Jurus Terakhir The Smiling General

Presiden Suharto (sumber: harapanrakyat.com)


Pada 20 Mei 1998, tepat sehari sebelum runtuhnya Orde Baru, Presiden Suharto membuat manuver politik terakhirnya dengan melakukan reshuffle kabinet dan membentuk kabinet baru bernama Kabinet Reformasi. Sayang, jurus terakhirnya ini gagal, banyak menteri yang enggan mendampinginya lagi. 


Jakarta bulan Mei 1998 menjadi lautan demonstrasi baik oleh mahasiswa atau rakyat yang menuntut Pak Harto meletakkan jabatannya. Pemerintahannya dinilai telah gagal mengatasi Krisis Moneter yang berujung pada berbagai masalah sosial seperti pemutusan hubungan kerja massal. Pak Harto sudah terlalu lama menjabat, 32 tahun, namun baru kembali terpilih sebagai presiden pada Pemilu 1997. Desakan mundur oleh berbagai pihak mulai disuarakan, namun Pak Harto tetap ingin menyelamatkan kekuasannya.

Jakarta sudah dikepung dari segala penjuru oleh massa yang menuntut dirinya mundur. Terhitung sejak 18 Mei 1998 Gedung DPR/MPR di Senayan sudah diduki oleh mahasiswa dengan tuntutan untuk diadakan Sidang Istimewa pemberhentian Suharto. Sadar kekuasaannya diujung tanduk ia melakukan reshuffle kabinet pada 20 Mei 1998 dan membentuk kabinet baru yang ditujukan untuk melaksanakan sejumlah agenda perbaikan kehidupan sebagaimana tuntutan reformasi. Sesuai tujuannya, kabinet baru ini juga dinamakan Kabinet Reformasi.

Nahas, layar belum berkembang kapal sudah kena karang. Kabinet baru ini gagal terbentuk, 14 menteri menolak bergabung. Berdasarkan dokumen Surat Kabar Harian Kompas tanggal 27 Mei 1998, terungkap pada tanggal 20 Mei 1998 keempat belas menteri yang menolak masuk ke dalam kabinet itu mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas pukul 14.30. Pertemuan tersebut menghasilkan suatu kesepakatan untuk menolak bergabung dalam kabinet reformasi. Keempat belas menteri tersebut yakni: Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng. (Bayu Galih: 2015)

Penolakan ini semakin menambah daftar panjang menteri-menteri yang mulai meninggalkan Suharto, sebelumnya Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya, Abdul Latief, mengirimkan surat permohonan mengundurkan diri. Surat itu bahkan belum dijawab oleh Suharto sampai ia menyatakan mundur 21 Mei 1998


Komite Reformasi
Selain melakukan reshuffle kabinet dan membentuk Kabinet Reformasi, diketahui Presiden Suharto juga memprakarsai pembentukan suatu komiter untuk mempercepat proses reformasi. Sesuai namanya komite itu dinamakan Reformasi. Inginnya Pak Harto, komite tersebut diketuai oleh cendikiawan Nurcholis Madjid. Sayang, Cak Nur sapaan akrab Nurcholis Madjid enggan mengetuai komite ini. Staf Khusus Presiden, Yusril Ihza Mahendra, juga gagal mengajak tokoh cendikiawan dan demokrasi lain seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Makruf Amin, Cholil Baidowi, Ali Yafie, Emha Ainun Nadjib, Achmad Bagdja, dan Sumarsono. (Randy Wirayudha, 2015)


Kecewa
Presiden Suharto menerima kabar penolakan keempat belas menteri tersebut sekitar jam 20.00 tanggal 20 Mei 1998 dalam sebuah surat yang diantarkan oleh ajudannya Kolonel Sumardjono. Mengetahui penolakan tersebut, Pak Harto sangat terpukul dan kecewa. Bukan tanpa sebab? Ia merasa telah ditinggalkan, bahkan kasarnya dikhianati oleh menterinya sendiri yang tidak sedikit merupakan orang dekat dirinya dan banyak ia bantu. Alinea pertama surat itu menyebutkan secara implisit agar Suharto mundur. Berikut petikan alinea dalam surat tersebut: (Tempo, 2008: 28)
"Kami berkesimpulan bahwa situasi ekonomi kita tidak akan mampu bertahan lebih dari satu minggu apabila tidak diambil langkah-langkah politik yang cepat dan tepat sesuai dengan aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai reformasi di segala bidang, seperti antara lain yang direkomendasikan oleh DPR RI dengan pimpinan fraksi-fraksi pada Selasa 19 Mei 1998".
Kegagalan pembentukan komite reformasi juga semakin meyakinkan Pak Harto pada malam itu juga untuk mundur dari jabatannya keesokan harinya. "Jurus" yang ia formulasikan tidak ada yang berhasil. Dalam suatu statment nya sebagaimana diungkapkan Yusril Ihza Mahendra, ia berujar "jika orang yang moderat seperti Cak Nur tak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur". Pada 21 Mei 1998 tepat jam 09.00 pagi di Istana Negara, Presiden Suharto yang telah menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia tersebut akhirnya menyatakan mundur, lengser keprabon. 


Sumber:
Bayu Galih, Kisah Soeharto Ditolak 14 Menteri, tanggal 20/05/2018, diunduh dari www.kompas.com pada 21 Mei 2018
Majalah Tempo, Edidi Khusus Soeharto, 4-10 Februari 2018
Randy Wirayudha, Komite Reformasi yang Gagal, 21/05/2015, diunduh dari www.okezone.com

Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 Comments:

Post a Comment