Mahar Pengakuan Kedaulatan

Delegasi RI Perdana Menteri Mohammad Hatta
menyampaikan pandangannya dalam KMB
(sumber: liputan6.com)
Belanda menuntut Indonesia harus mengambil alih hutang Hindia Belanda sebesar 6,3 Miliar Gulden agar kedaulatan dapat diserahkan. Keberatan, Indonesia akhirnya sepakat menanggung 4,3 Miliar Gulden saja.  

Suasana sidang Komisi Keuangan dan Ekonomi dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) antara delegasi RI, BFO, dan Belanda mencapai ketegangan. Belanda menuntut Indonesia harus menanggung hutang Belanda sebanyak 6.1 Miliar Gulden. Klausul pemerasan itu jelas ditolak Indonesia. Jangankan untuk membayang hutang, kas negara saja terus mengalami defisit. 


Sebagai komisi yang dibentuk oleh Komisi Pusat KMB, komisi ini bertugas untuk membicarakan masalah-masalah perekonomian, keuangan, dan moneter saat KMB secara efektif berlaku serta terjadi transfer kedaulatan antara Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Delegasi RI beralasan hutang Hindia Belanda sebenarnya tidak perlu ditanggung RIS, karena negara ini telah berdiri sejak 17 Agustus 1945. Sebaliknya Belanda tetap bersikukuh tidak mau mengakui kemerdekaan jika hutang itu tidak diambil alih. Pembicaraan soal hutang ini berulang kali mengalami deadlock hingga 1 Oktober 1949.

Alotnya pembicaraan soal hutang ini akhirnya memaksa United Nations Commision for Indonesia (UNCI) yang dibentuk oleh PBB dan hadir saat KMB sebagai penengah, memutuskan turun tangan. Pada 2  Oktober 1949 dibentuk Panitia Kecil Komisi Keuangan dan Ekonomi berjumlah tiga orang, masing-masing perwakilan dari  Republik Indonesia, Belanda, dan UNCI. Akan tetapi panitia kecil ini juga belum dapat mencapai kata sepakat soal take over hutang. Leonardo dalam Pembentukan dan Pembubaran Negara RIS 1949-1950 (penelitian Universitas Sanata Dharma, 2017: 65-66), mengungkapkan sebenarnya delagasi RI mau menerima tuntutan Belanda tersebut namun hanya sebatas hutang yang dahulu dipakai untuk kepentingan Indonesia. Sedangkan untuk hutang-hutang yang digunakan untuk mendanai aksi militer Belanda, dengan tegas RI menolak hal itu. Tawaran dari delegasi RI ini juga ditolak oleh Belanda. 

Pada 24 Oktober 1949, panitia kecil kembali dibentuk beranggotakan H. Djuanda (RI), Inderakusuma (BFO), Hirscfeld (Belanda), serta Merle Cochran (UNCI). Sidang panitia kecil di Hoge Veluwe, Den Haag ini juga berjalan alot, namun Merle Cochran mendesak para pihak agar mau menerima usulannya soal hutang agar perseteruan KMB dapat segera ditandatangani. Dalam usulannya tersebut, RIS yang akan berdiri nantinya didesak untuk mau mengambil alih hutang Hindia Belanda hanya sekitar 4,3 Milyar Gulden. Dari tuntutan awal Belanda sebesar 3 milyar Gulden hutang dalam negeri dan 3,1 Milyar hutang luar negeri (total 6,1 miliar Gulden). Hutang sebesar  itu terdiri dari hutang defisit Hindia Belanda pasca perang, hutang kepada negara ketiga, hutang kepada Kerajaan Belanda, dan hutang saat penyerahan kedaulatan. Perihal ini akhirnya mencapai kata sepakat, Indonesia bersedia menanggung 4,3 miliar Gulden yang dibayar dengan cara mengangsur.

Kesepakatan KMB ini menjadi pembicaraan yang luar biasa di Indonesia setelah ditandatangani oleh para delegasi pada 2 November 1949 di Den Haag, Belanda.. Sidang KNIP sekitar pertengahan November 1949 di Yogyakarta berjalan riuh karena banyaknya anggota parlemen yang menyatakan keberatan dan menolak isi KMB, salah satunya fraksi Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir. Indonesia sendiri tidak pernah secara lunas membayar hutang itu secara penuh. Menurut Robert Edward Elson (2009) sebagaimana dikutip oleh Iswara N. Raditya dalam Warisan Hutang Belanda: Tumbal Pengakuan Belanda (tirto.id: 2007), pada April 1956 Presiden Sukarno secara sepihak membatalkan Uni-Indonesia Belanda yang sebelumnya disepakati dalam KMB. Hal ini juga menjadikan hutang-hutang yang dibebankan dalam perjanjian itu juga diabaikan. Tidak ada catatan pasti berapa hutang yang telah dibayar oleh Indonesia, namun menurut wikepedia pemerintah telah membayar hingga 4 Miliar Gulden.   

Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment