Melawan Wabah Dalam Sejarah: Pandemi Cacar di Kalimantan Tengah 1859-1942

Seorang ibu, dan anak perempuannya dari Suku Dayak Punan dengan luka cacar

                                            Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Wabah cacar pernah menyerang Kalimantan Tengah pada masa Kolonial. Selain vaksinasi, penduduknya menggunakan kearifan lokal khas masyarakat Dayak sebagai upaya mencegah meluasnya dampak Wabah.

Share:

Dari Hadramaut ke Terentang: Napak Tilas Kerajaan Kubu

Makam Raja Pertama Kerajaan Kubu Syarif Idrus bin Abdurrahman
(Foto: Syaiful Alaydrus, Sejarah Kalimantan Barat)
 


Kalimantan Barat sangat kaya akan khazanah budaya dan sejarah. Daerah ini memiliki banyak situs peninggalan sejarah yang pantas dilestarikan, terutama situs yang berhubungan dengan kerajaan atau kesultanan. Salah satunya situs Keraton Kerajaan Kubu, yang masuk Kabupaten Kubu Raya. Kerajaan ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Kesultanan Pontianak.

Share:

Masyumi Terjungkal, PPD Jawara Lokal

Suatu Kongres PPD di Sintang pada 1958
(sumber: suara pakat)

Pemilu Lokal 1958 di Kalimantan Barat menjadi ajang pembuktian besarnya kekuatan Partai Persatuan Dayak (PPD). Sejumlah kadernya berhasil mendominasi kursi DPRD hingga menjadi Bupati dan Kepala Daerah. 


Keberhasilan Partai Persatuan Dayak (PPD) pada Pemilu 1955 di Kalimantan Barat nampaknya masih membekaskan semangat yang tinggi pada kader dan simpatisannya. Kemenangan PPD yang tidak terprediksikan itu menjadi sensasi besar di tingkat lokal, bahkan nasional. Barangkali hanya PPD kala itu partai lokal yang paling sukses pada Pemilu 1955 sekaligus menjadi kampiun di daerah asalnya sendiri. Kemenangan itu membawa percaya diri lebih masyarakat Dayak secara umum. 

Share:

Habib Husin Al Kadri: Penyebar Dakwah Islam di Kalimantan Barat Abad ke-18

Makam Habib Husein Al Kadri di Mempawah
(Sumber: mempawahkab.go.id)

Kedatangan Pengambara dari Hadramaut di bumi Nusantara tidak hanya untuk tujuan berdagang. Sebagian mencoba untuk berdakwah dan menyebarkan Islam, salah satunya di Kalimantan Barat. Keturunan Habib Husein dikenal sebagai pendiri Dinasti Kadriyah yang masih bertahan hingga sekarang.

Apabila kita berkunjung ke kota Mempawah Provinsi Kalimantan Barat, kita akan merasakan keasrian kota tersebut yang ditumbuhi banyak pepohonan rindang sebagai penghias kota. Selain terkenal asri, kota yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Pontianak itu juga menyimpan banyak situs peninggalan bersejarah, seperti situs Keraton Amantubillah, Makam Raja-Raja Mempawah, Makam Opu Daeng Menambon, dan lain sebagainya. Tidak jauh dari letak keraton Amantubillah, terdapat situs lainnya yaitu makam yang dikenal sebagaii seorang ulama pendakwah agama Islam di pesisir Kalimantan Barat pada abad ke-18 bernama Habib Husein Al Kadri. Sebagaimana kita ketahui, Habib Husein Al Kadri juga adalah ayahanda dari Syarif Abdurrahman Al Kadri (pendiri Kesultanan Pontianak). 

Share:

Absennya Mata Pelajaran Sejarah di Sekolah Luar Biasa

Ganjar Pranowo saat menemui salah satu siswa difabel berprestasi
asal Jawa Tengah (21/12/2019). Sumber: kompas.com

Wajibnya Mata Pelajaran Sejarah dalam kurikulum 2013 di seluruh tingkatan sekolah menengah nyatanya tidak dirasakan oleh siswa SMA Luar Biasa. Padahal peraturan yang ada telah memerintahkan dan sebagai penerus bangsa juga berhak mendapatkan mata pelajaran sejarah.

Share:

Arpa'i Jarsono, Pejuang Bangka Saksi Pengasingan Pemimpin Republik

Mendiang Arpa'i Jarsono
(Dokumentasi: Suryan Masrin)

Tidak banyak yang tahu tentang kiprah dan perjuangan pahlawan lokal terhadap bangsanya. Hampir setiap daerah di Indonesia memliki pahlawan atau pejuang lokal, namun kisah heroisme nya jarang terungkap dan sunyi. Seperti yang terjadi di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Disebuah desa kecil bernama Peradong, sektar 30 menit perjalanan dari Kota Mentok, terdapat sosok pejuang bernama Arpa'i Jarsono yang berkiprah dalam revolusi kemerdekaan di daerah itu.  

Share:

Perjuangan Membebaskan Nanga Pinoh

Peta gerakan penyerangan OPMP di Nanga Pinoh
(Sumber: Aspar)

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI di kota kecil ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Berkuasanya kembali Belanda telah menyadarkan tokoh-tokoh setempat yang sadar akan kemerdekaan. Seperti Ade Mohammad Djohan dan Bagindo Chalaludin Chatim, yang memimpin Organisasi Pemberontak Merah Putih (OPMP) yang berhasil menguasai Nanga Pinoh selama 6 hari.

Share:

Berita Lawas: Sabarlah Dahulu (1924)

 

Halaman Depan Koran Warta Borneo
(Sumber: koleksi pribadi)

Berita asli dari Surat Kabar Warta Borneo (organ Sarikat Rakyat), edisi Sabtu 8 November 1924. Redaktur Boullie. Berita berjudul "Sabarlah Daholoe" memuat tentang  pandangan dan keinginan kaum nasionalis-kiri di Kalimantan Barat akan nasib Indonesia yang tidak kunjung diberikan pemerintahan sendiri dan ditulis dengan bahasa satir. 

Share:

Berita Lawas: Pembukaan Cursus Muhammadiyah Pontianak (1927)

Halaman depan Koran Kapoes Bode 24 September 1927
(Sumber: koleksi pribadi)

Berita asli dari Surat Kabar Kapoeas Bode, edisi hari Sabtu 24 September 1927. Kepala Redaktur U.C Rozet. Berita berjudul "Cursus Muhammadijah" mengabarkan tentang pembukaan sekolah agama milik Persyarikatan Muhammadiyah di Pontianak yang dipimpin oleh M. Joenoes.

Share:

Hikayat Petani Lada Bangka

Ilustrasi Lada Putih. (merdeka.com)

Pulau Bangka adalah pulau yang terkenal dengan sahang (lada)-nya, selain timah. Muntok White Pepper sudah melanglang buana di Eropa (khususnya Belanda dan Inggris). Menurut Mary F. Somers dalam bukunya "Timah Bangka dan Lada Mentok, Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d Abad XX", menyebutkan bahwa pada abad ke-19, penanaman lada sudah menjadi aktivitas agraris yang penting. Antara 55% dan 60% penduduk Bangka menggantungkan hidup dari tanaman lada.

Share:

Suatu 'Ondergrondse Acties' di Pontianak (Oktober 1946)

Armada Kapal Patroli Belanda yang bersandar di Pelabuhan Pontianak
(Sumber: NIMH Beeldbank)

Keberadaan kaum republiken yang bergerak secara bawah tanah  membuat pusing Pemerintah NICA dan aparatnya. Kerap melancarkan aksi sabotase bahkan hendak merebut Kapal Patroli milik Belanda pada 18 Oktober 1946 di Pontianak. 

Gelora aksi perlawanan kaum republiken terhadap kedudukan NICA di beberapa kota di Kalimantan Barat terjadi mulai bulan Oktober tahun 1946. Laskar Badan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) pimpinan Mohammad Alianyang berhasil merebut Bengkayang selama sehari pada 9 Oktober 1946. Disusul laskar Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) pimpinan Gusti Muhammad Affandi Rani dan Bardan Nadi beraksi di Ngabang pada 11 Oktober 1946. Seakan tidak ingin ketinggalan dan ingin ikut ambil bagian, kaum-kaum republiken militan di Pontianak juga ingin melakukan hal serupa dengan menciptakan sabotase-sabotase yang menyulitkan NICA dan aparatnya. 

Share:

G.M Affandi Rani, Penguasa Landak yang Memimpin Gerilya

Gusti Muhammad Affandi Rani
mengenakan medali dan Bintang
Mahaputra. (Foto: Tribun Pontianak)
Kekuasaan NICA di Kalimantan Barat yang mencoba mengajak kesultanan-kesultanan atau kaum aristokrat keraton dalam berkooperatif tidak selalu berjalan mulus. Diantaranya ada yang menolak berkuasanya kembali Belanda dalam bentuk apapun. 


Bagi penguasa golongan ini, kemerdekaan Indonesia adalah suatu yang final dan sudah semestinya wilayah mereka melebur bersama RI. Daintara raja-raja tersebut ialah Gusti Muhammad Affandi Rani dari Landak. Di struktur pemerintahan Kesultanan Landak, statusnya sebenarnya ialah Wakil Panembahan. Ia menggantikan Panembahan Gusti Abdul Hamid yang wafat dibantai Jepang pada 1944. Pasca kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, ia diangkat menjadi Wakil Panembahan. Ia terhanyut dalam suasana euforia kemerdekaan bersama pemuda-pemuda republiken kala itu. 
Share:

Jampi Ilmu Padi dalam Manuskrip Durahim bin Tahir

Bagian manuskrip yang
berisi tentang pasal
ilmu padi, disalin oleh
Durahim bin Tahir.
(foto: Suryan)

 Melayu Bangka dalam kehidupan sosial tidak terlepas dengan dunia perjampian dan azimat. Dalam pemahaman orang Bangka, khususnya wilayah Simpang Teritip jampi dipahami sebagai do'a, sedangkan azimat adalah tangkal atau pelindung

Jampi sendiri terbagi menjadi dua jenis, yakni jampi yang baik dan jampi syirik (tidak baik). Jampi sangat erat hubungannya dengan dunia perubatan, karena ia merupakan bagian dari proses dalam berobat itu sendiri. Dalam hal ini penulis tidak membahas tentang perbedaan dua jenis jampi tadi, hal itu terlalu sensitif perbahasannya dan penulis sendiri belum mumpuni untuk menjabarkan itu. Di sini penulis akan menguraikan tentang jampi ilmu (bertanam) padi, yang dikutip dari sebuah manuskrip. Berikut petikan alih aksara dari manuskrip yang beraksara Arab Melayu.
 
"Ini pasal ilmu padi keluar dari dalam kitab 'Syamsul Ma'arif al Kubro' dijampikan kepada benih empat puluh kali waktu mau menurunkan dan empat puluh tatkala tumbuh dan empat puluh tatkala keluar buahnya dan empat puluh tatkala hendak mengetam dan empat puluh tatkala makan nasi baru, bacalah 'ya razzaqu as salamu 'alaikum ya malaikat manja yailu (?)-(mungkin Mikail) salam' yang mayar (bayar-terj) batangnya aku, firman Allah ta'ala akan tukang payar (bayar-terj) aku rizki yang lagi baru ditanam ini minta' sampai banyak keluar buahnya jangan yang lain bikin rusak dan serta keluar kita bari (beri) salam pula satu malaikat "assalamu 'alaikum ya malaikat dzar 'ayail (?)-(mungkin Mikail) 'alaihis salam akulah di firman Allah ta'ala tukang payar (bayar) buah padiku  ini jangan sampai tida' berisi hendak penuh berasnya dengan firman Allah ta'ala 'la ilaha illallah muhammadur rasulullah' dan sedekahnya beras satu pinggan satu maku' duit satu rupiah. (hal 46-47)
 
Dalam kolofon manuskrip halaman 59 ditulis "tersalin pada selesai bulan rumaban (ramadhan) tahun 1391 Hijriyah di Bendul turun Haji Batin Sulaiman - Abdurrahim". Bendul adalah nama tempat komplek perumahan karyawan Tambang Timah Bangka (TTB) kala itu. Bendul sendiri berada di antara wilayah Mayang Kecamatan Simpang Teritip dan dusun Selindung, Desa Air Putih Kecamatan Mentok. Penyalin adalah Abdurrahim yang merupakan nama lengkap dari Durahim bin Tahir yang berasal dari Kampung Peradong. Durahim bin Tahir adalah putra dari pasangan Muhammad Tahir dan Sarijah yang lahir di Peradong pada tanggal 20 November tahun 1922 dan wafat pada tahun 1998 di Kampung Berang. Ia dimakamkan di Kampung Menggarau-Peradong. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, yakni Abdurrahim, Ramdah, dan Rais. 
 
Tulisan ini ia salin dari Haji (Batin) Sulaiman Peradong, yang merupakan tokoh penyebar Islam di Peradong dan sekitarnya. Durahim sendiri merupakan keturunan ketiga dari Haji Sulaiman melalui jalur anaknya yang perempuan, yakni Siti Rinde/Rinda atau dipanggil Nek Nde (suaminya orang Rajek), kemudian Sarijah dan Durahim. Sebagaimana tertulis dalam naskah tersebut, bahwa itu pasal tentang ilmu padi yang keluar (dikutip) dari kitab 'Syamsul Ma'arif al Kubra', kitab yang merupakan karangan Syekh Ahmad bin Ali bin Yusuf Al-Buni (w. 1225). Beliau adalah ulama, sufi, tokoh ilmu hikmah, serta penulis kitab yang masyhur sekitar abad ke-13 M.
 
Kitab Syamsul Maarif wa Lathoiful Ma`arif termasuk jenis kitab dalam bidang Thibb, yang mencakup Azimat (bacaan khusus semacam mantra) dan Aufaq (kolom-kolom yang berisi angka-angka). Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami memperbolehkan kitab-kitab yang berisi Azimat selama berisi bacaan doa kepada Allah SWT dan tidak berisi asma-asma dalam bahasa non-Arab yang tidak dapat difahami maknanya. Hal ini karena asma-asma bukan bahasa Arab itu dikhawatirkan merupakan nama-nama sesuatu selain Allah SWT, yang jika digunakan dalam berdo'a dapat menimbulkan kemusyrikan. Sedangkan Aufaq menurutnya juga diperbolehkan, sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Ghazali, selama untuk tujuan yang mubah bukan untuk tujuan yang haram. Demikian dikutip dari  H. Mohammad Danial Royyan (pcnukendal.com, 2019).
 
Dalam manuskrip ini dijelaskan perihal jampi ilmu padi yang disebutkan bahwa, ada beberapa bacaan yang harus dijampikan (dibacakan)  pada benih padi manakala hendak diturunkan atau hendak menanam benih dengan jumlah bilangan empat puluh kali. Kemudian ketika ia (padi) mulai tumbuh juga dibacakan dengan bilangan empat puluh. Selanjutnya tatkala padi mulai keluar buahnya, ketika hendak mengetam  (memanen), dan ketika hendak makan nasi baru (beras baru) juga harus dibacakan sebanyak empat puluh kali. Bacaan yang harus disampaikan adalah 'ya razzaqu as salamu 'alaikum ya malaikat manja yailu (?)-(mungkin Mikail) salam' . Lafaz ya razzaqu merupakan lafaz asma Allah yang berarti "Yang Maha Pemberi (rizki)" dilanjutkan dengan salam kepada malaikat Mikail yang merupakan malaikat yang bertugas memberikan rizki kepada seluruh makhluk Allah.
 
Selanjutnya ketika sudah dibayar (diberi) rizki bagi padi yang baru ditanam minta agar tidak sampai bikin rusak sehingga banyak keluar buah padinya, maka berilah (bacalah) salam pada satu malikat "assalamu 'alaikum ya malaikat dzar 'ayail (?)-(mungkin Mikail) 'alaihis salam". Berharap buah padi berisi dan penuh berasnya dengan kalimat 'la ilaha illallah muhammadur rasulullah' . Setelah itu sedekahnya beras satu pinggan (piring), satu maku'  (mangkok), dan duit (uang) satu rupiah (kala itu). Selain hal ini, dalam tradisi lokal, khususnya di wilayah Simpang Teritip ada istilah nugel. Nugel adalah menugal atau melubangi tanah sekira 2-5 cm menggunakan kayu yang ujungnya telah dilancipkan, yang kemudian lubang tesebut untuk diletakkan benih padi.
 
Dalam nugel, ada sebuah tradisi yang disebut dengan ganjel nugel.  Ganjel adalah semacam gotong royong yang dilakukan oleh  beberapa masyarakat setempat  yang dilakukan secara bergilir atau bergantian dari kebun (ladang/huma) satu orang ke yang lainnya hingga selesai habis giliran. Setelah beberapa tradisi ini dilakukan, di bagian akhir ketika hendak memanen, maka ada pula tradisi lokal yang disebut dengan ngetem. Ngetem adalah tradisi memanen yang dilakukan oleh masyarakat tatkala musim panen tiba. Ini dilakukan dengan cara tersendiri dan dengan cara ganjel yang telah dibahas sebelumnya. 

Dalam manuskrip yang lain (koleksi almarhum Durahim bin Tahir) juga disebutkan bahwa tentang perihal menanam tanaman (termasuk padi). manuskrip ini tidak ada halaman penomoran dan tidak diketahui siapa penulisnya. Bagian awal manuskrip ini bertuliskan; “Ini fasal jikalau kita hendak menanam tanaman sebarang (sembarang) tetanaman, maka kita bacakan di atas benih sepuluh kali kemudian maka baru kita tanam padi atau sebarang tanaman yang hendak kita tanam itu lekas jadi Insya Allah ta’ala kelihatlah(?) berkatnya, inilah itinya (inti) yang kita bacakan, Bismillahirrahmanirrahim la tudrikuhul absharu wa huwa yudrikuhul absharu wa huwal lathiful khabir.”
 
Foto bagian manuskrip berisi tentang fasal menanam tanama
koleksi Durahim bin Tahir.
(foto: Suryan)

Sungguh bacaan yang dibacakan pada benih padi tersebut tentu bukan sembarang bacaan, melainkan diambil dari ayat Al-Qur'an surah Al-An'am ayat 103, yang artinya "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan aialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui". Untuk rahasia mengapa ayat ini digunakan sebagai bacaan kepada benih, penulis belum mengetahui alasan dan sumbernya, yang pasti hal ini diambil dari Al Qur'an dan tentunya mengandung hikmah dan rahasia tersendiri, wallahu a'lam.
 
Share:

Karomah Kewalian Syekh Khatamar Rasyid Bakik

Makam Syekh Khatamar Rasyid Bakik di Bangka.
Foto: Suryan Masrin

Wali-wali penyebar Islam di Nusantara dikenal dianugerahi karomah dari Allah SWT, yang bagi sebagian orang sulit diterima nalar manusia. Salah satunya Syekh Khatamar Rasyid dari Bangka. 

Kekeramatan makam Syekh Khatamar Rasyid Bakik sudah dikenal di pulau Bangka. Setiap tahun selalu dilakukan khaul untuk mengenang wafatnya beliau, tepatnya setiap 10 atau 11 Muharram. Selain khaul, makam Syekh Khatamar Rasyid juga kerap didatangi oleh para peziarah dari berbagai penjuru Pulau Bangka, bahkan juga dari luar pulau tersebut. Termasuk karib kerabat dan keluarga almarhum dari Banjar, yang memang beliau juga kelahiran dan berasal dari tanah itu. Ada yang menyebutkan juga, bahwa beliau masih keturunan dari silsilah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, selain Syekh Abdurrahman Siddik yang lebih dikenal di Pulau Bangka. 
Share:

Hamengkubuwono IX Jadi Panglima APRIS

PM Mohammad Hatta dan Menteri
Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
(Sumber: ANRI)
Ketika RIS berdiri, disepakati pula pembentukan APRIS dimana Panglimanya dapat dirangkap oleh Menteri Pertahanan.

Sejarah panjang Tentara Nasional Indonesia yang tahun ini telah berusia 75 tahun tidak bisa dilepaskan dari metamorfosa kelembagaan hulubalang negara itu dari masa ke masa. Pada saat awal-awal kemerdekan, masih bernama Badan Keamanan Rakyat/BKR (22 Agustus 1945), kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat/TKR (5 Oktober 1945), Tentara Republik Indonesia/TRI (26 Januari 1946), dan kemudian barulah menjadi Tentara Nasional Indonesia/TNI (3 Juni 1947). Seiring dengan keberhasilan KMB 27 Desember 1949, berdiri Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dimana menurut perjanjian tersebut TNI akan menjadi intinya.

Share:

Menyoal Keberadaan Dewan Djendral

Karikatur Ilustrasi penghancuran Dewan Djenderal oleh Gerakan 30 September
pada koran Harian Rakyat 2 Oktober 1965. Harian Rakyat masih merupakan
media yang berafiliasi pada PKI.
(Sumber: sindonews.com)

Suatu Dewan yang beranggotakan jenderal-jenderal bukan fiktif. Organisasi kecil itu memang ada dalam Angkatan Darat (AD) waktu itu. Namun, fungsi dan tugasnya berbeda dari yang dihembuskan PKI.

Peristiwa 30 September 1965 yang merenggut nyawa Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah deputinya (wakil) serta seorang perwira menengah (Lettu Pierre Tendean) berawal dari adanya isu Dewan Djenderal (DD) yang dihembuskan oleh Partai Komunis Indonesia. Menurut PKI, di dalam Angkatan Darat terdapat sebuah dewan yang dinamakan Dewan Djendral (DD) yang bertugas menilai dan mengawasi kinerja Presiden Sukarno.
Share:

Pers Merah Bikin Gerah (Bibit Gerakan Komunisme di Borneo Barat)

Masuknya ide-ide kiri dan ajaran komunisme di Borneo Barat diawali dari terbitnya Surat Kabar “merah”. Menjelma jadi corong agitasi dan propaganda gerakan marxisme yang membuat gerah pemerintah kolonial dan penguasa feudal.

Sejarah panjang hadirnya Komunisme di Indonesia tidak hanya milik massa proletar di Pulau Jawa dan Sumatera. Apabila ditelusuri lebih jauh, di awal tahun 1920 ide-ide yang juga dikenal sebagai Marxisme itu juga mulai bersemi di Borneo Barat (sebutan Kalimantan Barat pada masa Hindia Belanda). Akan tetapi bukan melalui sebuah organisasi, seperti organisasi buruh ataupun politik, melainkan lewat penerbitan surat kabar. Setidaknya ada tiga surat kabar di Borneo Barat yang baik secara langsung maupun tidak langsung menyatakan berhaluan “merah”, antara lain Halilintar (1923-1924), Warta Borneo (1924), dan Berani (1925).
Share:

Bayt Al Mugaddas, Akademi Militer Kerjasama Aceh-Ottoman

Ilustrasi parade tentara Turki
(serhatengul.com)

Jejak Kehilafahan Turki Ustmani pada kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara paling kentara terdapat pada Kesultanan Aceh. Aliansi Militer Aceh-Turki sempat mendirikan sebuah Akademi Militer, Ma'had Baitul Maqdis. Keumalahayati jadi salah satu alumni lembaga pendidikan ini. 

Kesultanan Aceh diperkirakan telah memulai menjalin hubungan diplomatik dengan Turki pada awal abad 16. Hubungan Turki dan Aceh berjalan harmonis tidak hanya pada bidang perdagangan namun juga pada bidang militer. Buah manis hubungan kedua kesultanan tersebut adalah berdirinya Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis. Hendaru Tri Hanggoro dalam historia.id menyebutkan, pendirian lembaga itu tidak terlepas dari bantuan Turki Ustmani. Dimana aceh merekrut ahli militer dan pembuat senjata dari Turki untuk mengajar di akademi tersebut. 
Share:

Karena Buku Ini, Saya Harus Menyalami Tangan Romo Mangun




Karena Buku Ini, Saya Harus Menyalami Tangan Romo Mangun
Nama Buku : Menuju Indonesia Serba Baru: Hikmah Sekitar 21 Mei 1998
Nama Pengarang: Y.B. Mangunwijaya
Tahun Terbit : 1998
Penerbit. : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: XV+269


Saya harus berterima kasih kepada Ignatius Haryanto yang telah mengumpulkan dan
menyunting tulisan-tulisan Romo Mangun. Juga kepada Gramedia Pustaka Utama yang menerbitkannya. Kalau tidak demikian, saya harus mengumpulkan tulisan-tulisan
Romo Mangun yang tercecer di berbagai media yang dihitung dari waktu sekarang, rata-rata
berusia 20 tahun. Tentu pekerjaan yang berat. 

Beberapa tulisan Romo Mangun hadir dan dibaca di media-media nasional jauh sebelum aku lahir. Beberapa tulisan yang lain saat aku lahir dan lainnya ketika aku baru bisa menyampaikan apa yang kuinginkan dengan menangis. Entah itu kencing, lapar atau haus.

Terlebih lagi kepada Romo Mangun, saya harusnya berterima kasih secara langsung sembari
menyalami tanganmu. Namun Tuhan tak mengizinkan itu terjadi. Biarlah menguap lewat
udara dan sampai padamu di surga. Di dalam menyampaikan kritiknya, kadang ia sangat lembut. terkadang ia bermain dengan analogi hingga membentuk satire. Atau dengan cerpen yang tentu bisa kita
kaitkan dengan berbagai kebobrokkan Orde Baru, entah itu KKN, militerisme, dan
komunisme.

Ia juga berperan sebagai bapak yang bijak saat mahasiswa angkatan 98 dirasanya melenceng
dari jalan reformasi dan berpotensi kontra revolusioner. Ia juga memberi ide-ide alternatif
yang bisa diimplementasikan mahasiswa saat bertemu dengan jalan buntu.

Ia juga kadang begitu keras, seperti ayah yang mukanya merah padam saat mengetahui anak
gadisnya dihamili oleh lelaki tak bertanggung jawab. Seperti dalam tulisannya yang tak
sempat terbit karena disensor pada 5 Juni 1998. Padahal harusnya itu terbit di Jawa Pos.

Tulisannya yang berjudul Konstitusional dan "Konstitusional" yang terbit di Jawa Pos pada 5
Maret 1998 bermain dalam tataran analogi antara seorang murid dan guru. Tentang seorang murid yang bertanya tentang konstitusional. Lalu upaya membandingkannya dengan masa
kepemimpinan Adolf Hitler di Jerman, Lenin di Rusia, dan pada masa Hideki Tojo di Jepang. Seorang guru tersebut seolah mewakili sifat generasi tua. Begitu juga sebaliknya. Si guru
menjawab layaknya orang tua yang tak mau terlihat bodoh.

Lalu saya menangkap kesimpulan bahwa, seperti yang pernah dikatakan Prof. Satjipto
Rahardjo saat di wawancara BBC News, membicarakan apa yang konstitusional dan tidak
konstitusional pada saat Indonesia sedang ribut oleh tuntutan reformasi sesungguhnya
relevan. Biarkan saja fakta mengalir dan berbicara sendiri.

Tentu aku tak selalu setuju dengan pemikiran Romo Mangun. Terutama soal idenya soal
Konstituante. Aku tak tertarik menjelaskan ketidaksetujuanku padanya. Tapi lebih berminat
menjelaskan kenapa Romo Mangun begitu mendambakan Konstituante. Hegel menyebut,
“semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil”. Tentu Romo Mangun
punya alasan atas anjurannya. Satu hal yang kutimbang menjadi alasan utama, ialah
kehilangan rasa percaya. Sama seperti kebanyakan orang-orang yang muak dengan anggota
DPR dan MPR yang hanya seperti tukang stempel pemerintah. 

Semua tulisan dalam buku ini, yang berjumlah 30, terdiri dari 26 opini dan 4 cerpen. Namun
semua tulisan bermuara pada satu titik. Benang merahnya adalah pemuda. Dia menyemangati
pemuda sebagai penyongsong masa depan sekaligus menyampaikan kritiknya kepada subjek
yang sama. Iya juga memberi saran, meski agak rancu menyebutnya solusi.
Terima kasih Romo Mangun. Di lain waktu, biarkan aku membebek padamu.


Penulis/Reviewer: Aris Munandar
Share:

Pada Akhirnya, Sejarah Disembunyikan

 



Nama Buku                             : Sejarah Dunia Yang Disembunyikan

Nama Asli Buku                     : The Secret History of the World

Nama Pengarang                     : Jonathan Black (Mark Booth)

Tahun Terbit                            : 2007

Penerbit                                   : PT Pustaka Alvabet

Tahun Terbit di Indonesia       : 2017

 

Bagaimana mungkin sejarah bisa di sembunyikan? Bukankah sejarah adalah sesuatu yang pasti? Tampaknya hal tersebut perlu pertanyakan ungkapan tersebut. Kalau kita perhatikan sejarah-sejarah yang ada, sering kali sejarah ditulis oleh orang-orang pemenang, seperti Winston Churchill yang menulis memoar World War II. Menarik, jika sejarah yang ditulis hanya untuk orang pemenang saja, padahal setiap orang bisa membuat sejaranya masing-masing. 

Share:

Surat Yang Membangkitkan Semangat: Mengenang J.C Oevaang Oeray

J.C Oeavaang Oeray
(sumber: arpusda pontianak)

 18 Agustus 1922 Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray lahir di Kedamin Kapuas Hulu. Kesadaran perlunya memajukan masyarakat Kalimantan Barat khususnya suku Dayak mulai tumbuh dan disuarakan ketika sekolah Seminari. Meski berbuah dikeluarkan dari sekolah, ia sukses menapaki karir hingga berhasil menjadi Gubernur Kepala Daerah asli Kalimantan Barat pada 1960. 

