Roem-Roijen dan Kekecewaan Mendalam Louis Beel

Mohammad Roem berbicara dengan delegasi Belanda
(Dokumentasi: tribun)
7 Mei 1947, dibalik keberhasilan Perundingan Roem-Roijen ada Luois Beel (Wakil Tinggi Mahkota Belanda) yang kecewa skenarionya terhadap RI gagal total. Karena malu dua hari kemudian ia mengajukan pengunduran diri.


Ibarat awan mendung, suasana Batavia sekitar bulan Maret 1949 sedang berada di titik suram. Belanda sedang berada di posisi sulit karena aksinya tempo hari 19 Desember 1948 dengan melakukan agresi kali kedua ke Yogyakarta. Di luar mendapat hinaan, di dalam tiada kawan. Posisi Belanda di forum internasional benar-benar telah terkucil, begitupula di dalam negeri (Indonesia) dimana kubu yang semula diharapkan menjadi konco seperti BFO malah mulai tegas memihak republik.


Belanda berada di posisi yang sulit. PBB segera mendesak untuk dilaksanakan perundingan agar dapat dilaksanakan penyerahan kedaulatan dengan syarat-syarat yang seolah bertentangan. Seluruh pejabat dan pemimpin RI harus dibebaskan, dan pemerintahan RI di Yogyakarta dipulihkan. Padahal Belanda sudah terlanjur menganggap RI telah tiada. Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, Louis Beel sendiri sebenarnya bersedia melakukan perundingan, namun enggan membebaskan para pemimpin republik apalagi memulihkan pemerintahannya! Inginnya, delegasi RI hadir sebagai pribadi dan pemerintahan sementara yang diamanatkan PBB hanya menyertakan kalangan BFO. Demikian pengalaman Ide Anak Agung Gede Agung dalam buku Pernyataan Roem-van Roijen (1994).

Pemerintah Belanda akhirnya luluh dan bersedia berkompromi dengan RI dengan syarat-syarat sebagaimana diperintahkan Resolusi PBB. Meskipun dilematis tetapi hal ini dianggap paling rasional dan dapat menyelamatkan 'muka' Belanda dalam forum internasional. Pemerintah Belanda juga mengambil alih urusan perundingan ini dengan menunjuk delegasi bukan dari jajaran Pemerintahan Hindia Belanda, namun dipilih Dr. H.J Van Roijen (Ketua Utusan Belanda untuk PBB) sebagai ketua delegasi. Menurut Ide Anak Agung Gede Agung, pemilihan Roijen sebagai ketua delegasi sangatlah tepat. Dalam forum-forum internasional mewakili Belanda, ia tampil dengan pembawaan yang luwes dan sabar serta persuasi yang ramah dalam berusaha memperjuangkan kepentingan Belanda dan kebijakan politik negaranya. Pemerintah RI sendiri menunjuk Mohammad Roem yang pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Sjahrir III tahun 1947.

Pada 14 April 1949 perundingan pun digelar di Jakarta dengan turut serta pula perwakilan Komisi PBB untuk Indonesia sebagai penengah yakni Merle H. Cochran. Perundingan yang sebenarnya berjalan alot itu akhirnya dapat ditandatangani pada 7 Mei 1949. Beberapa hal-hal fundamental dan terpenting dari perundingan yang selanjutnya lebih dikenal dengan 'Perundingan Roem-Roijen' tersebut antara lain:
1. Penghentian segala macam aksi militer baik itu serangan, aksi gerilya, dan sebagainya oleh kedua belah pihak termasuk penarikan mundur pasukan Belanda yang berada di dalam wilayah RI
2. Pembebasan seluruh tahanan politik RI dan mengembalikan pemerintahan RI di Yogyakarta
3. Turut serta RI dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. 

Atas hasil perundingan di atas,  Louis Beel menanggapinya kecut. Meski jabatannya bagian dari Pemerintah Belanda dan harus patuh, tetapi dalam pribadinya ia merasa sangat kecewa dan tidak setuju pada hasil perundingan tersebut. Ide Anak Agung Gede Agung sendiri berpendapat, "...Pernyataan Roem-Van Roijen telah terwujud dan terbukti bahwa semua gagasan politik Beel mulai dari rencana pembentukan Pemerintahan Sementara tanpa turut sertanya RI sampai saran untuk mengadakan KMB yang hanya diikuti oleh wakil-wakil RI dalam kapasitas mereka pribadi tidak mendapat pasaran atau tidak terwujud sama sekali. Bahkan Pemerintah Belanda menyetujui perundingan itu dan memberi dukungan sepenuhnya kepada Van Roijen, oleh karena itu tidak ada jalan lain bagi Beel dari pada mengundurkan diri".

Dua hari kemudian setelah penandatanganan Perundingan Roem-Roijen, pada 9 Mei 1949 Louis Beel mengirimkan surat pada Ratu Juliana agar dibebas tugaskan sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia. Pada 20 Mei 1949 surat balasan dari sang ratu telah diterima Beel dengan jawaban permintaan itu diterima. Tapi kekecewaan (dan kesedihan) Beel belum berakhir, esoknya pada 21 Mei 1949 teman karibnya Panglima KNIL Jenderal Simon Hendrik Spoor meninggal yang diduga karena serangan jantung. Wafatnya Jenderal Spoor merupakan suatu pukulan psikologis yang hebat, selama Beel berada di Jakarta dan memangku jabatannya sebagai Wakil Tinggi Mahkota, Spoor adalah penasehatnya yang dekat dan akrab serta telah menjadi rahasia umum ia sangat dipengaruhi oleh Spoor dalam gagasan politiknya mengenai pemecahan masalah Indonesia. Kenang Ide Anak Agung Gede Agung. 

Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment