Aceh dan Asal Muasal Julukan Serambi Mekkah

Kapal Jan Pieterzoon Coen di Pelabuhan Sabang pada 1935
(Sumber: wikimedia.com)

Artikel ini juga terbit pada senandika.web.id dengan judul Asal Usul Istilah Serambi Mekkah

Menjelang datangnya musim ibadah haji 2018 ditandai dengan beberapa bandara di Indonesia yang berstatus sebagai embarkasi mulai dipenuhi tamu Allah SWT yang mengantri untuk diterbangkan dalam suatu kelompok terbang (kloter). Jemaah haji Indonesia saat ini boleh berbangga dan merasa praktis soal kefisienan melakukan perjalanan ke Mekkah ataupun Madinah hanya dalam hitungan jam dengan pesawat terbang. Puluhan tahun yang lalu, saat harga tiket pesawat sangat mahal tidak sedikit jamaah haji yang memilih perjalanan laut untuk sampai ke Arab Saudi. Mereka yang menggunakan jalur ini harus memakan waktu yang lebih panjang dalam perjalanan dan harus singgah di Sabang, Aceh. 


Tempat tersebut bernama Karantina Haji Pulau Rubiah, yang masuk dalam gugusan Kepulauan Sabang, Provinsi Aceh, Tempat ini sudah didirikan lama sejak masa kolonial Hindia Belanda pada 1920-an.  Adapun Pulau Sabang sendiri yang merupakan pulau gugusan utama merupakan pelabuhan bebas dan menjadi tempat transit kapal-kapal asing yang lebih dikenal saat itu daripada Tumasik (Singapura). Bisa dibilang di Pulau Rubiah inilah karantina haji pertama di seluruh Indonesia. Seperti diketahui pemerintah Hindia-Belanda menjadikan penyelenggaran haji sebagai ladang bisnis yang potensial, terutama dari pembelian tiket kapal, fasilitasi hotel, perlengkapan haji, makanan, dan sebagainya. Selain itu pemerintah kolonial juga mendirikan badan khusus yang mengurusi haji dan fasilitas penunjang lainnya, salah satunya adalah karantina haji di Pulau Rubiah, Sabang.

Karantina haji ini sengaja didirikan sebagai pelabuhan terakhir sebelum sepenuhnya berlayar lepas diluar wilayah perairan Indonesia. Disana para jamaah haji akan kembali diperiksa perbekalan, administrasi, dan terutama soal kesehatan. Begitupula saat jemaah haji ini selesai melaksanakan ibadahnya, sebelum memasuki perairan Indonesia mereka akan kembali disinggahkan di Karantina Haji Pulau Rubiah. Pemeriksaan kesehatan dilaksanakan untuk memastikan para jamaah tersebut tidak membawa penyakit apapun selepas dari Arab yang bisa menjadi endemik dan ancaman di tanah air.  Dari sinilah muncul istilah Serambi Mekkah yang kini merujuk pada Aceh secara keseluruhan. Ibaratnya Mekkah adalah sebuah rumah, maka dengan menyinggahi Rubiah-Sabang setidaknya para jamaah haji sudah sampai di sisi serambinya. 


Ordonansi Haji 1922
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda cukup serius mengurusi segala hal terkait penyelenggaraan haji bagi warga pribuminya dengan payung hukum Pilgrims Ordonantie Staatsbald 1922 Nomor 698. Peraturan ordonansi ini merupakan ordonansi baru yang menggantikan ordonansi serupa yang telah dikeluarkan pada tahun 1898. Ordonansi Haji 1922 masih memiliki keterkaitan dengan Ordonansi Karantina yang lebih dahulu dikeluarkan pada tahun 1911. Menariknya dalam Ordonansi Haji 1922 fasilitas yang diterima dalam pemberangkatan belum mengenal sistem kelas. Alih-alih menikmati sejumlah fasilitas mewah di atas kapal,  semua penumpang jamaah calon haji malah terdafar sebagai penumpang kelas ekonomi.

