1 Januari yang Berarti Bagi Kalimantan

Kantor Gubernur Kalimantan Selatan di Kota Banjarmasin.
Kota itu dulu pernah menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan
dari tahun 1945-1957.
(Sumber: Arsip Nasional RI)
Ide pemekaran daerah bukan hanya ada pada masa reformasi kini yang dikemukakan banyak pihak. Pemekaran daerah sejatinya sudah berjalan sejak masa kepemimpin Presiden Sukarno seperti pada sejarah perjalanan provinsi di Pulau Kalimantan.

Kalimantan, khususnya yang masuk dalam bagian Republik Indonesia mulanya merupakan salah satu provinsi yang dibentuk berdasarkan hasil sidang PPKI ke-II pada 19 Agustus 1945. Gubernur pertama yang terpilih kala itu adalah Ir. Pangeran Mohammad Noor, alumni Technische Hooge School (sekarang ITB) yang satu letting dengan Sukarno.  Provinsi Kalimantan sendiri sejatinya sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda, terakhir dipimpin oleh Dr. Bawkes Jan Haga pada 1942 hingga akhirnya tertangkap dan dieksekusi Jepang. Di bawah kekuasaan Dai Nippon, Kalimantan dimasukkan dalam Minseifu (Dinas Administrasi Sipil AL Jepang) di bawah Armada Selatan ke II yang bermarkas besar di Kota Makassar. Jepang sendiri tidak melakukan banyak perubahan kewilayahan yang ditinggalkan oleh Belanda, Kalimantan tetap terbagi dalam dua karasidenan: Karasidenan Borneo Barat berpusat di Pontianak serta Karasidenan Borneo Timur dan Selatan di Banjarmasin. 

Saat masa kemerdekaan, banyak wilayah-wilayah di Kalimantan sebenarnya sempat mendeklarasikan dirinya menjadi bagian dari integral Republik Indonesia yang baru berdiri. Sayangnya ini tidak berlangsung lama karena masuknya pasukan sekutu untuk melucuti tentara Jepang dan memulangkannya ternyata juga membonceng Tentara NICA (Belanda). Jadi, sekitar bulan Oktober 1945 praktis wilayah Kalimantan kembali dikuasai oleh Pemerintah NICA. Akibatnya, banyak terjadi perlawan bersenjata maupun politik di berbagai kota seperti Pontianak dan Banjarmasin oleh kaum republiken. 


Dari RIS Kembali ke RI
Pemerintah NICA membagi wilayah Kalimantan dalam beberapa satuan kenegaraan dan daerah antara tahun 1946-1948, antara lain Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), Daerah Dayak Besar, Daerah Banjar, Daerah Kalimantan Tenggara, dan Daerah Kalimantan Timur. Satuan daerah ini bersifat otonom dan direncanakan untuk menjadi daerah modal dalam cita-cita Belanda yang ingin membentuk Indonesia dalam bentuk negara federal. Saat Perjanjian KMB resmi efektif pada 27 Desember 1949, daerah di atas merupakan 5 dari 16 negara bagian dan daerah otonom dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

Nasib membawa RIS tidak bertahan lama karena maraknya gejolak keamanan dalam negeri dan kuatnya gelombang politik untuk menjadikan Indonesia kembali bersistem kesatuan. Pada bulan April 1950, secara berturut-turut Daerah Kalimantan Tenggara dan Daerah Banjar (4 April 1950), Dayak Besar (18 April 1950), dan Daerah Kalimantan Timur (24 April 1950) menyatakan bubar dan bergabung dengan Republik Indonesia. Menyusul DIKB yang kemudian bubar seiring dibubarkannya RIS oleh Presiden Sukarno pada 16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali ke sistem negara kesatuan (NKRI) dan seluruh daerah di Kalimantan menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan dipimpin oleh Gubernur dr. Moerdjani. Provinsi Kalimantan sendiri terbagi ke dalam beberapa karasidenan, yakni Karasidenan Kalimantan Barat, Karasidenan Kalimantan Selatan, dan Karasidenan Kalimantan Timur.


Lahirnya Tiga Provinsi di Kalimantan
Eksistensi Provinsi Kalimantan sebagai provinsi terluas di Indonesia dengan tiga karasidenannya ternyata masih belum memuaskan penduduknya. Suara-suara dan desakan baik secara politik atau gerakan massa untuk menjadikan karasidenan-karasidenan tersebut berdiri atau ditingkatkan statusnya menjadi provinsi sendiri pun bermunculan. Aju, dalam Kalimantan Barat: Lintasan Sejarah dan Pembangunan dari Era Kolonial Belanda-Tahun 2013 (2017: 72), menyebutkan dijadikannya Kalimantan menjadi sebuah provinsi merupakan hal yang tidak efisien mengingat faktor-faktor geografis, komunikasi, dan sosial psikologis yang menyangkut hasrat rakyat memperoleh kesempatan seluas-luasnya guna turut berpartisipasi dalam pemerintahan daerahnya.

Contohnya di Kalimantan Barat. Hasrat untuk menjadi karasidenan itu berdiri sendiri menjadi provinsi otonom antara lain pernah disuarakan oleh J.C Oevaang Oeray, tokoh politik penting Partai Persatuan Dayak (PPD) yang dikenal memiliki konstituen yang besar di Kalimantan Barat. Pada 12 April 1950, Oevaang menyampaikan surat keputusan partai kepada khalayak dimana salah satu isinya agar Kalimantan Barat dipersiapkan menjadi provinsi yang mandiri mengingat faktor geografis, strategi, dan ekonomi. Hasrat untuk menjadikan Kalimantan Barat menjadi provinsi tersindiri pun terus berlanjut sekitar Pemilu 1955, dimana sebagian besar partai politik yang bertarung di wilayah itu sama-sama "berdagang" isu pendirian provinsi otonom.

Abdul Moeis Hassan, tokoh yang memotori pembentukan
Provinsi Kalimantan Timur dan menjadi gubernur kedua
provinsi itu.
Sumber Gambar: tribunnews.com

Sedangkan di Kalimantan Timur jauh sebelum RIS bubar, rakyat wilayah ini kurang menyambut baik ide-ide pembentukan daerah-daerah warisan kolonial Belanda seperti Federasi Kalimantan Timur. M. Fazil Pamungkas dalam Perjuangan Kutai Masuk RI sebagaimana dalam historia.id (2019), menyebutkan demonstrasi-demonstrasi rakyat di Kutai menuntut segala bentuk pemerintahan yang dibuat Belanda dihapuskan dan menjadikan sultan sebagai simbol kekuasaan saja tanpa adanya campur tangan di pemerintahan. Pada 23 Januari 1950, Sultan Kutai  Aji Muhammad Parikesit mengadakan rapat umum setelah didesak terus menerus oleh gelombang massa. Pada hari itu Sultan Kutai pada intinya menyetujui agar Kutai masuk menjadi wilayah RI yang berbentuk kesatuan. Rapat umum itu juga ditambah dengan orasi dari Abdul Moeis Hassan, tokoh nasionalis PNI Kalimantan Timur yang berupaya meyakinkan kaum aristokrat di wilayah itu untuk bergabung dengan NKRI. Tidak sampai disitu,  Taufik S Moeis, putra Abdul Moeis Hassan menambahkan bahwa ayahnya merupakan salah yang memotori peningkatan status karasidenan Kalimantan Timur menjadi provinsi otonom. Salah satunya lewat penyelenggaraan Kongres Kalimantan Timur tahun 1954. Demikian dalam Darah Politik Warisan Ayah: Mengenang 10 Tahun Meninggalnya Abdul Moeis Hassan (kaltim.prokal.co: 2015).

Gelombang politik dan massa untuk memekarkan Provinsi Kalimantan itu akhirnya terbayar dengan dikeluarkannya UU No. 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur pada 29 November 1956. Meskipun begitu, secara resmi ketiga provinsi itu baru lahir pada 1 Januari 1957. Hal ini dikarenakan menurut Ketentuan Penutup Pasal 93 UU tersebut, menegaskan pemberlakuan aturan hukum ini akan ditentukan oleh Menteri Dalam Negeri. Pada 12 Desember 1956 terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri  No. DES.52/10/50 yang menetapkan UU yang dimaksud berlaku mulai 1 Januari 1957, maka secara formal ketiga provinsi di atas telah lahir.


Kalimantan Tengah Lahir Setengah
Bagi rakyat di kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin, hadirnya UU tersebut cukup membuat kecewa sebab perjuangan mereka untuk menjadikan ketiga wilayah itu menjadi Provinsi Kalimantan Tengah belum terkabul. Baik Barito, Kapuas, dan Kotawaringin masih menjadi wilayah Kalimantan Selatan. Gelombang massa untuk menuntut pembentukan Kalimantan Tengah menjadi provinsi sendiri sebenarnya juga muncul bersamaan sebagaimana yang terjadi di wilayah Kalimantan lain. PM Laksono, dkk dalam Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia, Belajar dari Tjilik Riwut (2006), menyebutkan pada 17 Maret 1954 di Banjarmasin diadakan rapat rakyat yang dilaksanakan oleh Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PHRKT) agar pemerintah pusat segera mewujudkan pemekaran Kalimantan, khususnya pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah. Organisasi ini memperjuangkan pembentukan provinsi Kalimantan Tengah yang diketuai oleh Mahir Mahar. Organisasi atau kelompok yang bergabung dalam organisasi ini antara lain Serikat Dayak Kaharingan Indonesia (SKDI), PNI, PSI, Partai Murba, Partai Rakyat Nasional, Persatuan Pemuda Kristen Indonesia Pedoman Besar, dan Persatuan Suku Kalimantan Indonesia (Persukai).

Untungnya dalam UU No. 25 Tahun 1956, pembentukan provinsi keempat atau Provinsi Kalimantan Tengah memang diperintahkan. Dalam memori penjelasan UU tersebut yang masih menjadi satu kesatuan, dalam butir 4 disebutkan pemerintah pusat memang memaksudkan agar Kalimantan dibagi menjadi empat provinsi, namun karena keadaan keuangan negara dan keadaan SDM maka Provinsi Kalimantan pada waktu ini hanya dibagi tidak lebih dari tiga provinsi otonom. Memori penjelasan itu bahkan juga sudah menyebutkan kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin sebagai modal untuk pembentukan provinsi keempat tersebut. Kalimantan Tengah harus sudah terbentuk dalam waktu tiga tahun, maka dari itu sebagai persiapan (masih dalam UU yang sama) diperintahkan agar Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua Karasidenan. 

Tjilik Riwut (jas hitam kedua dari kiri). Keterangan dan tanggal foto
ini tidak diketahui secara pasti. Diperkirakan berfoto bersama para
pejabat yang tergabung dalam Kantor Persiapan Pembentukan
Provinsi Kalimantan Tengah
Sumber Foto: uzone.id 

Setelah gelombang desakan rakyat untuk menuntut segera dibentuk Provinsi Kalimantan Tengah semakin besar, terutama pasca Kongres Rakyat Kalimantan Tengah tanggal 2-5 Desember 1956 di Banjarmasin. Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan No.U.P. 34/41/24 tanggal 28 Desember 1956 mengenai pembentukan Kantor Persiapan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah terhitung mulai 1 Januari 1957 yang berkedudukan di Banjarmasin dengan menunjuk R.T.A Milono sebagai Gubernur Pembentuk. Demikian dalam buku 45 Tahun Kiprah dan Pengabdian DPRD Kalteng (2004). Aktivitas sehari-hari di kantor itu, dipimpin oleh Tjilik Riwut yang diangkat menjadi Residen Kalimantan Tengah dan dibantu oleh George Obos.

Kesabaran dan kebulatan tekad segenap rakyat Kalimantan Tengah akhirnya terwujud saat pemerintah menerbitkan UU Darurat No. 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Propinsi Kalimantan Tengah tertanggal 23 Mei 1957 dengan ibukota berada di Pahandut. Pahandut dikemudian hari pada tanggal 17 Juli 1957 dikunjungi oleh Presiden Sukarno yang datang secara khusus untuk memasang tiang pertama pembangunan kota yang dikemudian hari lebih dikenal dengan nama Palangka Raya.

Demikian makna penting tanggal 1 Januari bagi keempat provinsi di Pulau Kalimantan itu.

0 comments:

Post a Comment