Kebun Binatang Pontianak Dalam Ingatan

Koleksi Gajah di Kebun Binatang Pontianak
(Sumber: flickr)
Pandemi COVID 19 membuat Kebun Binatang harus menutup kunjungan yang berdampak pada kurangnya pendapatan. Akibatnya, satwa koleksi terancam kelaparan hingga bangkrut. Di Pontianak, situasi serupa telah terjadi sejak tahun 2008 jauh sebelum COVID 19, tapi bermuara pada satu pangkal. Biaya operasional.

Share:

F.C Palaunsoeka, Wakil Rakyat Empat Zaman

FC. Palaunsoeka (berkacamata hitam)
(sumber:peladangkata.com)

Meniti karir awal sebagai
Guru Agama Katolik di Kapuas Hulu, Franciscus Conradus Palaunsoeka beralih menjadi politisi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai legislator terlama di Indonesia dari tahun 1947-1988. Ia termasuk tokoh Dayak yang banyak berkiprah di tingkat nasional dan pendiri Harian Kompas.

Palaun, sebagaimana nama panggilannya semasa muda, termasuk tokoh masyarakat Dayak yang cukup dihormati khususnya di Kalimantan Barat. Lahir di Malapi, Kapuas Hulu pada 19 Mei 1923, ayahnya bernama Daun Ma' Neiding dan ibunya Rengen Soeka. Ia menggunakan marga 'Soeka' sebagaimana dimiliki ibunya, yang merupakan Samagat atau status sosial sebagai bangsawan dalam suku Dayak Taman.

Share:

Dialog Harkitnas AGSI Kalimantan Barat

Pengurus Wilayah Kalimantan Barat Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), sebagai salah satu cabang AGSI tingkat provinsi mengadakan kegiatan Dialog Sejarah dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei. Dialog yang bertema umum: Hari Kebangkitan Nasional dan Peran Pengajaran Sejarah Dalam Peningkatan Nilai Nasionalisme, akan dilaksanakan pada tanggal 20 Mei 2020 secara daring melalui aplikasi ZOOM Meetings. Dialog ini menghadirkan empat narasumber yang dianggap panitia kompeten dalam bidangnya, antara lain: 1) Dr. Sumardiansyah Perdana Kusuma yang menjabat sebagai Presiden AGSI, 2) Dr. Firdaus Zar'in, S.Pd., M.Si, menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak, 3) Herman Hofi Munawar, S.Pd., S.H., M.H., M.Si., MBA, selain dikenal sebagai politisi juga merupakan akademisi, dan 4) Edwin Mirza Chaerulsyah, M.Pd yang aktif sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura Pontianak.



Kegiatan ini diselenggarakan selain untuk memperingati hari kebangkitan nasional, juga sebagai mengkspor kembali bagaimana sejarah, khususnya dalam pengajaran di institusi pendidikan, memiliki peran yang cukup signifikan dalam menumbuhkan jiwa nasionalisme. Hal ini dapat dilihat dari cukup tingginya jam mengajar guru sejarah dan kompetensi-kompetensi dasar yang ditetapkan. Adapun waktu pelaksanaan dialog ini yakni jam 09.30-12.30 WIB. Pendaftaran tidak dipungut biaya sama sekali dan dapat registrasi melalui link berikut: tinyurl.com/dialogagsikb
Share:

R. Muslimin Nalaprana, Dari Demang Hingga Volksraad

Raden Muslimin Nalaprana (paling kanan, berkopiah) dalam sebuah sesi foto dengan
seluruh anggota Volksraad  di Batavia. (Sumber: Kesadaran, 1940)


Agar dianggap lebih memperhatikan suara kaum Bumiputera, Gubernur Jenderal J.P van Limburg Stirum mengusulkan membentuk Volksraad atau Dewan Rakyat pada 1916. Volksraad beranggotakan orang-orang pribumi, golongan timur asing, dan golongan Eropa (Belanda). Sepanjang sejarahnya hingga 1942, perwakilan Borneo Barat hanya Raden Muslimin Nalaprana yang pernah merasakannya.

Share:

Menggali Jejak Candi di Kalimantan Barat

Situs Candi Negeri Baru Ketapang
(Dokumentasi: Dr. Simoen Liem, Google Photos)
Sebuah reruntuhan batu bata berserakan ditemukan di sebuah desa di Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Belakangan setelah melewati penelitian singkat, reruntuhan batu bata itu adalah sisa percandian zaman Kerajaan Tanjungpura yang pernah berkuasa di provinsi ini.


Share:

Gusti Sulung Lelanang, Pejuang Pendidikan Kalimantan Barat yang Terlupakan

(Sumber: Listiana, Nurcahyanti, Rahmayani)

Status sosial dan kedudukan sebagai Guru yang nyaman tidak membuat Gusti Sulung Lelanang kehilangan idealismenya. Anti kooperatif dengan penjajah Belanda. Melalui Sarekat Rakyat ia berjuang hingga akhirnya dibuang ke Digul pada 1926

Sosoknya cukup samar di dengar oleh publik siapa sebenarnya Gusti Sulung Lelanang. Kecuali merujuk pada suatu nama jalan di Pontianak, hanya segelintir yang mengetahui ia adalah pejuang. Padahal Gusti Sulung Lelanang adalah salah satu tokoh Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia yang memainkan peranan penting dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat.

Sesuai dengan gelar namanya, Gusti Sulung Lelanang termasuk orang yang masih memiliki kekerabatan dengan Kesultanan Landak dari ayahnya, Pangeran Laksamana Gusti Mahmud. Karena minimnya sumber, tidak diketahui secara pasti kapan ia lahir dan bagaimana masa kecilnya. Untunglah sebagai keturunan bangsawan, ia dapat mengenyam pendidikan setingkat lebih tinggi daripada golongan rakyat biasa di Hollandsche Indische School (HIS) Jatinegara, Batavia. Sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar itu setara dengan Sekolah Dasar yang dapat ditempuh 6-7 tahun. Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat (1978), disebutkan Gusti Sulung Lelanang merupakan salah satu putra daerah yang pernah mengenyam pendidikan barat di Jawa, tepatnya pada Sekolah Guru (Kweekschool). Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan di Kweekschool itu ditempuh oleh Lelanang setelah lulus dari HIS.

Selama bersekolah di Batavia itulah, perasaan kebangsaan Gusti Sulung Lelanang muncul. Kebetulan kota yang belakangan hari bernama Jakarta itu memang menjadi pusat pergerakan kebangsaan Indonesia semenjak politik etis dan kesempatan pendidikan yang lebih luas bagi pribumi bergulir. Ia pun terikut arus bersama kaum pergerakan yang mulai muncul pemikiran-pemikiran untuk memperbaiki nasib kaum bumiputera. Pada 1914 ia bergabung bersama organisasi Sarekat Islam (SI) pimpinan H.O.S Cokroaminoto di Surabaya. Masa-masa pendidikan di Kweekschool itu ia isi juga dengan mempertajam pemikiran-pemikiran politiknya lewat berbagai forum diskusi maupun bersama SI.

Setelah lulus, Gusti Sulung Lelanang sempat mengajar disalah satu sekolah di Jakarta. Akan tetapi pergerakan politiknya mulai membuat gerah pemerintah kolonial. Gusti Sulung Lelanang termasuk anggota SI yang mulai tertarik pada ide-ide komunisme melalui tokoh-tokoh SI seperti Semaun dan Darsono yang lebih dahulu akrab dengan Sneevliet, Ketua ISDV. Di Jakarta itu bahkan Gusti Sulung Lelanang pernah mendapatkan pelajaran politik langsung dari Tan Malaka dan Alimin, demikian dalam buku Sejarah Perlawanan Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat (1981). Alimin sendiri sejak tahun 1918 sudah menjadi Ketua ISDV di wilayah Jakarta yang nantinya pada tahun 1924 berubah menjadi Partai Komunis Indonesia. Mungkin sekali Gusti Sulung Lelanang juga anggota ISDV ketika itu.