Karena belum mengenal bandara sebagai embarkasi, maka pada tahun tersebut ditetapkan enam pelabuhan embarkasi keberangkatan haji di seluruh Hindia Belanda yakni Makassar, Surabaya, Tanjung Priuk (Batavia), Padang, Palembang, dan Sabang. Untuk pencegahan penyakit, dalam ordonansi itu diatur bahwa para penumpang diwajibkan untuk diberikan suntik serum sebelum menaiki kapal sebesar 3 gulden. Kemudian juga kembali diwajibkan untuk membayar sebesar 4 gulden untuk ongkos pemeriksaan kesehatan di Karantina Haji Rubiah. Konon selain alasan pemeriksaan kesehatan, pemerintah juga menggunakan karantina haji untuk mendeteksi orang-orang atau jamaah yang berpotensi melawan pemerintah paska kepulangan dari tanah suci. Maklum saja, saat itu di Jazirah Arab sedang populer gerakan Pan-Islamisme yang dipopulerkan Jamalludin Al-Afgani.

Salah satu sudut bangunan karantina haji Pulau Rubiah yang kurang terawan
(Sumber: akarpadinews.com)


Kalah Pamor
Musim haji tahun 1979 menjadi catatan sejarah dimana untuk terakhir kalinya perjalanan haji  jalur laut dilakukan. Hal ini berimbas langsung pada Karantina Haji Pulau Rubiah yang tidak lagi menerima jamaah haji yang singgah sebelum berlayar ke Arab Saudi. Perjalanan haji menggunakan jalur laut yang sempat berjaya hingga tahun 1960an akhirnya kalah bersaing dengan jalur udara. Waktu tempuh yang lebih singkat dan ongkos pesawat yang semakin murah membuat para calon jamaah haji lebih memilih menggunakan jalur udara. Sebagai perbandingan, pada tahun 1974 pemerintah RI menetapkan ongkos haji jalur udara sebesar Rp. 560.000 sedangkan haji laut sebesar Rp. 556.000. Perbedaan penumpangnya pun berselisih jauh, jalur udara mengangkut 53.752 jamaah berbanding dengan jalur kapal yang hanya 15.396. Pada tahun 1979 ongkos haji jalur laut sebesar Rp.905.000, hal ini justru lebih mahal daripada jalur udara yang hanya Rp.766.000.


Bangunan Karantina Haji Pulau Rubiah - Sabang kini hanya tinggal kenangan bersama fasilitas yang tidak terurus dan terbengkalai. Di sekeliling bangunan dipenuhi semak belukar dan tanaman gulma yang merayapi tembok-tembok. Bangunan yang dulu disinggahi para founding fathers untuk berhaji itu setidaknya hingga April 2018 masih jauh dari kata terawat. Padahal bangunan yang termasuk cagar budaya dan menyimpan sejarah haji di Indonesia selayaknya mendapatkan perhatian lebih khususnya dari pemerintah. Ironisnya tidak jauh dari bibir pantai Pulau Rubiah malah semarak dengan pembangunan sarana penunjang pariwisata laut. Para wisatawan khususnya dari luar pun akhirnya tidak pernah tahu sejarah luar biasa di tengah pulau itu yang justru membuat Aceh dijuluki Serambi Mekkah hingga sekarang.

Catatan:
Kunjungan penulis ke pulau ini dan melihat karantina haji pada 1 Mei 2018 dalam kegiatan Internalisasi Nilai Kebangsaan, Direktorat Sejarah - Kemendikbud RI. 

Sumber:
Ahmad Fauzan Baihaqi, 2016. Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (Tahun 1911-1930), Buletin Al-Turas, Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume XXII, 1 Januari 2016
Eko Huda S, Kapal Laut Terakhir Pengangkut Haji Indonesia, diunduh dari www.dream.co.id pada 27 Juli 2018
Sri Rahmah, Perkembangan Pelabuhan Bebas Sabang Dari Masa ke Masa, Jurnal Arabesk, Balai Pelestarian Cagar Budaya Banda Aceh, No. 2 Edisi XV, Juli - Desember 2015

0 comments:

Post a Comment