Gagalnya Rencana KMB 12 Maret 1949

Komisaris Tinggi Hindia Belanda Louis Beel berbincang(kiri)
dengan PM Sutan Syahrir (kanan)
(Sumber: Indonesia Zaman Doeloe)
Artikel ini dibuat untuk memperingati 70 tahun Konferensi Meja Bundar dan Penyerahan Kedaulatan Belanda ke Indonesia pada 27 Desember 1949. 

Suasana tegang mewarnai Rapat Dewan Keamanan (DK) PBB 28 Januari 1949 di New York Amerika Serikat yang membahas nasib Indonesia yang kembali di agresi oleh Kerajaan Belanda. Para negara pemilik Hak Veto itu merasa perlu mengeluarkan satu resolusi yang tegas untuk Belanda karena telah berulang kali tidak mengindahkan anjuran Komisi Tiga Negara bentukan PBB agar dicapai perdamaian dengan Indonesia melalui suatu dialog. 

Resolusi yang diajukan oleh Amerika Serikat, Cina, Norwegia, dan Kuba itu diterima oleh sebagian besar anggota PBB kala itu. Sebelumnya PBB telah mengeluarkan lima resolusi sebagai solusi upaya mencapai perdamaian di Indonesia yang sebagian besar selalu dilanggar Belanda. Resolusi DK PBB kali ini tidak main-main, Amerika Serikat sebagai mitra terpenting Eropa termasuk Belanda akan mengancam sejumlah sanksi ekonomi seperti menghentikan bantuan Marshall Plan. Hal yang cukup terpenting dari salah satu Resolusi 28 Januari 1949 ialah desakan pembentukan Pemerintah Interim Federal (pemerintahan sementara) yang ditugasi menjalankan kekuasaan pemerintahan peralihan. Pemerintah Interim tersebut harus sudah terbentuk selambatnya tanggal 15 Maret 1949 sebelum dilaksanakan penyerahan kedaulatan. 

Belanda kali ini patuh, tapi tetap berintrik. Pendirian Pemerintah Belanda teguh, tidak mengakui lagi adanya Republik Indonesia pasca Agresi Militer kedua. Awalnya, Belanda hanya akan mengajak BFO dalam pembentukan Pemerintahan Interim. Malangnya, BFO yang diharapkan Belanda menjadi kekuatan politik di Indonesia yang kooperatif memutuskan untuk menolak ikut membentuk Pemerintahan Interim apabila RI juga tidak diikutsertakan. Menurut Ide Anak Agung Gede Agung dalam Pernyataan Rum-Van Roijen (1994), penolakan BFO ini menjadikan Pemerintah Belanda seperti terkucil baik dalam forum internasional dan dalam negeri di Indonesia sendiri. 

Sadar telah melakukan manuver politik yang salah, Beel akhirnya memutuskan untuk mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 12 Maret 1949 antara Belanda, BFO, dan Republik Indonesia. Oleh sebab itu semua pemimpin republik yang ditahan atau diasingkan akan dibebaskan untuk bersiap mengikuti KMB, namun tidak diperkenankan kembali ke Ibukota RI Yogyakarta. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan perintah Resolusi DK PBB 28 Januari 1949 yang memerintahkan sebaliknya, semua dibebaskan dan dikembalikan ke Yogyakarta. Akibatnya Sukarno dan Hatta menolak undangan untuk menghadiri KMB yang disampaikan langsung oleh utusan Beel, Mr. Gieben (penasihat) dan Dr. J.P. Koets (direktur kabinet) yang terbang langsung dari Batavia ke Bangka pada 28 Februari 1949. 

Sukarno dalam suratnya kepada Beel tertanggal 4 Maret 1949, menolak dengan alasan: 
"Bila ia (pemerintah RI) melakukan hal ini, maka wakil-wakil Republik akan menghadiri konferensi sebagai pribadi-pribadi yang berarti membawa tanggungjawab yang besar. Suatu keputusan yang menuntut tanggung jawab yang demikian hanya dapat diambil oleh Pemerintah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta, di daerahnya sendiri, mempunyai wibawa penuh untuk melakukan hal itu. Karena tidak memiliki wibawa itu, maka ia tidak dapat mengambil keputusan". 

Setali tiga uang dengan surat di atas, Sultan Hamid II sebagai Ketua BFO juga telah menemui Sukarno dan Hatta di Muntok (Bangka) pada 2-3 Maret 1949. Pada 4 Maret 1949 dini hari setelah delegasi berkonsultasi dengan Sukarno dan Hatta, BFO melakukan sidang dan mengeluarkan resolusi yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda yang pada prinsipnya tetap enggan membentuk Pemerintahan Interim tanpa ikut serta unsur RI, dan juga mendesak untuk dibebaskannya seluruh petinggi RI dan mengembalikannya serta memulihkan pemerintahan mereka di Yogyakarta. 

Ketika resolusi sidang BFO itu disampaikan sekira siang hari kepada Beel, seketika lelaki yang dikenal dengan kepalanya yang plontos itu marah besar. Sultan Hamid II sang Ketua BFO dan Tengku Mansoer sebagai walinegara Negara Sumatera Timur menjadi korban kekesalan Beel. Mereka dituduh mengantuk dalam persidangan sehingga tidak menghalang-halangi prakarsa resolusi hingga akhirnya diterima sebagai keputusan sidang BFO. Beel juga kembali mendesak BFO kembali melaksanakan sidang untuk membatalkan resolusi yang diambil karena dianggap merugikan Pemerintah Belanda. 

Tentu saja hal itu tidak dapat dipenuhi oleh karena bertentangan dengan tata tertib Pertemuan Musyawarah Federal (BFO). Dengan pendirian politik yang naif dan dangkal itu Beel telah menjerumuskan pemerintahnya ke dalam suatu malapetaka politik yang sangat merugikan Pemerintah Belanda sendiri, kenang Ide Anak Agung Gede Agung yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Negara Indonesia Timur. Kegagalan KMB 12 Maret 1949 ini akhirnya mendorong untuk dilaksanakan Perjanjian Roem-Roijen 14 April 1949 dimana secara resmi semua tahanan politik republik dibebaskan dan pemerintahan RI di Yogyakarta dipulihkan.


Penulis:
M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment