dr. Abdoel Halim, Perdana Menteri RI yang Terlupakan

PM dr. Abdul Halim
Konferensi Meja Bundar yang hasilnya diteken di Den Haag Belanda pada 2 November 1949 membawa babak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sesuai kesepakatan, Republik Indonesia Serikat terbentuk dengan 16 negara bagian dan daerah otonomnya. Salah satunya adalah Negara Republik Indonesia yang keukeuh menyatakan telah berdiri pada 17 Agustus 1945. Meskipun bentuk serikat/federal bukanlah keinginan para pendiri bangsa yang sepakat dalam bentuk kesatuan, namun hal ini menjadi harga mahal yang harus dibayar agar Indonesia dapat tegak berdaulat sebagai suatu negara. Dengan begitu kestabilan keamanan dapat tercapai yang akan berdampak positif pada pembangunan dan roda ekonomi.

Pada 27 Desember 1949, Perdana Menteri RIS Moh. Hatta resmi menerima transfer kedaulatan dari Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia. Presiden Sukarno sendiri telah dilantik menjadi Presiden RIS beberapa hari sebelumnya. Di kemudian hari setelah penyerahan kedaulatan Presiden Sukarno maupun PM. Mohammad Hatta kembali ke Jakarta sebagai ibukota RIS. 

Pertanyaan kemudian muncul, apa yang terjadi pada RI? Republik Indonesia tetap ada dan tetap beribukota di Yogyakarta. RI sebagai bagian dari RIS memiliki susunan pemerintahan sendiri yang dijabat oleh Mr. Assat sejak 27 Desember 1949 sebagai Pemangku Jabatan Presiden RI. Nama Mr. Assat sendiri sudah tidak asing di telinga pemerhati sejarah. Dalam Historiografi Indonesia, ia sering disebut-sebut sebagai Presiden RI yang terlupakan karena menjadi negara bagian dalam RIS. Mr. Assat sendiri lebih senang dirinya dipanggil Saudara Acting Presiden. Lelaki berdarah Minang dan berprofesi Advokat ini pada masa revolusi pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) hingga diangkat menjadi Pj. Presiden RI. 

Jika Mr. Assat sering mendapatkan predikat Presiden yang terlupakan, maka pada masa itu RI juga pernah memiliki Perdana Menteri yang berpredikat sama. Bahkan jarang ditulis dalam buku-buku sejarah anak sekolah di negeri ini. Adalah dr. Abdoel Halim, Perdana Menteri RI yang menjabat dari tanggal 16 Januari 1950 hingga 6 September 1950. Pada masa revolusi Abdoel Halim aktif di BP-KNIP bersama Mr. Assat dan turut membidani terbentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tahun 1948. Kesibukannya sebagai politikus membuatnya tidak sempat membuka praktik dokter yang sebenarnya gelar itu sudah diraih sebelum masuknya Jepang. Perhatiannya lebih besar tertuju pada cita-cita mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Meskipun berdarah Minang seperti Mr. Assat, dr. Abdoel Halim sudah malang melintang di jagad kebangkitan politik sebelum kemerdekaan. Pada tahun 1927 ia menjadi ketua pertama sekaligus turut menukangi berdirinya Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) yang merupakan wadah organisasi para atlek sepakbola di Jakarta. Memang dr. Abdoel Halim semasa mudanya sangat menggemari sepakbola, VIJ sendiri dikemudian hari menjadi klub sepakbola yang kini akrab disebut Persija. dr. Abdoel Halim diketahui pula pernah bekerja di Rumah Sakit Umum Negeri Jakarta (sekarang RSCM) pada bagian klinik THT. Setelah kemerdekaan ia mulai ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan jalur politik. Ia bergabung dengan Partai Sosialis pimpinan Sutan Syahrir dan akhirnya dapat bergabung dalam BP-KNIP. Pada 16 Januari 1950 ia diangkat menjadi Perdana Menteri RI menggantikan Susanto Tirtoprodjo yang hanya menjabat dari tanggal 27 Desember 1949-15 Januari 1950. Sedangkan dr. Abdoel Halim sendiri baru mengumumkan pembentukan kabinetnya (Kabinet Halim) pada 21 Januari 1950 dengan Abdul Hakim sebagai Wakil Perdana Menteri. Susanto Tirtodiprodjo kembali masuk dalam Kabinet Halim sebagai Menteri Dalam Negeri. Nama-nama tokoh nasional lain seperti A.G. Pringgodigdo (Menteri Kehakiman), Sugondo Djojpuspito (Menteri Pembangunan Masyarakat), dan S. Mangunsarkoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) juga tergabung dalam Kabinet Halim. 

Salah satu program pemerintah Kabinet Halim ialah mengembalikan Indonesia dalam bentuk negara kesatuan/unitaris. Program ini berjalan dengan baik karena dalam tempo beberapa bulan sejak Januari-Agustus 1950 satu persatu negara bagian dan daerah otonom dalam RIS menyatakan bubar dan bergabung menjadi bagian RI. Hal ini sejalan dengan Mosi Integral M. Natsir yang disampaikan dalam Sidang Parlemen RIS pada 3 April 1950 sebagai solusi untuk memecahkan masalah stabilitas dalam negeri. Dapat dibilang, baik Natsir maupun Abdoel Halim memiliki misi yang sejalan sehingga keduanya menjadi salah satu tokoh pendorong dibubarkannya RIS dan kembali pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah RIS bubar, dr. Abdoel Halim kembali dipercaya oleh M. Natsir menjabat sebagai Menteri Keamanan Rakyat (ad-interim) hingga 27 April 1951. dr. Abdoel Halim rupanya tidak dapat dipisahkan dari dunia olahraga dan turut membidani pemantapan organisasi olahraga yang ada di tanah air. Dari 1951-1955 ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Ia juga menjabat sebagai ketua Ikada Foundation yang berupaya untuk membangun fasilitas olahraga khususnya cabang olahraga atletik di Jakarta. Pada 1952, mantan Perdan Menteri yang memutuskan untuk membujang hingga akhir hayatnya ini berhasil memimpin kontingen RI di Olimpiade Musim Panas di Helsinki, Finlandia.


Penulis: M. Rikaz Prabowo


0 comments:

Post a Comment