kebetulan juga ditahan di penjara yang sama dan memiliki kontak ke luar. Orang-orang tersebut kemudian menemui Imamura, memperkenalkan diri, dan menjelaskan bahwa mereka adalah orang republik yang mendapatkan tugas untuk membebaskan Imamura. Sejumlah rencana melarikan diri bahkan sudah disusun agar Imamura dapat bebas. 
Bagaimana sikap Imamura terhadap tawaran tersebut? Ditolaknya! Ia menjawab, "saya seorang Samurai sejati. Saya tidak bersalah terhadap tuduhan melakukan pembunuhan pada bangsa Belanda yang tidak bersenjata. Saya tidak melakukan kekejaman terhadap mereka. Dengan tabah saya akan hadapi apa pun yang akan terjadi sebagai seorang perwira yang terhormat. Terima kasih pada Presiden anda dan sampaikan pesan bahwa saya tetap di mana saya berada". Mengetahui tawarannya ditolak secara halus oleh Imamura, Sukarno tidak kehabisan akal dan masih terus mengupayakan agar Imamura tidak dihukum mati. 

Foto bersama pembesar Jepang, tampak Jenderal Hitoshi Imamura
(keempat dari kanan depan), dan Sukarno (ketiga dari kanan depan)
(Dokumentasi: Istimewa).

Sebelum dijalankannya sidang vonis Jenderal Hitoshi Imamura, Sukarno mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada intinya berisi pembukaan aib kejahatan perang negeri Belanda di Indonesia bila Imamura sampai di vonis mati.  Dalam surat tersebut Sukarno menuliskan, "Kalau Imamura dieksekusi, kami akan berbicara melalui siaran radio internasional, dan secara terbuka kami akan menggugat anda, karena telah menikam, memperkosa dan menganiaya perempuan-perempuan yang tidak berdosa. Dengan terus terang kami katakan, kami akan membuktikan kepada dunia kejahatan perang yang telah anda lakukan". Surat ini cukup membuat ciut petinggi Hindia Belanda dan berfikir mendalam mengenai risiko jika Imamura dihukum mati.
Pada sidang vonis 24 Desember 1949, (tepat tiga hari sebelum penyerahan kedaulatan Belanda ke Indonesia pada 27 Desember 1949) ia di vonis tidak bersalah dan bebas dari segala tuntutan. Tuntutan mati yang dilontarkan Jaksa dimentahkan oleh Hakim. Belakangan hari diketahui hasil putusan ini merupakan intervensi dari Gubernur Jenderal Belanda kala itu (A.H.J Lovink). Selamatlah Jenderal Hitoshi Imamura dari eksekusi mati. Pada Januari 1950 ia dipulangkan ke Jepang dan menjalani hukuman penjara yang ia terima dari putusan pengadilan penjahat perang di Australia, di Penjara Sugamo, Tokyo.  Pada November 1954 ia sudah dibebaskan dari penjara dan menjalani hidupnya dengan damai seperti rakyat sipil biasa. Jenderal yang gagah namun ramah dan berhasil membawa mimpi buruk bagi kolonialisme Belanda di Kalijati pada 8 Maret 1942 itu wafat pada 4 Oktober 1968 dalam usia 82 tahun.


Sumber:
(Buku)Cindy Adams, 2014. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta.
National Geographic, 14 Oktober 2013
Hitoshi Imamura - Penjajah Jepang Yang Disukai Rakyat Indonesia, diunduh dari rightdeve-id.blogspot.co.id/


Penulis:
M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment