Bandung Hampir Jadi Ibukota

Pengibaran Bendera Belanda
di depan Gedung Sate Bandung
sumber: pinterest.com

"Pemindahan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung merupakan jawaban karena kondisi Jakarta yang saat itu kurang sehat dan tidak layak dijadikan pusat pemerintahan kolonial" 

Jakarta atau Batavia menurut tinjauan dari berbagai ahli berkebangsaan Belanda, salah satunya Hendrik Freek Tillema, seorang penilik kesehatan lingkungan yang berkerja untuk pemerintahan. Dalam laporannya, kota-kota di pesisir pantai utara Pulau Jawa adalah kawasan yang tidak sehat.

Tentu hal ini bukan sembarang hasil. Menurut Tillema hal ini dipengaruhi oleh banyaknya daerah rawa yang menyebabkan kerentanan akan penyakit. Batavia yang awalnya mendapat julukan "Ratu Dari Timur" berubah menjadi "Kuburan dari Timur" karena tingginya angka kematian karena penyakit malaria dan kolera. Suhu dan cuaca di Batavia juga dinilai kurang bersahabat, panas dan lembab. Akibatnya penghuni Batavia mudah berkeringat, susah bernafas, dan membuat tubuh lebih cepat lelah. Belum lagi dengan musuh alam Batavia yakni banjir yang sebenarnya sudah melegenda mendera kota ini. Benarkan demikian? Maka hal ini harus digaris bawahi bahwa kesimpulan tersebut merupakan hasil tinjauan berdasarkan standar orang Belanda. Lain halnya bila kesimpulan tersebut dihadapkan pada penduduk pribumi yang sudah berteman akrab dengan suasana Batavia. Masih dalam laporan tersebut, Tillema juga merekomendasikan untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda. Pilihannya adalah Bandung. 

Ada beberapa hal yang menyebabkan Bandung cocok menjadi ibukota Hindia Belanda yang baru selain karena letaknya juga tidak terlalu jauh dari Batavia. Pertama, Bandung memiliki iklim yang sejuk dimana hal ini sangat cocok dengan standar orang Belanda. Bandung saat itu juga belum padat dan masih banyak lahan yang dapat dilakukan perancangan dari nol. Kedua, keadaan alam di Bandung yang pegunungan dan perbukitan diyakini memberi nilai plus bagi militer sebagai benteng alam yang dapat digunakan untuk perlindungan dari serangan musuh. Pemerintah Hindia Belanda akhirnya memutuskan setuju untuk memindahkan ibukota ke Bandung secara bertahap pada 1916 oleh Gubernur Jenderal J.P Graaf van Limburg Stirum.

Sebagai tahap awal, pada 1920 dibangun gedung Government Bedrijven (GB) atau yang kini lebih dikenal sebagai Gedung Sate. Gedung GB yang sedianya akan digunakan untuk Departemen Perindustrian Negara diarsiteki oleh Ir. J. Gerber yang memadukan gaya New Indies dan Rasionalisme Belanda. Tidak lupa lembaga permasyarakatan (penjara) juga sudah mulai dibangun pada 1918 yang kini menjadi Lapas Sukamiskin. Sarana pendidikan juga diperhatikan untuk menyiapkan Bandung sebagai ibukota kolonial, yakni dengan mendirikan Technische Hooge School (sekarang ITB) yang merupakan perguruan tinggi pertama di Hindia-Belanda.  Pada 1924 sejumlah bangunan yang dibangun untuk mempersiapkan pemindahan ibukota mulai rampung, selain gedung GB itu sendiri, gedung Pos-Telepon-Telegraf dan gedung Perpustakaan juga sudah selesai. Untuk sarana transportasi selain membangun jalan raya yang menghubungkan ke berbagai kota dari Bandung, pada tahun 1920 juga dimulai pembangunan sarana penerbangan yang kemudian dinamai Lapangan Udara Andir (kini Bandara Husein Sastranegara).

Tidak hanya dari kalangan pemerintahan yang tertarik dan mempersiapkan pemindahan kantornya dari Batavia ke Bandung, namun juga pengusaha swasta. Tercatat perusahaan Oliefabrieken Insulinde milik Meneer Steeflanda telah mendahului perusahaan lain dengan memindahkan kantor pusatnya  ke Bandung. Instansi pemerintah juga mulai dipindahkan ke Bandung seperti Jawatan Kereta Api Negara, Dinas Pekerjaan Umum, Jawatan Metrologi, Jawatan Geologi, Departemen Perdagangan, Kantor Keuangan, Kementerian Peperangan dan yang paling penting Markas Besar Koninjklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda juga turut berkomando di kota kembang. Hingga tahun 1940 hanya Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan Pengajaran, dan Volksraad yang belum  dipindahkan ke Bandung.


Terganjal Uang dan Perang

Polemik pemindahan ibukota RI yang sedang mewacana ditanggapi pro kontra oleh masyarakat luas. Suara yang kontra menyatakan bahwa pemindahan ibukota membutuhkan biaya yang sangat besar. Belajar dari sejarah, hal ini memang perlu diperhitungankan dengan matang. Wacana pemindahan ibukota kolonial dari Batavia ke Bandung pada akhirnya gagal karena masalah keuangan. Pada 1929 terjadi krisis ekonomi hebat yang mendera sebagian besar negara waktu itu, tidak terkecuali Belanda dan daerah koloninya termasuk Hindia Belanda. Krisis Wallstreet Crash atau Malaise memukul perekonomian Hindia-Belanda, maka tidak heran terjadi inflasi dan harga kebutuhan yang naik tinggi. Pemerintah kolonial pun tidak punya pilihan lain untuk melakukan pengetatan keuangan yang berimbas dengan ditundanya rencana pemindahan ibukota kolonial dari Batavia ke Bandung. Akan tetapi kantor-kantor, jawatan, dan departemen yang sudah berada di Bandung tetap berada disana tidak perlu dikembalikan ke Batavia.

Memasuki tahun 1930an perekonomian Hindia Belanda mulai bangkit setelah terkena dampak Malaise. Wacana untuk kembali memindahkan ibukota kolonial ke Bandung pun kembali mengemuka. Sayangnya usaha ini kembali gagal disebabkan Perang Dunia II yang telah berkecamuk pada 1939. Perhatian pemerintah kolonial sekitar tahun itu mulai fokus pada usaha preventif dari serangan musuh, terutama Jepang yang telah bercokol di sekitar pasifik. Pada 1940 negeri Belanda di Eropa telah diduki oleh tentara Jerman. Beberapa kantor dan pejabat penting di negeri Belanda mulai mengungsi ke Hindia Belanda termasuk di Bandung. Pada tahun 1940 itu pula Koninjklijk Militarie Akademie (KMA) - Akademi Militer Kerajaan, dibuka di Bandung sebagai kelanjutan dari KMA di Belanda yang telah ditutup karena diduduki Jerman.

Pada Januari 1942 Bandung ditetapkan menjadi markas American-British-Dutch-Australian Command (ABDACOM) yakni suatu komando bersama pasukan sekutu untuk membendung serangan Jepang di Asia Tenggara yang dipimpin oleh Sir Archibald Wavell. Bandung dipilih karena wilayah koloni sekutu di Malaya, Filipina, dan sekitarnya sudah berhasil diduduki Jepang. Bandung dipilih karena dianggap relatif masih aman, meskipun sebenarnya kota ini juga sedang bersiap menghadapi Jepang. Bandung akhirnya sempat menjadi ibukota kolonial saat Gubernur Jenderal Tjarda van Stachouwer pindah ke Bandung diiringi oleh instansi-instansi lain dan pejabat-pejabat tinggi Hindia Belanda dari Batavia sekitar akhir Februari 1942. Pemindahan ini dikarenakan Batavia mulai dibombardir oleh pesawat Jepang.

Pada akhirnya bandung menjadi benteng terakhir Hindia Belanda (dan sekutu) dalam menghadapi invasi Jepang. Kota itu penuh sesak oleh para pejabat, pegawai pemerintah, tentara, polisi, hingga masyarakat sipil yang mengungsi dari Batavia dan sekitarnya. Pada 1 Maret 1942 Tentara Jepang sudah berada di Kalijati, Subang, yang letaknya hanya 50km dari Bandung. Kota ini pun akhirnya sempat mengalami pengeboman pada 5 Maret 1942 oleh tentara Jepang, keesokan pada 6 Maret 1942 Pimpinan Perang Hindia Belanda Jenderal Teer Porten mulai membuka kemungkinan untuk perundingan dengan Jepang soal nasib kota Bandung. Dan akhirnya pada 8 Maret 1942 seluruh Hindia Belanda secara resmi menyerah dan Bandung adalah kota besar terakhir yang menyerah pada bala tentara Dai Nippon. Dengan demikian pupuslah impian menjadikan Bandung sebagai ibukota kolonial karena uang dan perang.

Sumber:
Budi Setiyono, Mimpi Dua Kota, diunduh dari https://historia.id/urban/articles/mimpi-dua-kota-P7oEP pada 10 Mei 2019
Ong Hok Ham, 2014. Runtuhnya Hindia Belanda, Penerbit Gramedia, Jakarta.
Wildan Sena Utama, Jualan Wacana Pemindahan Ibu Kota, diunduh dari https://tirto.id/jualan-wacana-pemindahan-ibu-kota-cr4W pada 10 Mei 2019

0 comments:

Post a Comment