Pesawat Delegasi Tiongkok Jatuh di Natuna, 65 Tahun Peristiwa Kashmir Princess

Pemerintah Republik Indonesia meradang, kapal Coast Guard milik Tiongkok nekat menerobos wilayah perairan Natuna yang masuk ke wilayah kedaulatan Indonesia. Saat dikonfirmasi oleh Badan Keamanan Laut RI, kapten kapal Tiongkok tersebut justru membalas bahwa mereka masih di wilayahnya dan berhak atas perairan Natuna. 


Akibatnya Kementerian Luar Negeri RI mengirimkan nota protes ke Tiongkok yang justru dibalas oleh juru bicara mereka kira-kira "suka tidak suka, China punya hak kedaulatan di perairan tersebut". Tidak ayal hal ini memancing kemarahan publik di Indonesia dan TNI menaikkan status siaga tempur di sekitar Natuna.

Wilayah perairan Laut Natuna Utara yang (dalam perspektif Tiongkok-Laut Tiongkok Selatan) adalah perairan yang sangat strategis baik dari sisi ekonomi maupun geografis. Perairan ini bersinggunggan langsung dengan sengketa laut di sekitar kepulauan Spratly dan Paracel antara Tiongkok, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Indonesia sendiri belakangan hari akhirnya juga terseret masalah ini karena ulah Tiongkok yang agresif mengklaim seluruh wilayah sekitarnya adalah miliknya.


Memori Kelam Tiongkok di Natuna 1955
Bagi Tiongkok, perairan Natuna memiliki ingatan memori kelam puluhan tahun silam. pada 11 April 1955 tepat jam 13.15 pesawat Kashmir Princess lepas landas dari Bandara Kai Tak Hongkong dengan membawa 16 orang sebagai delegasi dari RRT, termasuk 7 anggota kader Partai Komunis Tiongkok. Selang 5 jam setelah mengudara pesawat meledak di udara di ketinggian 18 ribu kaki. Pilot sempat mengirim sinyal darurat, karena berdasarkan informasi dari kru terjadi ledakan dari tangki bahan bakar. Pesawat Kashmir Princess menghujam lautan di sekitar Kepulauan Natuna, terbelah menjadi 3, dan hanya ada 3 orang yang selamat yaitu Anand Shridar Karnik: teknisi, Dixit: Pilot, dan J.C Pathak: navigator. Sedangkan 16 orang delegasi dari RRT diketahui tewas terbakar dalam ledakan itu. Kabar ini menggemparkan dunia dan pihak Indonesia sebagai host KAA yang memperoleh informasi beberapa hari sebelumnya bahwa Zhou En Lai (PM Tiongkok) juga turut dalam Kashmir Princess. 

Untunglah hal ini segera di konfirmasi oleh Pemerintah Tiongkok bahwa Zhou En Lai tidak dalam pesawat nahas itu. Menjelang keberangkatannya ia terpaksa harus dirawat di Rumah Sakit akibat penyakit usus buntu, sehingga tidak dapat mengikuti rombongan yang menumpang Kahsmir Princess pada 11 April 1955. Chou sendiri baru meninggalkan China pada 14 April 1955 melalui Kunming menuju Rangoon, Burma, terlebih dahulu untuk bertemu dengan PM U Nu, PM India Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, dan Wapres Afganistan Naeem. Disana para pemipin tersebut bertemu untuk membahas apa saja yang bakal dibicarakan dalam KAA 1955. Zhou sendiri baru mendarat di Kemayoran pada 16 April 1955 dengan menggunakan pesawat milik India.


Sabotase
Peristiwa meledaknya Kashmir Princess sontak mengejutkan pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara KAA seperti PM Ali Sastroamidjojo, dan Sekjen KAA Roeslan Abdulgani. Bayangkan saja, apabila sampai Zhou Enlai menjadi korban dari peristiwa nahas itu kemungkinan besar KAA akan dibatalkan atau setidaknya diundur pelaksanaannya. Untunglah tidak berapa lama mereka dapat bernafas lega, ternyata Zhou Enlai tidak berada di pesawat tersebut. Pemerintah Indonesia kemudian membentuk komisi penyelidikan terkait peristiwa itu, mulai dari penyelidikan saksi hingga pengangkatan reruntuhan pesawat dari laut Natuna. Setelah menyelamatkan 90% reruntuhan pesawat Kashmir Princess yang jatuh di Natuna, melalui tahap penelitian, dihasilkan bukti bahwa adanya sebuah ledakan di roda depan bagian kanan pesawat (dekat dengan sayap dan tangki) yang disebabkan bom waktu. Kesimpulannya adalah terjadi sabotase, seperti dilaporkan majalah Time pada 6 Juni 1955.

Spekulasi kemudian muncul, Zhou Enlai dikabarkan sebenarnya mengetahui akan terjadi peristiwa ini. Intelejen RRT sudah mengantongi informasi bahwa pihak Koumintang, nasionalis pimpinan Chiang Kai Sek, tengah merencanakan pemboman pesawat yang ditumpangi Zhou. Atas perintah Mao Zedong, Zhou merubah rute perjalanan tersebut agar tak menaiki Kashmir Princess. Sebenarnya pada 7 April 1955 Zhou Enlai bersama delegasi RRT lain terutama yang senior sudah meninggalkan Beijing menuju ke Kunming untuk mempersiapkan diri dalam KAA dan memulihkan diri pascaoperasi. Rencana B ini dirahasikan rapat-rapat, penjelasan resmi pemerintah setelah peristiwa itu: Zhou terkena radang usus buntu dan harus dioperasi. Tepat 4 hari kemudian, pada tanggal 11 April 1955 bom meledak di pesawat yang semula akan ditumpangi Zhou itu.

Mengapa Zhou tidak berupaya menghentikan sabotase itu? padahal sebenarnya bisa saja ia memerintahkan pesawat Kashmir Princess untuk membatalkan take off atau merubah rute. Zhou membiarkan peledakan, agar dapat mendesak otoritas Hong Kong untuk menindak jaringan rahasia agen-agen Koumintang di negara yang masih kepemilikan Inggris itu. Dalam perjuangan selalu ada yang harus dikorbankan. Zhou menggunakan peristiwa ini agar dapat melakukan investigasi bersama, sehingga dapat meningkatkan hubungan dengan Inggris yang semula pro terhadap Chiang Kai Sek. Beijing segera mengatakan agen-agen Koumintang lah yang berada dibalik peristiwa itu. Atas rekomendasi Beijing, Hong Kong mengusir tidak kurang 40 nama orang-orang yang diduga agen Koumintang di negara itu. Hal ini membuat jaringan intelejen Koumintang pimpinan Chiang Kai Sek di Hong Kong lumpuh.

Kemudian siapakah pelaku pengeboman Kashmir Princess? adalah seorang petugas kebersihan Bandara Kai Tak yang bernama Chou Tse Ming yang direkrut oleh dinas rahasia Koumintang pada Maret 1955. Dinas rahasia Koumintang menawarkan 600.000 dolar Hongkong dan tempat perlindugan di Taiwan paska peledakan itu. Ketika polisi Hong Kong hendak menangkap Chou, ia keburu melarikan diri terbang ke Taiwan menumpang pesawat Civil Air Transport milik CIA. Sebuah indikasi yang cukup bahwa Amerika Serikat juga memiliki peran dalam upaya pembunuhan Zhou Enlai.

Sumber:
Majalah Tempo, Edisi 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, 20 April 2015

0 comments:

Post a Comment