Akibat aktivitas politiknya bersama kaum pergerakan kiri tersebut, pemerintah Belanda mencoba untuk menghentikannya dengan berbagai cara. Menurut Syafaruddin Usman dalam Riwayat Perjuangan Gusti Sulung Lelanang oleh Bella Suci dan Anggela Juniati (mimbaruntan.com), Lelanang ditawari menjadi Mantri Guru di Batavia dengan gaji yang cukup besar asalkan ia bersedia menghentian aktivitas politiknya dan hanya fokus mengajar. Seakan tidak silau dengan uang dan jabatan yang tinggi itu, ia justru menolak mentah-mentah tawaran pejabat pendidikan Hindia Belanda itu. Demi menjauhkannya dari aktivitas politik di Batavia, pemerintah kolonial akhirnya menghukumnya dengan dikembalikan ke Kalimantan Barat dan kemudian mengajar di Singkawang.

Hukuman pengembalian ke daerah asal itu ditanggapi positif oleh Gusti Sulung Lelanang, suatu tugas mulia yang kini harus mendidik anak-anak di tanah kelahirannya sendiri. Kesabaran dan keterampilannya dalam mengajar membuat dirinya dihormati oleh para muridnya. Masih menurut Syafaruddin Usman, salah satu muridnya bernama Firdaus, bahkan berhasil menjadi Bupati Sambas pada 1960-1967. Sembari mengajar, aktivitas politiknya kembali disalurkan bersama para pengurus SI di Singkawang. Akan tetapi Gusti Sulung Lelanang sebenarnya cukup kecewa dengan SI pusat yang dinilai lamban dan kompromistis dalam melakukan gerakan. Malah akhirnya melalui Kongres SI ke 5 pada 6 Oktober 1921 di Surabaya, H Agus Salim dan Abdoel Muis mengusulkan anggota SI yang merangkap keanggotan di organisasi lain dipecat. Pemecatan itu baru secara resmi dilaksanakan melalui Kongres SI ke 6 pada 17 Februari 1923 di Madiun. Menurut M. Nasruddin Anshoriy dalam Pecat Memecat Ala Sarekat Islam oleh Iswara N. Raditya (tirto.id), sebagai tandingan Semaoen mengadakan kongres serupa pada Maret 1923 dengan keputusan seluruh cabang SI yang mendukung Semaoen berganti nama menjadi Sarekat Rakyat (SR).

Atas keputusan kongres di Bandung tersebut, Gusti Sulung Lelanang yang sejak di Batavia memang berkiblat pada Semaoen atau SI Merah, akhirnya memisahkan diri dari kepungurusan SI di Kalimantan Barat dengan membentuk pula Sarekat Rakyat (SR) Kalimantan Barat. Dibantu beberapa tokoh yang sealiran kiri seperti Muhammad Hambal, Ahmad Marzuki, Mohammad Sohor, Mohammad Sood, Gusti Situt Mahmud, Gusti Hamzah, Haji Rais Abdurrachman, Djeranding, dan Gusti Johan Idrus. Perlahan SR mulai mendapatkan pengaruh di Kalimantan Barat dengan menjadikan beberapa kota sebagai pusat perjuangan, terutama di Ngabang dan Pontianak.

Agitasi-agitasi dan kecaman terhadap pemerintah kolonial disampaikan oleh SR secara masif melalui penerbitan surat kabar. Dengan dibantu Haji Rais Abdurrachman, SR Kalimantan Barat antara tahun 1922-1926 setidaknya pernah menerbitkan tiga surat kabar, yakni Berani, Halilintar, dan Warta Borneo. Lisyawati Nurcahyani dalam Wacana Nasionalisme dalam Pers Kalimantan Barat pada Masa Pergerakan Nasional (2019), menyebutkan keterampilan Haji Rais dalam dunia Jurnalistik didapatkannya saat pergi ke Jakarta pada 1920 dan bekerja di Surat Kabar Neratja. Haji Rais pun banyak belajar dan dekat dengan tokoh jurnalis pergerakan kala itu seperti Parada Harahap (pemimpin redaksi Bintang Hindia) dan Djojopranoto (pemimpin redaksi Menjala). Ia pun kerap bertemu dan berdiskusi dengan Gusti Sulung Lelanang selama di Jakarta.

Aksi-aksi Gusti Sulung Lelanang dan kawan-kawan baik melalui Surat Kabar yang menjadi penerbitan SR maupun rapat-rapat di berbagai kota akhirnya membuat para tokoh SR diawasi pemerintah. Kritik dan kecaman pedas di rubrik surat kabar serta propaganda kepada rakyat agar melawan pemerintah kolonial semakin santer didengungkan. Terlebih-lebih pasca pemberontakan PKI di Banten pada November 1926, Gusti Sulung Lelanang dan tokoh-tokoh SR di Kalimantan Barat itu akhirnya masuk dalam daftar orang berbahaya dan harus segera ditangkap. Pada 1 April 1927, tanpa putusan pengadilan, Gusti Sulung Lelanang dan para tokoh SR Kalimantan Barat dihukum pembuangan ke Tanah Merah, Boven Digul, Papua.

Selama di Boven Digul, kecintaannya akan dunia pengajaran tetap belum padam. Untuk mengisi waktu luangnya yang membosankan ia menyelenggarakan kursus Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman untuk para tahanan. Pada tahun 1939 ia telah kembali berada di Pontianak pasca pembuangan di Boven Digul. Pada 28 Maret 1939 berdiri organisasi Persatuan Anak Borneo (PAB) yang dibentuk oleh pemerintah kolonial untuk melawan perkembangan Partai Indonesia Raya (PARINDRA). PAB yang dipimpin oleh Raden Muslimun Nalaprana kemudian sadar akan taktik pecah belah Belanda dengan membentuk PAB agar tidak tercapainya persatuan antar kaum bumiputera. Nalaprana akhirnya mengajak ex-digulis -diantaranya Gusti Sulung Lelanang- untuk bergabung dalam PAB sebagai wakilnya yang secara rahasia bermisi untuk menjadikan Parindra dan PAB satu haluan melawan kolonial Belanda sambil berpura-pura kooperatif.

Melalui PAB inilah Gusti Sulung Lelanang kembali berperan dalam pemajuan pendidikan bagi kaum bumiputera. Menurut Dana Listiana dalam Wacana Nasionalisme dalam Pers Kalimantan Barat pada Masa Pergerakan Nasional (2019), bagian pendidikan PAB yang diketuai Ja' Sabran berhasil menginisasi pembentukan sekolah-sekolah untuk rakyat di berbagai daerah. Di Pontianak didirikan Sekolah Bumiputera atau Inheemsche Nederlandch School (INS), di Mempawah dan Ngabang didirikan Sekolah Lanjutan atau Overgangsschool, dan Sekolah Kampoeng di Wadjok. PAB juga mempromosikan beberapa sekolah partikelir yang sudah ada di Pontianak seperti Sekolah Islamiah. Semua sekolah yang didirikan PAB berjenis Sekolah Rakyat Volkschool untuk rakyat yang tidak mampu karena tidak akan ditarik bayaran sepeserpun.

Perjuangan Gusti Sulung Lelanang akhirnya mesti berakhir seketika Jepang masuk ke Kalimantan Barat sekitar Februari 1942. Semua sekolah yang pernah ia rintis ditutup kecuali beberapa sekolah yang menurut Jepang boleh tetap beroperasi. Akhir hayat Gusti Sulung Lelanang terungkap pada pemberitaan Koran Borneo Shinbun 28 Juni 1944, ia bersama ribuan kaum cerdik pandai di provinsi ini habis dibunuh oleh Jepang. 

Penulis: M. Rikaz Prabowo
Share: