Perayaan Kemerdekaan Belanda 1913 Membawa Korban

Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara)
Sumber: Istimewa
Berdirinya organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 menjadi suatu momentum bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia yang semula melalui jalur peperangan atau perlawanan kedaerahan, berubah menjadi jalur organisasi dan gerakan politis yang bersifat nasional.
Berdirinya BO juga memicu munculnya organisasi lain yang pada intinya memiliki tujuan untuk meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia. Pada 25 Desember 1912, tepat di Hari Raya Natal berdiri organisasi Indische Partij (IP) di Bandung. IP awalnya didirikan oleh E.F.E Douwes Dekker alias Doktor Setyabudi, kemudian ia merangkul dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Jadilah mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai" yang membesarkan IP.

Tidak seperti organisasi lain seperti Boedi Oetomo dan Muhammadiyah yang pergerakannya di jalur sosial-pendidikan, IP secara terang-terangan merupakan suatu organisasi politik yang memiliki tujuan akhir kemerdekaan Hindia. Meskipun begitu IP menjadi organisasi politik yang unik dimana perjuangan kemerdekaan yang sebagai tujuan akhir itu diperjuangkan oleh anggota-anggota berdarah campuran Belanda-Indonesia (Indo) bersama orang pribumi. Douwes Dekker (DD) sendiri orang Indo dari ayahnya seorang Belanda, sedangkan dr. Cipto Mangunkusomo masih keturunan priyayi rendah di Jepara. 

Tentang Suwardi Suryaningrat, ia merupakan pembesar IP yang berasal dari Yogyakarta dan masih memiliki "darah biru" karena cucu dari Sri Pakualam III dari Kadipaten Pakualaman. Suwardi memiliki kemampuan menulis yang baik karena malang melintang bekerja di surat kabar dan penulis kolom di De Express, Oetoesan Hindia, Sediotomo, hingga Tjahaja Timoer. Suwardi bukan tipe orang yang berjuang menentang kolonial dengan pengerahan masa seperti demonstrasi. Melainkan melalui tulisan yang sangat tajam dan memiliki semangat kemerdekaan - anti kolonial.

Akibatnya permohonan IP untuk menjadi badan hukum yang diakui pemerintah ditolak. Malah pada 4 Maret 1913 IP dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Meski IP telah dinyatakan terlarang dan dibubarkan pemerintah, namun kekritisan dan agitasi oleh anggotanya tetap dijalankan. Pada Juni 1913 Suwardi Suryaningrat membuat panas kuping pemerintah kolonial, pasalnya ia mengkritik rencana pengumpulan sumbangan dari rakyat untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari Perancis. Tulisannya berjudul Als Ik Een Nederlander Was atau berjudul 'Andai aku seorang Belanda' pada intinya berisi kecaman yang menggunakan gaya bahasa yang cukup satire, bahwa bila Suwardi orang Belanda ia tidak akan menyelenggarakan peringatan kemerdekaan di negeri yang justru kemerdekaannya telah dirampas. Tulisan itu dimuat dalam surat kabar De Express pada 13 Juli 1913.

Segera setelah artikel itu diterbitkan ke muka umum, pemerintah kolonial melakukan pencekalan dan  mengancam akan menangkap Suwardi Suryaningrat dan kawan-kawan IP jika masih berani kembali menerbitkan artikel pedas. Ancaman ini tidak menciutkan nyali Suwardi, seminggu kemudian pada 28 Juli 1913 artikel berjudul Een vor Allen, Allen vor Een (satu untuk semua, semua untuk satu) terbit di De Express. Artikel ini membuat kesabaran pemerintah habis, Suwardi Suryaningrat ditangkap di Bandung, menyusul kemudian dr. Cipto Mangunkusumo karena tulisan yang bernada serupa berjudul Kracht of Vreez (ketakutan atau kekuatan) pada 20 Juli 1913. Douwes Dekker juga mengalami nasib serupa setelah tulisannya berjudul Onze Helden: Tjipto Mangunkusumo en Suwardi Suryaningrat pada 5 Agustus 1913 di surat kabar De Express. Tulisannya itu mengkritik dan mengecam tindakan represif atas penangkapan kedua koleganya oleh polisi kolonial.

Tidak sampai sebulan sejak penangkapan pada 18 Agustus 1913 trio pembesar IP ini diputuskan bersalah oleh majelis pengadilan dan dijatuhi hukuman pembuangan selama 5 tahun. Majelis menghukum mereka bertiga masing-masing dibuang ke Bangka, Banda Neira, dan Timor, namun mereka menolak dan memilih dibuang ke negeri Belanda dan ini disetujui. Pada 13 September 1913, dengan menumpang kapal Bullow, berangkatlah ketiga serangkai itu ke pembuangan di Belanda bersama Sutartinah. Sutartinah adalah isteri Suwardi Suryaningrat yang baru dinikahinya sekitar seminggu sebelum keberangkatan yang dilangsungkan di Yogyakarta. Pada September 1919 Suwardi telah kembali ke Indonesia. Jalan perjuanganya dalam memerdekakan Indonesia berubah paska kepulanganya dari negeri Belanda. Tidak lama ia mendirikan Perguruan Tamansiswa dan lebih memilih mengembangkan pendidikan untuk pribumi setelah ia memberoleh Europeesche Akta  saat pembuangan. Ia mengganti namanya Ki Hadjar Dewantara, menanggalkan gelar kebangsawanannya agar dapat lebih diterima rakyat.

Artikel ini juga dimuat di senandika.web.id

Sumber:
Aryono, Kisah Cinta Ki da Nyi Hajar Dewantara, Historia 14 Februari 2017, diunduh dari https://historia.id/modern/articles/kisah-cinta-ki-dan-nyi-hajar-dewantara pada 7 Juli 2018
Suhartono, 2001. Sejarah Pergerakan Nasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment