Gaya berpakaian dan musik Koes Plus pada tahun 1960'an dan beraroma kebarat-baratan, Rock'n Roll orang bilang. Sialnya saat itu pemerintah Sukarno sedang menggalakkan kampanye anti budaya dan pengaruh barat, termasuk dalam bidang seni musik. Larangan ini tidak dihiraukan Koes Plus dan menyebabkan ia dipenjara.
Personel grup musik legendaris Koes Plus, Yon Koeswoyo, yang memainkan gitar sekaligus vokal pada 5 Januari 2018 meninggal dunia pada usia 78 tahun. Ia menghembuskan nafasnya setelah berjuang melawan penyakit yang ia derita selama 2 tahun. Kepergian Yon menyusul dua anggota Koes Plus lain yang sudah lebih dahulu menghadap yang maha kuasa, Tony Koeswoyo yang wafat pada 1987 dan Murry pada 2014.
Grup musik Koes Plus awalnya bernama Koes Bersaudara setidaknya hingga tahun 1969, sebelum Nomo Koeswoyo (drum) keluar dan digantikan oleh Murry. Murry adalah satu satunya anggota grup yang bukan keluarga Koeswoyo, sehingga grup itu pun berubah nama menjadi Koes Plus hingga sekarang. Memasuki tahun 70'an karir Koes Plus terus menanjak hingga mencapai puncaknya pada tahun 80'an. Sebagai suatu grup musik yang melegenda di jagad permusikan tanah air, perjuangan Koes Plus tersebut bukanlah dicapai dengan waktu yang cepat dan mudah. Sebalinya, Koes Plus menjalani tahun-tahunnya dengan penuh asam-garam perjuangan bahkan nyaris bubar pada tahun 1965 karena dipenjara.
Penjara Glodok
Pada 29 Juni 1965 anggota Koes Bersaudara, mulai dari Tonny, Yok, Yon, dan Nomo ditangkap oleh polisi dan kemudian dijebloskan ke Penjara Glodok. Penjeblosan itu jelas tanpa suatu alasan yang kuat dan tidak melalui proses pengadilan. Apa sebab? Politik. Ya, pada dekade 1960an pemerintah Presiden Sukarno sedang gencarnya melarang masuknya unsur budaya barat yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Maklum saja saat itu Indonesia memang sedang bersitegang dengan dunia barat, terutama Inggris sebagai negara kolonialis yang diangap membidani kolonialisme gaya baru dengan mendirikan Federasi Malaysia.
Penjara Glodok
Pada 29 Juni 1965 anggota Koes Bersaudara, mulai dari Tonny, Yok, Yon, dan Nomo ditangkap oleh polisi dan kemudian dijebloskan ke Penjara Glodok. Penjeblosan itu jelas tanpa suatu alasan yang kuat dan tidak melalui proses pengadilan. Apa sebab? Politik. Ya, pada dekade 1960an pemerintah Presiden Sukarno sedang gencarnya melarang masuknya unsur budaya barat yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia. Maklum saja saat itu Indonesia memang sedang bersitegang dengan dunia barat, terutama Inggris sebagai negara kolonialis yang diangap membidani kolonialisme gaya baru dengan mendirikan Federasi Malaysia.
Sejumlah band luar negeri seperti The Beatles dan penyanyi Elvis Presley, adalah contoh yang ideal dimana bentuk musik maupun pengaruhnya dilarang oleh pemerintah. Sukarno menyebut musik The Beatles dan semacamnya sebagai musik ngak-ngik-ngok. Bentuk pengaruhnya bisa direpresentasikan dengan cara berpakaian. Grup musik asal Inggris tersebut memiliki banyak fans di Indonesia. Gaya rock'n roll-nya mempengaruhi banyak grup musik beraliran rock dan pop di tanah air, termasuklah Koes Bersaudara. Apa boleh buat meskipun Koes Bersaudara mengetahui adanya larangan dari pemerintah, mereka tetap manggung demi memuaskan penggemarnya yang terlanjur mengibaratkan The Beatles-nya Indonesia.
Hari-hari sebelum mereka ditangkap dan dijeblokan ke penjara, Koes sempat manggung dalam sebuah pesta yang diadakan di rumah Kolonel Koesno di daerah petamburan. Beberapa lagu The Beatles sempat dinyanyikan, termasuk judul yang paling populer saat itu, I Saw Her Standing There. Di luar rumah Kolonel Koesno, berkumpul sejumlah massa yang memprotes Koes lengkap dengan spanduk mengecam budaya barat. Keesokannya mereka dijemput aparat dan langsung dibawa ke penjara glodok untuk "menginap" saat itu juga. Dugaan membawa lagu yang terlalu kebarat-baratan (padahal dilarang pemerintah) diduga menjadi penyebab utama penangkapan mereka yang tanpa proses hukum tersebut. Pada 29 September 1965 tanpa alasan yang jelas pula akhirnya mereka dibebaskan dari penjara glodok, tepat sehari sebelum peristiwa 30 September.
Skenario Pemerintah
Rupanya penangkapan Koes oleh aparat pemerintah belakangan hari hanya sebuah sandiwara yang skenarionya sudah disiapkan pemerintah, termasuk aksi protes massa saat manggung di rumah Kolonel Koesno tempo hari. Yok Koeswoyo menceritakan kepada salah satu jurnalis pada 2013, dalam keterangannya, penangkapan pada 1965 silam sebenarnya sudah direncanakan oleh penguasa. Yok dan kawan-kawan akan dijadikan agen pemerintah yang sengaja disuru manggung konser di Malaysia. Menurut keterangannya, "rencana negara mengirim kami ke Malaysia untuk mengintip atau mengintai langsung apakah orang Indonesia di sana atau orang Malaysia antipati kepada Indonesia, karena waktu itu kita kurang sreg dengan berdirinya Malaysia yang sebelumnya bernama Malaya".
Dugaan bahwa Koes ditangkap aparat karena memainkan lagu barat The Beatles ternyata juga tidak sepenuhnya benar, melainkan sengaja dijadikan korban. Dengan penangkapan demikian maka akan tercipta opini publik bahwa mereka adalah korban dari larangan anti budaya barat. Memasukkan mereka ke penjara juga dapat menjadi suatu kesan bahwa grup musik itu tidak disukai pemerintah dan diharapkan tidak dicurigai jika dikirim manggung di Malaysia. Sayangnya rencana ini gagal, jika saja tidak meletus Peristiwa 30 September mungkin mereka bakal dikirim ke Malaysia. Setelah kejatuhan Sukarno pada 1967, Koes Bersaudara vakum dan personilnya banyak yang banting setir alih profesi. Pada 1969 mereka mencoba bangkit kembali dengan memasukkan Murry menggantikan Nomo di posisi drum.
Pada era Presiden Suharto, Koes Bersaudara yang sudah berganti nama menjadi Koes Plus kembali dijadikan agen pemerintah dan dikirim manggung ke Timor-Timur pada 1974. Misinya jelas, untuk melihat sejauh mana masyarakat (dahulu bernama) Timor Portugis yang pro Indonesia. Koes Plus sedang naik daun pada tahun 1970an dan lagunya cukup dikenal di beberapa negara sekitar Indonesia. Sesampainya di Tim-Tim pada awal 1974 mereka mendapatkan sambutan yang meriah dan hangat. Saat pulang ke Indonesia pun mereka dijemput oleh sejumlah menteri seperti Adam Malik (Menlu) dan Ali Moertopo (Aspri Presiden Suharto). Tentu saja sepulang di tanah air Koes Plus segera menceritakan suasana di Tim-Tim. Cerita tersebut tentu sudah cukup sebagai data intelejen pemerintah Indonesia dalam melancarakan Operasi Seroja pada Desember 1974.
Sumber:
Andika Putra, 2016, dalam "Koes Bersaudara Rela Masuk Bui Demi Indonesia", diunduh dari CNN Indonesia
Budi Setiyono, 2018, dalam "Selamat Tinggal Penyanyi Tua", diunduh dari Historia K. Tatik Wardayati, 2018, dalam "Ternyata Koes Plus Pernah Disapkan menjadi Agen Mata-mata", diunduh dari Intisari Online.
Penulis: M. Rikaz Prabowo
2 Comments:
keren nih..
salam,
https://marketing.ruangguru.com/bimbel
mantep abis postingannya. Thanks
Post a Comment