 

Oevang Oeray lahir  dari orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani. Ia anak keempat dari empat bersaudara. Selain membantu orang tuanya bertani, ia menempuh pendidikan di Volkschool atau Sekolah Rakyat (SR). Setelah lulus ia memilih melanjutkan pendidikannya di Sekolah Seminari Katolik Nyarumkop, Singkawang selama enam tahun. Kemudian Oeray melanjutkan lagi ke tingkatan lebih tinggi yakni Sekolah Seminari Pastor.[1] 

Share:

Hatta Dikencingi Guntur

Guntur (tengah) bersama kedua orang tuanya
Fatmawati dan Sukarno (Sumber: IPPHOS)


Sejarah Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 tidak hanya milik kelompok tua dengan kelompok muda, Sukarno-Hatta dengan Syahrir-Sukarni. Namun juga bagi seorang anak berusia sembilan bulan ketika itu yang turut ikut diculik, dialah Guntur Sukarnoputra. Putra sulung Sukarno itu mungkin belum mengingat, karenanya Hatta tak bisa melaksanakan hajat sholatnya. 

Memori penculikan terhadap dua tokoh proklamator itu tertulis pada masing-masing buku biografi  dan otobiografi mereka. Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams menuturkan, penculikan terhadap dirinya terjadi sekitar pukul 3 pagi. Ketika ia hendak bersantap sahur itulah Sukarno menyaksikan pemuda berpakaian seragam masuk ke rumahnya secara diam-diam. Tujuan para pemuda itu jelas, ingin menculik Sukarno dengan dalih mengamankan dirinya dari pengaruh Jepang agar kemerdekaan bisa diproklamirkan secepatnya.

Awalnya Sukarno menolak, tapi ia karena kalah jumlah dan dipaksa, ia tidak kuasa untuk menolaknya. Sukarno juga mengajak Fatmawati dan putra sulung berusia sembilan bulannya, Guntur untuk turut serta. Para pemuda kemudian membawa mereka ke Rengasdengklok berikut bersama Mohammad Hatta yang diculik lebih dulu sebelum Sukarno. Ditengah perjalanan (disekitar Bogor) kendaraan mereka mesti berhenti karena Guntur yang masih sembilan bulan itu menangis dan harus diberi susu. "Ketika kendaraan mengarah ke Bogor, aku menduga-duga tujuan kami yang sebenarnya, tetapi tak seorang pun mengakui ke mana kami dibawa. Bersamaan dengan munculnya fajar, Guntur mulai menangis. Dia Lapar. Selama sepuluh bulan, ibu-ibu di Indonesia biasa menyusui bayinya. Guntur yang berusia sembilan setengah bulan itu biasa minum dengan formula setengah air susu ibu dan setengah susu biasa. Fatmawati sebenarnya telah ingat untuk mengangkat susu dari tungku, tetapi karena kami pergi dengan terburu-buru ia lupa membawanya. Panci itu masih ada di dapur", kenang Sukarno. 

Keberadaan Guntur yang pula turut ke Rengasdengklok juga menjadi catatan sejarah tersendiri khususnya bagi Hatta. Pria kelahiran Bukittinggi itu masih ingat betul saat Sukarno, Fatmawati, Guntur, dan dirinya diamankan di sebuah rumah milik orang Tionghoa di Rengasdengklok. "Kerja kami tak lain dari mengasuh dan memangku guntur, berganti-ganti. Ia ingin minum, tetapi susu tidak ada. Susu kaleng yang dibawa dari Jakarta dibawa kembali oleh oto sedan yang kami tumpangi mula-mula", tutur Hatta.

Sampai ketika suatu hal lucu terjadi. Guntur kencing dipangkuan Hatta yang sedang duduk memangkunya. "Selagi ia (Guntur) duduk dipangkuanku, Guntur kencing dan celanaku dibasahi dekat lutut. Sungguh pun ia cepat-cepat kuturunkan ke lantai, kecelakaan sudah terjadi." ingat Hatta dalam bukunya Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011). Nahasnya setelah dikencingi Guntur, Hatta tidak sempat bersalin (mengganti) celana yang kering. Saat dibawa ke Rengasdengklok itu Hatta memang tidak membawa sehelai pakaianpun, "dalam perasaan aku (akan) tidak lama meninggalkan Jakarta", pikir Hatta. Akibatnya, celana yang terkena kencing Guntur itu terus ia kenakan hingga kembali ke Jakarta dan tentu saja ia tidak dapat menjalankan sembahyang (sholat). "Maka celana yang basah sebagian itu terpaksa kupakai terus sampai kering dengan sendirinya. Hanya saja, dengan celana itu aku tidak dapat mengerjakan sembahyang." keluhnya. 

Bagi Guntur, sosok Hatta bukan hanya sebatas sahabat karib ayahnya. Namun lebih dari itu, salah satu contoh kedekatan dirinya dengan Hatta terjadi pada tahun 1970. Ketika itu Mohammad Hatta menjadi wali nikah bagi dirinya. Sukarno tidak dapat hadir di pernikahan Guntur selain masalah kesehatan konon juga karena tidak diizinkan rezim Orde Baru.

Penulis: M. Rikaz Prabowo
Share:

Awal Gerakan Pandu di Barat Borneo

Kepanduan Surya Wirawan di Sambas, tahun 1939
(Sumber: Mahcrus Effendy, 1982)


Oleh: Mohammad Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Majalah Riwajat

Sejarah gerakan kepanduan di Indonesia mulai tumbuh di abad 20 dan banyak didirikan organisasi pergerakan nasional. Tidak hanya terpusat di Jawa, namun juga disetiap cabang organisasi itu. Termasuk di Kalimantan Barat, dimana pada 1932 berdiri Hizbul Wathan. Menyusul Parindra dengan Surya Wirawan pada tahun 1937. 

Pergerakan nasional yang sedang berlangsung di Indonesia sejak awal abad 20 hingga menjelang masuknya Jepang (1941), telah memunculkan banyak organisasi-organisasi yang sadar akan persatuan kebangsaan. Mulai dari yang bercorak nasionalistik, agamis, sosialis, hingga fokus dibidang pendidikan. Menariknya, beberapa organisasi-organisasi itu memiliki organisasi sayap kepemudaan. Perlahan organisasi sayap kepemudaan itu berkembang menjadi suatu gerakan kepanduan. Seiring dengan meluasnya organisasi pergerakan itu dengan membuka cabang-cabangnya di kota lain, tentunya sayap pemuda dan pandunya ikut didirikan. Di Borneo Barat (Kalimantan Barat), berdiri Hizbul Wathan sekitar tahun 1932. 

Hizbul Wathan
Kepanduan yang sering disingkat 'HW' ini menjadi gerakan kepanduan pertama di Borneo Barat, seiring berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah. Hizbul Wathan artinya Pembela Tanah Air. Menjadi kepanduan kebangsaan pertama yang berdiri di Kalimantan Barat dengan bernafaskan Islam dan cita-cita Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah sendiri sebenarnya sudah diperkenalkan pada 1924 oleh dua guru agama dari Sumatera Barat, Haji Manaf dan Mohammad Akib namun masih sebatas kegiatan perseorangan. Titik balik perkembangan Muhammadiyah di Borneo Barat baru terjadi tahun 1932. Dengan memiliki 4 cabang, yakni di Sungai Bakau Kecil pimpinan H.M Kurdi Djafar, Singkawang pimpinan M. Taufik, Sambas pimpinan H.Malik Sood, dan Pontianak pimpinan M. Arsyad Annasar. Demikian Ya' Achmad, dkk, dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat (1981).

Meskipun HW menjadi gerakan kepanduan yang hadir pertama di wilayah ini, namun harus diakui anggotanya tidak seberapa banyak. Konsentrasi HW hanya ada di daerah yang terdapat kepengurusan Muhammadiyah dan Volkschool Muhammadiyah. Terbatasnya jangkauan HW ini setali tiga uang dengan perkembangan Muhammadiyah itu sendiri. Soedarto, dkk, dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat (1979) menuturkan, kebanyakan umat Islam saat itu memandang ide-ide pembaharuan dan purifikasi Muhammadiyah yang dianggap terlalu modern dan kebarat-baratan.  Di Pontianak, HW berpusat di Volkschool Muhammadiyah Gang Mariana. Tokoh-tokoh pemuda Muhammadiyah yang kala itu turut membesarkan HW antara lain Jayadi Saman dan sang ketua Cabang Pontianak M. Arsyad Annasar. Jayadi Saman pasca proklamasi dikenal sebagai salah satu eksponen tokoh republiken yang turut berjuang secara politik menentang hadirnya kembali Belanda di Kalimantan Barat. Penanaman nilai cinta tanah air kepada kader Hizbul Wathan juga menghasilkan beberapa tokoh pejuang nasional diantaranya Jenderal Sudirman. 

Surya Wirawan
Gerakan Kepanduan bukan saja hanya milik organisasi-organisasi kebangsaan, namun juga Partai Politik. Pada tahun 1937 didirikan Komisariat Daerah Partai Indonesia Raya (Parindra) yang berkedudukan di Pontianak. Dengan berdirinya Parindra, maka dibentuk pula organisasi pemuda yang kemudian dinamakan Surya Wirawan. Pengurus Komisariat Daerah Parindra Kalimantan Barat sendiri terdiri dari Raden Koempoel (Kepala Kantor Pos), Hadjarati (Guru HIS), Mustamir (Ajun Landbouw Consulent), dan A. Harahap (Kepala Pelabuhan Pontianak).

Tidak seperti Muhammadiyah, Parindra yang menarik garis politik kebangsaan murni berkembang dengan pesat. Dalam waktu singkat Parindra telah meluaskan cabangnya di kota-kota lain seantero Kalimantan Barat. Diantaranya: Ngabang pimpinan Gusti Effendi Rani, Sambas pimpinan Machrus Effendi, Singkawang dan Pemangkat pimpinan Djenawi Tahir, Mempawah pimpinan Mas Mohammad, dan Sintang pimpinan Gusti Ismail. Menurut Soedarto, pesatnya perkembangan Parindra karena didukung oleh kalangan bangsawan. Bahkan Parindra cabang Sambas menjadi cabang terbesar di Kalimantan Barat, mendapatkan dukungan dari Sultan dan seluruh keluarganya menjadi anggota Parindra. 

Luas dan pesatnya Parindra itu berdampak positif pada keanggotaan Surya Wirawan. Pemuda dari kalangan biasa hingga putra-putri Sultan banyak yang bergabung dalam Surya Wirawan. Diantara tokoh-tokoh penting atau pimpinan organisasi pemuda kepanduan itu antara lain Gusti Ahmad, Subiakto, dan Rasib Abdurrahman. Sebagai underbouw, Surya Wirawan mendapatkan pendidikan politik oleh kader-kader Parindra terutama cita-cita nasionalisme. Soedarto juga menambahkan pemuda yang bergabung dalam Surya Wirawan kebanyakan yang sudah atau sedang menempuh pendidikan (sekolah). Oleh sebab itu anggota kepanduan ini cukup melek politik. Selain itu, kepanduan Surya Wirawan cukup memikat pemuda dengan seragamnya yang menarik dan salam "HIDUP" yang menjadi salam resmi kepanduan mereka. 

Di masa pendudukan Jepang, baik Hizbul Wathan maupun Surya Wirawan dibubarkan. Bahkan petinggi Parindra dan Surya Wirawan banyak yang menjadi korban pada Peristiwa Mandor 1944. 

Share:

Lantangnya Sejarah Radio Monyet

Sebuah Radio Monyet ditengah lautan massa yang mendengar. Sumber: NIOD
Sebuah Radio Monyet di tengah lautan massa yang mendengar.
Sumber: NIOD

Sering terlihat di perempatan jalan. Dari kejauhan bentuknya seperti kandang monyet. Jadi media propaganda efektif pada masa Jepang. Pada masa revolusi, jadi corong terdepan berita proklamasi dan kabar-kabar perjuangan. 

Radio Monyet bukanlah nama resmi dari alat komunikasi ini. Bahkan apabila hendak dikatakan radio sebenarnya juga kurang tepat. Sebuah kotak yang diberi atap dan ada ventilasi udara itu dipasang pada sebuah tiang atau semacam penyangga yang tingginya kurang lebih 3 meter. Di dalam kotak, terdapat pengeras suara (speaker) yang cukup besar, volume suaranya jelas lebih lantang dibanding radio rumahan. Saban jam, tidak peduli siang atau malam berbagai informasi disiarkan. Masyarakat berkerumun di sekitarnya mendengarkan berbagai 'celotehan' yang keluar dari kotak mirip kandang monyet itu. 

Sumber suaranya tentu saja bukan dari monyet yang siaran. Radio ini mendapatkan transmisi siaran dari stasiun radio yang masih berada dalam satu kota. Ethan Mark dalam The Encylopedia of Indonesia in the Pacific War mengungkapkan balatentara Jepang dari Korps Propaganda memasang radio broadcast ini dengan siaran berbahasa Indonesia dan penyiarnya orang Indonesia pula. Siaran radio itu telah dimulai sejak pagi sekali dan diisi oleh siaran-siaran musik lokal seakan tiada habisnya. Di antara siaran musik, disampaikan pengumuman-pengumuman, pidato-pidato, laporan-laporan resmi, berita, dan semuanya dalam bahasa Indonesia (2010: 356).

Jepang memasang cepat radio ini ketika telah resmi berkuasa pada 8 Maret 1942. Radio semacam ini merupakan sarana efektif untuk berkomunikasi satu arah, sebabnya tidak semua rakyat memiliki akses radio. Lagipula rakyat memang haus akan hiburan. Dengan dipasang di perempatan jalan di kota-kota besar, menjadi corong kabar yang dapat menjangkau setidaknya satu skala kecil masyarakat. Karena tujuan utamanya untuk propaganda, tentu saja siaran-siarannya (meskipun menyiarkan sandiwara) tentunya sangat berbau kedigdayaan Jepang. 


Corong Perjuangan

Sepeninggal kekalahan Jepang, berbagai stasiun radio diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Tidak sedikit stasiun radio itu berpindah tangan lewat suatu aksi perebutan yang digawangi pemuda. Materi siaran pun kini berubah, tidak lagi menyiarkan propaganda Jepang namun berita-berita perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. 

Diungkapkan oleh M. Yanis dalam catatan hariannya yang dikemas dalam Djampea: Novel Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat, radio monyet adalah bahasa rakyat sehari-hari yang dilekatkan pada alat komunikasi ini. Siaran radionya berasal dari Radio Nippon Hosyokyoku, dan penyiarnya sebagian besar juga masih sama saat Jepang masih berkuasa. Penyiarnya kadang juga tergabung dalam organisasi-organisasi media atau seni yang sebelumnya bentukan Jepang. Seperti Abdul Rahman Oembri, yang juga tergabung dalam Eiga Haikyusha atau Badan Distribusi Film. 

Abdul Rahman Oembri punya kenangan tersendiri bagi masyarakat Pontianak di masa-masa awal kemerdekaan. "Suara yang berat, menggetar, dan menggelegak seperti guntur yang mendahului hujan lebat pada penghujung musim kemarau seolah-olah hanya dimiliki oleh seorang saja: Abdul Rahman Oembri", kenang Yanis. 

Setidaknya hingga bulan September-Oktober tahun 1945, radio monyet masih beroperasi di Pontianak dan saban waktu menyiarkan berita perjuangan. Kalau ada isi (siaran) pidato yang kena di hati orang banyak, maka pendengar yang mengelilingi sekitar radio monyet itu bersorak. Kebetulan juga Abdul Rahman Oembri tergabung dalam organisasi Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), dan karena bekerja sebagai penyiar radio ia didapuk pula sebagai juru bicara organisasi itu.

Di antara isi siaran radio monyet yang berhasil menggerakkan semangat rakyat di Pontianak ketika itu ialah persoalan informasi akan datangnya kembali Belanda (NICA) dengan membonceng tentara sekutu (Australia). 

"Itu semua adalah tantangan di hadapan kita di samping yang lain-lain, konsekuensi perjuangan. Kalau Australia datang bagaimana sikap kita? Akan kita tegaskan kepada mereka pendirian kita. Bahwa sekarang Pemerintah RI yang berkuasa. Penyerahan kekuasaan kepada NICA akan kita tolak sekeras-kerasnya. Hidup Republik Indonesia! Merdeka!", demikian petikan siaran pidato Abdul Rahman Oembri yang dicatat oleh M. Yanis. Disusul pekikan merdeka bersahut-sahutan di sekitar radio monyet.

Pada 22 Oktober 1945, radio monyet di Pontianak berhenti beroperasi karena Pemerintah NICA berhasil mengambil-alih admnistrasi pemerintahan untuk seluruh Keresidenan Kalimantan Barat. 


Penulis: M. Rikaz Prabowo
Share:

Jalan Terjal Fusi Serdadu Kolonial

Kompi tentara KNIL Batalyon Infantri IX di Singkawang pada 1946
(Sumber: Beelbank NIMH)
27 Juli 1950 KNIL Dibubarkan. Sesuai hasil perjanjian KMB tahun 1949, RIS yang akan terbentuk nantinya bakal memiliki angkatan perang baru yang bernama APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Gabungan antara TNI yang menjadi inti, dengan KNIL (dan tentara teritorial/federal) yang akan menjadi kekuatan pendukung.  Sayangnya, penggabungan kedua tentara yang dulu berseteru itu tidak semuanya berjalan mulus. Termasuk yang terjadi di Kalimantan Barat.
Share:

Berita Lawas: Itu Siksaan "Plaatselijk Fond"

Kumpulan mobil-mobil terparkir di Pontianak
(Sumber: @pontianaksejarah)
Berita asli dari Surat Kabar 'Berani', edisi hari Sabtu 18 Juli 1925. 
Kepala Redaksi, Boullie. Kantor Redaksi dan Administrasi di Kampung Darat, Pontianak. Judul "Itu Siksaan Plaatselijk Fond" berisi tentang keluh kesah supir-supir antar kota dalam provinsi yang tersisa adanya aturan dan kondisi yang mempersulit pekerjaan mereka.

Sudahlah itu chauffer-chauffer (supir) auto (mobil) yang jalan keluar kota, mesti pakai Rijbewijs (Surat Izin Mengemudi/SIM) ada terlalu susah dan jauh, yakni mesti dibeli pula ke Sungai Jawi di Gevangenis (daerah sekitar Penjara), yang kurang lebih 2 paal jauhnya dari kampung Siantan. Sehingga kalau kita mau berjalan dengan mobil keluar kota misalnya ke Mempawah, kita mesti menunggu supir membeli itu SIM sampai berjam-jam lamanya.

Share:

Balada Pesepeda Zaman Hindia


Pesepeda mulai mendapat sorotan. Ketidakpatuhan oknum pada peraturan lalu lintas menyebabkan kecelakaan pesepeda kerap ditemui. Budaya positif ini mulai dilirik oleh pemerintah untuk ditariki pajak yang juga menuai protes. Setali tiga uang dengan yang terjadi pada masa kolonial dulu khususnya di Pontianak. 

Share:

Perlawanan Dari Rimba

Ilustrasi pemuda suku Dayak dengan perlengkapan perangnya
(sumber: eramadani.com)


Perlawanan terhadap kekejian Jepang merebak di berbagai penjuru Indonesia mulai tahun 1943. Kurang lebih satu tahun sejak Peristiwa Mandor 28 Juni 1944 yang menggugurkan puluhan ribu nyawa, sekitar Juni-Agustus 1945 terjadi perlawanan hebat oleh Suku Dayak. Menariknya, perlawanan etno gerilya ini dimulai dari rimba dimana tentara tradisional mampu membuat tentara Jepang yang modern itu kewalahan. 

Perlawanan ini kerap disebut Perang Dayak Desa karena dilakukan oleh Sub-suku Dayak suku Desa. Dinamakan perang sebab memang terjadi pertempuran antara pasukan Dayak Desa melawan tentara Jepang. Syafaruddin Usman dalam Peristiwa Mandor Berdarah, menyebutkan perang ini dipicu oleh terbunuhnya Osaki, kepala perusahaan kayu Nitinan, di Kampung Sekucing Labai, Sungai Embuan, Meliau. Terbunuhnya Osaki sebenarnya akibat ulah ia sendiri yang mengancam akan memancung Pang Linggan apabila tidak juga menyetujui maksud kepala perusahaan itu untuk mempersunting anak gadisnya. 

Keesokan hari pada 13 Mei 1945 Pang Linggan bersama saudaranya (Pang Suma) dan tiga puluh orang berangkat hendak menemui Osaki. Tujuannya untuk bermusyawarah menanyakan maksud ancaman tersebut. Saat berhasil bertemu Osaki, belum juga pembicaraan dimulai serta merta Osaki menyerang Pang Linggan dan Pang Suma dengan popor senapan yang selalu ia bawa. Maka kelanjutannya dapat ditebak, perkelahian pun pecah dan berhasil menewaskan Osaki.

Masih ditambahkan oleh Syafaruddin Usman, tewasnya Osaki merupakan suatu klimaks dari kondisi romusha yang amat memprihatinkan akibat bekerja di perusahaan kayu Nitinan pimpinan Osaki. Masyarakat Embuan yang direkrut bekerja di perusahaan itu sebenarnya sudah lama diperlakukan dengan kejam sehingga mendendam dengan Osaki namun tidak berani untuk melakukan perlawanan buruh/pekerja. 


Mangkok Merah Diedarkan

Selanjutnya melalui suatu mufakat yang dilaksanakan dengan khidmat dan dihadiri oleh tetua adat diputuskan untuk terus berjuang mempersiapkan perlawanan lain terhadap Jepang. Untuk itu diedarkan lah Mangkok Merah untuk menggalang persatuan seluruh suku Dayak dan pernyataan akan dilaksanakan perang. Tentang Mangkok Merah, Superman dalam penelitiannya berjudul Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat tahun 1967 (2011), menyebutkan Mangkok Merah merupakan sebuah alat konsolidasi dan mobilisasi pasukan lintas sub-suku Dayak yang efektif dan efisien. Mangkok Merah juga merupakan simbol dimulainya peperangan. Mangkok Merah diedarkan dari kampung ke kampung dan tidak boleh berhenti. Kampung yang dilewati Mangkok Merah harus siap sedia untuk perang dan membantu saudara-saudara mereka yang disakiti atau dibunuh.

Ribuan suku dayak di seluruh pelosok Kalimantan Barat berkumpul di Balai Keramat Tiang Lima Bambu di Kampung Suak Tiga Belas, kebulatan tekad untuk perang melawan Jepang juga sudah diputuskan. Pasukan-pasukan Dayak ini kemudian lebih dikenal dengan Angkatan Perang Majang Desa (APMD) yang dikomandoi Pang Suma. Perlawanan dimulai dengan menyerang perusahaan-perusahaan milik Jepang yang mendapatkan perlindungan dari tentara Jepang. Setelah Osaki kini giliran Sutsugi yang tewas, ia merupakan pimpinan perusahaan Nichiran di perladangan hutan durian Pampang Sansat.

Kematian dua petinggi perusahaan Jepang yang notabene di back up oleh militer ini mengejutkan petinggi mereka di Pontianak. Mereka tidak menyangka, sekelompok pasukan tradisional dengan bersenjatakan mandau, parang, sumpit, hingga tombak mampu mengalahkan tentara Jepang yang modern dan terlatih. Seakan murka akan hal tersebut, pimpinan Jepang di Pontianak mengirimkan ekspedisi untuk menghabisi pasukan Pang Suma yang terdiri dari tentara Kaigun reguler, tentara Kaigun Heiho, dan Keibeitai (Polisi Militer) yang dipimpin oleh Letnan Takeo Nakatani.

Ketika ekspedisi sampai di Tayan, Nakatani meminta keterangan kepada Bunken Kanrikan Miyagi agar dapat menuju Meliau, menurutnya hal itu bisa ditempuh dengan menyusuri Sungai Embuan. Nakatani tidak mengetahui bahwa pasukannya sudah ditunggu oleh pasukan Dayak yang memusatkan kekuatan dan pertahanan di Suak Tiga Belas. Pasukan Jepang pimpinan Takeo Nakatani ini terhenti di Desa Kunyil karena mendapatkan perlawanan dari pasukan Pang Suma. Demikian Herianto dan Amanah Hijriah dalam Sejarah Kerajaan Sanggau (2017). Seketika dalam suatu kesempatan terjadi pertempuran yang sebenarnya tidak seimbang, peluru senapan Jepang melawan anak sumpit, pisau bayonet melawan mandau dan parang. Akan tetapi siapa sangka? Lewat taktik gerilya hutan dan menguasai keadaan alam sekitar pasukan Dayak berhasil menghabisi pasukan Jepang. Bahkan Letnan Takeo Nakatani berhasil dipancung kepalanya oleh Pang Suma.

Korban lain dari pertempuran ini adalah Kaisu Nagatani yang merupakan seorang Keibeitai pengelola perusahaan ekspedisi Jepang di Meliau. Ia beserta rombongan anak buahnya yang tersisa dihabisi Pang Suma dan Pang Djampi. Perusahaan ekspedisi yang ia kelola habis dibakar oleh pasukan Dayak. Ada satu korban Jepang lagi yang tewas dalam pertempuran ini, yakni Yamamoto alias Tuan Pentong. Diberi gelar sebagai Tuan Pentong karena terkenal dengan sikap buruknya yakni suka “mementung” pekerja di perusahaan Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisha (SSKK) apabila kedapatan malas bekerja, pulang ke rumah tanpa izin, atau melakukan kesalahan kecil. Yamamoto alias Tuan Pentong cukup dikenal seantero Sungai Embuan di Meliau karena perilakunya yang kasar itu. Pernah dalam riwayat ia memukul warga Kampung Suak Garong yang bernama Pang Rontoi, berusia lanjut, hanya karena tidak menemukan pekerja yang ia cari. Pekerja tersebut nekat pulang ke rumah karena terlampau rindu dengan keluarga dan ingin mencari makanan layak yang ia tidak dapatkan di perusahaan milik Tuan Pentong. Tewasnya Tuan Pentong ini terjadi pada 13 Juni 1945

 Pada 24 Juni 1945, Pasukan Dayak pimpinan Pang Suma berhasil membebaskan daerah Meliau. Dengan begitu Meliau, yang kini merupakan suatu kota kecil setingkat kecamatan di Kabupaten Sanggau menjadi daerah yang berhasil dibebaskan dari Jepang, setidaknya hingga 30 Juni 1945. Meliau menjadi simbol kemenangan Pasukan Dayak melawan Jepang, suatu pertempuran yang cukup heroik dimana pasukan bersenjatakan tradisional bertarung melawan pasukan yang bersenjata modern. 


Gugurnya Pang Suma

Pada 17 Juli 1945 Meliau kembali berhasil direbut Jepang lewat ekspedisi militer kedua. Ekspedisi kali ini membawa pasukan lebih besar baik lewat sungai maupun darat. Jepang sangat terkejut, Letnan Nakatani yang merupakan perwira senior dan kaya pengalaman tempur dapat dikalahkan oleh pasukan Dayak. Pang Suma sempat memberikan arahan kepada pasukannya agar mempertahankan Meliau mati-matian hingga titik darah penghabisan. Sayangnya Pang Suma, Pang Linggan dan Pang Ape gugur ditembak Jepang dalam pertempuran ini.

Gugurnya Pang Suma, Pang Linggan, dan martir perjuangan lainnya, nyatanya tidak membuat perlawanan terhadap Jepang surut. Memasuki bulan Agustus 1945 perlawanan terhadap Jepang justru makin menjadi, dari perlawanan secara sporadis berkambang menjadi etno gerilya yang meluas. Taufiq Tanasaldy dalam Regime Change and Ethnic Politics, Dayak Politic of West Kalimantan (2014) menyebutkan, gencarnya perlawanan ini menyebar dari Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, Landak hingga Ketapang. Jepang sebenarnya berhasil mengembalikan kontrol pemerintahan di kota-kota tersebut, namun gagal dalam memadamkan perlawanan secara penuh.

Sebagai contoh, pasukan Dayak berhasil memasuki Sanggau Kapuas dimana Sultan Sanggau Ade Muhammad Arief telah gugur dalam peristiwa Mandor dan wilayah itu dikuasai oleh Bunken Kanrikan berkebangsaan Jepang. Di Tayan Bunken Karikan Miyagi berhasil dipancung kepalanya oleh pasukan Dayak. Pasukan Dayak kemudian berhasil sampai ke Pontianak untuk memerangi Jepang, menuntut balas kematian panglima perang mereka di Meliau tempo hari. Waktu itu posisi Jepang di Kalimantan Barat khususnya Pontianak sudah lemah, tentara mereka kehilangan semangat berperang pasca pernyataan menyerah pada sekutu tangal 14 Agustus 1945. Tugas mereka kini hanya memelihara wilayah Indonesia dalam status quo sembari menjaga keamanan dan ketertiban.

Akan tetapi perlawanan suku Dayak hingga masuk ke kota-kota besar ini menurut sebagian kalangan kurang terarah tujuannya. Hassan Basry dalam Gerilya Kalimantan (1961) berpendapat, akan lebih baik apabila kemajuan pasukan Dayak itu bisa diarahkan kepada usaha-usaha menyongsong dan mempertahankan kemerdekaan RI. Sedangkan M. Yanis, saksi sejarah di Pontianak yang menuangkan kejadian itu ke dalam novel sejarahnya yang berjudul Kapal Terbang Sembilan juga menuturkan ketika memasuki Pontianak, pasukan Dayak itu sudah melenceng dari tujuan awalnya memburu tentara Jepang. Malahan mereka banyak mengambil barang-barang di pasar seperti sembako bahkan juga uang. 

Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri perlawanan pasukan Dayak ini menjadi salah satu catatan tersendiri dalam periodesasi di sekitar kemerdekaan RI. Perlawanan Pang Suma dan dengan pasukan Dayaknya menjadi bukti bahwa tirani Dai Nippon juga mendapat perlawanan hebat oleh pasukan tradisional jauh di mulai dari dalam rimba.


Penulis: M. Rikaz Prabowo

Share: