Karena Buku Ini, Saya Harus Menyalami Tangan Romo Mangun
Nama Buku : Menuju Indonesia Serba Baru: Hikmah Sekitar 21 Mei 1998
Nama Pengarang: Y.B. Mangunwijaya
Tahun Terbit : 1998
Penerbit. : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: XV+269
Saya harus berterima kasih kepada Ignatius Haryanto yang telah mengumpulkan dan
menyunting tulisan-tulisan Romo Mangun. Juga kepada Gramedia Pustaka Utama yang menerbitkannya. Kalau tidak demikian, saya harus mengumpulkan tulisan-tulisan
Romo Mangun yang tercecer di berbagai media yang dihitung dari waktu sekarang, rata-rata
berusia 20 tahun. Tentu pekerjaan yang berat.
Beberapa tulisan Romo Mangun hadir dan dibaca di media-media nasional jauh sebelum aku lahir. Beberapa tulisan yang lain saat aku lahir dan lainnya ketika aku baru bisa menyampaikan apa yang kuinginkan dengan menangis. Entah itu kencing, lapar atau haus.
Terlebih lagi kepada Romo Mangun, saya harusnya berterima kasih secara langsung sembari
menyalami tanganmu. Namun Tuhan tak mengizinkan itu terjadi. Biarlah menguap lewat
udara dan sampai padamu di surga. Di dalam menyampaikan kritiknya, kadang ia sangat lembut. terkadang ia bermain dengan analogi hingga membentuk satire. Atau dengan cerpen yang tentu bisa kita
kaitkan dengan berbagai kebobrokkan Orde Baru, entah itu KKN, militerisme, dan
komunisme.
Ia juga berperan sebagai bapak yang bijak saat mahasiswa angkatan 98 dirasanya melenceng
dari jalan reformasi dan berpotensi kontra revolusioner. Ia juga memberi ide-ide alternatif
yang bisa diimplementasikan mahasiswa saat bertemu dengan jalan buntu.
Ia juga kadang begitu keras, seperti ayah yang mukanya merah padam saat mengetahui anak
gadisnya dihamili oleh lelaki tak bertanggung jawab. Seperti dalam tulisannya yang tak
sempat terbit karena disensor pada 5 Juni 1998. Padahal harusnya itu terbit di Jawa Pos.
Tulisannya yang berjudul Konstitusional dan "Konstitusional" yang terbit di Jawa Pos pada 5
Maret 1998 bermain dalam tataran analogi antara seorang murid dan guru. Tentang seorang murid yang bertanya tentang konstitusional. Lalu upaya membandingkannya dengan masa
kepemimpinan Adolf Hitler di Jerman, Lenin di Rusia, dan pada masa Hideki Tojo di Jepang. Seorang guru tersebut seolah mewakili sifat generasi tua. Begitu juga sebaliknya. Si guru
menjawab layaknya orang tua yang tak mau terlihat bodoh.
Lalu saya menangkap kesimpulan bahwa, seperti yang pernah dikatakan Prof. Satjipto
Rahardjo saat di wawancara BBC News, membicarakan apa yang konstitusional dan tidak
konstitusional pada saat Indonesia sedang ribut oleh tuntutan reformasi sesungguhnya
relevan. Biarkan saja fakta mengalir dan berbicara sendiri.
Tentu aku tak selalu setuju dengan pemikiran Romo Mangun. Terutama soal idenya soal
Konstituante. Aku tak tertarik menjelaskan ketidaksetujuanku padanya. Tapi lebih berminat
menjelaskan kenapa Romo Mangun begitu mendambakan Konstituante. Hegel menyebut,
“semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil”. Tentu Romo Mangun
punya alasan atas anjurannya. Satu hal yang kutimbang menjadi alasan utama, ialah
kehilangan rasa percaya. Sama seperti kebanyakan orang-orang yang muak dengan anggota
DPR dan MPR yang hanya seperti tukang stempel pemerintah.
Semua tulisan dalam buku ini, yang berjumlah 30, terdiri dari 26 opini dan 4 cerpen. Namun
semua tulisan bermuara pada satu titik. Benang merahnya adalah pemuda. Dia menyemangati
pemuda sebagai penyongsong masa depan sekaligus menyampaikan kritiknya kepada subjek
yang sama. Iya juga memberi saran, meski agak rancu menyebutnya solusi.
Terima kasih Romo Mangun. Di lain waktu, biarkan aku membebek padamu.
Penulis/Reviewer: Aris Munandar