F.C Palaunsoeka, Wakil Rakyat Empat Zaman

FC. Palaunsoeka (berkacamata hitam)
(sumber:peladangkata.com)

Meniti karir awal sebagai
Guru Agama Katolik di Kapuas Hulu, Franciscus Conradus Palaunsoeka beralih menjadi politisi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai legislator terlama di Indonesia dari tahun 1947-1988. Ia termasuk tokoh Dayak yang banyak berkiprah di tingkat nasional dan pendiri Harian Kompas.

Palaun, sebagaimana nama panggilannya semasa muda, termasuk tokoh masyarakat Dayak yang cukup dihormati khususnya di Kalimantan Barat. Lahir di Malapi, Kapuas Hulu pada 19 Mei 1923, ayahnya bernama Daun Ma' Neiding dan ibunya Rengen Soeka. Ia menggunakan marga 'Soeka' sebagaimana dimiliki ibunya, yang merupakan Samagat atau status sosial sebagai bangsawan dalam suku Dayak Taman.



Sebagai anak Dayak yang cukup berada dan memahami bagaimana pentingnya pendidikan, Palaunsoeka memiliki kesempatan untuk mengecap bangku pendidikan yang kala itu suatu hal yang jarang dan sulit bagi masyarakat Dayak. Jarang karena kultur masyarakat Dayak ketika itu yang banyak tinggal daerah pedalaman, dan sulit karena meskipun tersedia akses pendidikan, sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial ataupun yang dikelola kesultanan tentunya tidak sembarang memilih peserta didik.

Palaun tamat dari Volkschool atau Sekolah Rakyat Putussibau pada tahun 1936. Petrik Matanasi dalam Sekolah-sekolah di Zaman Belanda (tirto.id) menyebutkan Sekolah Rakyat lama pendidikannya hanya tiga tahun, itupun hanya diajar belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah Rakyat umumnya tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya, melainkan bahasa daerah setempat. Setelah lulus dari Volkschool masalah kembali muncul. Lulusan sekolah ini sulit untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi karena harus melewati Sekolah Sambungan atau Vervolg School yang juga tidak tersedia di Kapuas Hulu. Sehingga Palaunsoeka memilih melanjutkan ke Cursus Volkschool Onderwijzer (CVO) atau Sekolah Guru untuk Sekolah Rakyat di Nyarumkop, Singkawang. Pemilihan CVO Nyarumkop dikarenakan memang hanya sekolah itulah yang mau menerima lulusan Sekolah Rakyat di Kalimantan Barat dengan 30 siswa setiap tahunnya.

Tahun 1941 Palaunsoeka lulus dari CVO Nyarumkop dengan menyandang status sebagai Guru Agama Katolik. Sayangnya Perang Pasifik keburu pecah dan wilayah Kalimantan pada Maret 1942 telah diduduki Jepang sehingga karirnya sebagai guru terhambat. Di masa pendudukan negara fasis itu Palaunsoeka mendaftar pada organisasi Seinendan hingga berpangkat komandan peleton di akhir perang sekitar bulan Agustus 1945.


Pendiri Partai Persatuan Dayak (PPD)
Riwayat eksistensi Partai Persatuan Dayak (PPD) tidak bisa dilepaskan dari peranan Palaunsoeka untuk meningkatkan kemajuan masyarakat Dayak. PPD yang berhasil memenangkan Pemilu 1955 di Kalimantan Barat itu diawali dengan berdirinya organisasi Dayak in Action (DIA) di Putussibau pada 30 November 1945. Aju dalam Palaunsoeka: Tokoh Masyarakat Kalimantan Barat di Balik Integrasi Timor-Timur (2017), menjelaskan bahwa DIA dibentuk dalam rapat para guru dan pegawai Dayak dengan dihari para Tumenggung. Rapat itu diketuai oleh Palaunsoeka dan dimoderatori seorang biarawan Jesuit A. Adikarjana yang merupakan pastor pribumi yang melayani umat Katolik di Kalimantan Barat.

Perkembangan organisasi DIA yang semakin pesat serta semakin meningkatnya perjuangan politik anggotanya, maka pada 30 Oktober 1946 organisasi itu ditingkatkan menjadi sebuah partai politik dengan nama Partai Persatuan Dayak (PPD). Masih menurut Aju, diawal pembentukannya susunan personalia dan kepengurusan PPD itu antara lain; A.F Korak, Pius Ungkang, dan Agustinus Djelani sebagai penasihat. Ketua umum F.C Palaunsoeka, Ketua Marinus Andjioe, Sekretaris I Rafael Serang, Sekretaris II Hieronimus Liwah, Bendahara W.J Pilang, dan Pembantu dipegang oleh F.H Aboe serta S.P Boega. Terhitung mulai 1 Januari 1947 PPD memindahkan kesekretariatan partai ke Pontianak agar lebih dekat dengan pusat perkembangan politik di provinsi itu. PPD juga menetapkan J.C Oevaang Oeray sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPD.

Pada tahun 1947, F.C Palaunsoeka menapaki karir pertamanya duduk dalam lembaga perwakilan  sebagai wakil dari masyarakat Dayak pada Dewan Kalimantan Barat (DKB). DKB sendiri adalah organ legislatif pada Pemerintah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang dibentuk pada 12 Mei 1947 pimpinan Sultan Hamid II. DKB beranggotakan 40 orang, mewakili komunitas masyarakat Dayak, Melayu, Tionghoa, Arab, Belanda, dan kesultanan-kesultanan/swapraja di Kalimantan Barat.

Palaunsoeka juga dikenal aktif pada gerakan kepemudaan masa kemerdekaan di Kalimantan Barat. Sekitar bulan Mei 1948 ia mendirikan Gerakan Pemuda Dayak Baru di Pontianak. Kemudian pada bulan Oktober di tahun yang sama, ia masuk menjadi salah satu anggota Badan Penyelenggara Kongres Pemuda se Indonesia untuk seluruh Kalimantan Barat. Selain itu Aju mengungkapkan, meskipun Palaunsoeka termasuk bagian dari DIKB, beliau juga tercatat sebagai salah satu pengurus Gabungan Persatuan Indonesia (GAPI) Pontianak yang pro terhadap integrasi ke Republik Indonesia di tahun 1947-1950.

Franciscus Conradus Palaunsoeka
(sumber: suarapakat.blogspot.com)

Wakil Rakyat di Jakarta
Petualangan F.C Palaunsoeka sebagai wakil rakyat kembali diteruskan pasca penyerahan kedaulatan RI dari Belanda 22 Desember 1949. Sebagaimana kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), maka terbentuk pula lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat RIS (DPR-RIS) yang menjadi unsur legislatif dari penyelenggaraan negara tersebut. Palaunsoeka sejak akhir tahun 1949 itu dipercaya duduk sebagai anggota DPR-RIS sehingga mengantarkannya harus pindah ke Jakarta. Ketika itu usianya baru 26 tahun. Menariknya, menurut Taufiq Tanasaldy dalam Regime Change and Ethnic Politic in Indonesia: Dayak Politics of West Kalimantan (2014), Palaunsoeka dan rekannya yang lain dari Kalimantan Barat, Agustinus Djelani, duduk di bangku DPR-RIS sebagai perwakilan dari Partai Katolik Indonesia (bukan perwakilan PPD) hingga 6 September 1950.

Sementara itu kesempatan Palaunsoeka duduk menjadi anggota DPR pusat di Jakarta kembali dirasakan pasca Pemilu 1955. PPD menang besar di Kalimantan Barat pada Pemilu 1955 dengan mengantongi 146.054 suara pada pemilu, berada di urutan kedua setelah Masyumi dengan 155.173 suara. Pada pemilu konstituante PPD justru menduduki peringkat teratas perolehan suara dengan 157.490 suara berbanding Masyumi yang hanya 152.715 suara. Masih dalam Taufiq Tanasaldy, perolehan suara PPD itu membawa F.C Palaunsoeka duduk sebagai anggota DPR-RI satu-satunya dari fraksi PPD.


Membesarkan Partai Katolik
Perjalanan Palaunsoeka di DPR RI bersama PPD harus berhenti sekitar tahun 1960. Hal ini awalnya ditandai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang dimulainya masa Demokrasi Terpimpin. Tidak lama setelah itu Presiden Sukarno juga mengeluarkan Perpres No. 7 Tahun 1959 yang isinya tentang pensederhanaan partai. Tahun 1960 PPD akhirnya secara resmi dibubarkan berikut beberapa partai yang tidak memenuhi ketentuan syarat minimal jumlah pengurus partai di 8 provinsi. Dengan demikian Palaunsoeka sebagai wakil dari PPD akhirnya bergabung ke fraksi Partai Katolik di DPR-GR. Sedangkan pengurus PPD yang lain sebagian besar bergabung dengan Partai Indonesia (PARTINDO) diantaranya Gubernur J.C Oevaang Oeraay.
F.C Palaunsoeka dalam sebuah kampanye Partai Katolik di
Menjali, Landak.Kemungkinan foto diambil sekitar Pemilu 1971
(Koleksi: Aju)

Alasan Palaunsoeka memilih bergabung bersama Partai Katolik antara lain karena ketidaksenangan dirinya terhadap ideologi PARTINDO yang kekiri-kirian. PARTINDO sendiri memang dikenal sebagai partai yang menerapkan Marhaenisme secara murni, dimana ajaran ini menurut Sukarno adalah Marxisme yang telah disesuaikan untuk masyarakat Indonesia. Selain itu kedekatannya dengan Partai Katolik memang telah terjalin lama sejak tahun 1950 ketika menjadi anggota DPR-RIS dari Partai Katolik. Aju juga menambahkan, menurutnya alasan Palaunsoeka memilih bergabung ke Partai Katolik karena Katolik adalah sumber dari kebangkitan dan kemajuan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Karena Gereja Katolik lah yang memberdayakan masyarakat Dayak pedalaman. Kepemimpinan Palaunsoeka di Partai Katolik provinsi itu berlangsung dari tahun 1962 hingga 1973.

Pada periode ini, kiprah Palaunsoeka semakin berkembang dengan masuk dalam tim Komando Tertinggi Urusan Ekonomi untuk Provinsi Nusa Temggara Barat dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 1960. Palaunsoeka juga dicatat sebagai salah satu pendiri Harian Kompas bersama tokoh-tokoh Katolik lainnya seperti P.K Ojong, Frans Seda, Jakoeb Oetama, dan I.J Kasimo. Palaunsoeka sendiri duduk sebagai Pemimpin Redaksi (Penulis I). Kelihaian Palaunsoeka dalam dunia pers sebenarnya telah diasah sejak bergabung di dalam staf redaksi harian Suluh Kalimantan dan Keadilan pada sekitar tahun 1948-1949.

Bersama delegasi DPR, Palaunsoeka banyak mengunjungi negara-negara lain dalam rangka kunjungan kerja baik di benua Eropa, Afrika, maupun Asia. Pada 1968 ia mewakili Indonesia dalam Konferensi Asian Parliemen Union di Bangkok, Thailand. Pada pemilu tahun 1971 Palaunsoeka kembali terpilih menjadi anggota DPR RI mewakil Partai Katolik.
F.C Palaunsoeka (paling kanan) dalam salah satu rapat atau pertemuan
(sumber: marselinamaryani.blogspot.com)


Tokoh Senior PDI Kalimantan Barat
Arah perkembangan perpolitikan Indonesia di masa Presiden Suharto yang menginginkan stabilitas politik sebagai modal utama pembangunan membawa dampak pada penyederhanaan partai yang berkembang memasuki tahun 1970. Banyak partai-partai akhirnya melakukan fusi bersama partai lain, termasuk Partai Katolik. Pada 25-27 Februari 1973 Dewan Pimpinan Partai Katolik menyetujui partai itu untuk berfusi bersama empat partai lain yakni PNI, IPKI, Murba, dan Partai Kristen Indonesia. Fusi kelima partai ini sepakat untuk membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Fusi partai ditingkat nasional ini juga selaras terjadi di tingkat cabang-cabang di seluruh Indonesia. Partai Katolik di Kalimantan Barat pun berfusi pula menjadi PDI, dan pimpinannya dipercaya pada F.C Palaunsoeka hingga tahun 1989 meskipun ia berada di Senayan (DPR-RI). Karirnya sebagai anggota legislatif terus berjalan seiring jabatan lain yang juga ia emban, diantaranya menjadi Penasehat Ahli pada Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN). Pada tahun 1977 dirinya kembali dipercaya menjadi anggota DPR-RI mewakili PDI, dan kembali terulang pada Pemilu 1982 dan 1987. empat zaman menjadi wakil rakyat (Dewan Kalimantan Barat, DPR-RIS, DPR masa Presiden Sukarno, dan masa Presiden Suharto), ia di recall oleh partainya sendiri dari kursi DPR-RI pada 26 Maret 1988. Tidak hanya di recall, Palaunsoeka yang termasuk kelompok tua dan berjasa dalam membesarkan PDI juga dipecat dari partai yang ia besarkan itu. Dirinya dan beberapa tokoh senior PDI lain masuk dalam Kelompok 17 yang menentang sang ketua umum, Supriadi, perihal SK No. 59 tahun 1986 DPP PDI soal masa tugas Fraksi PDI di DPR maksimal dua kali berturut-turut.

F.C Palaunsoeka, istri, dan anak-anaknya.
(Sumber: marselinamaryani.blogspot.com)

Menurut Aju, pemberhentian Palaunsoeka merupakan ketidakbijakan DPP PDI kala itu melihat realita politik yang ada. Sebab, saat dilakukan fusi partai, Palaunsoeka termasuk orang 'titipan' Presiden Suharto di PDI agar tetap berkiprah di DPR karena telah berjasa besar bagi negara. Terutama keterlibatannya dalam membantu proses integrasi Timor Timur ke dalam RI sekitar tahun 1975. Apabila dihitung, lama Palaunsoeka berkiprah dalam dunia legislatif di tahun 1947-1950 kemudian 1955-1988 kurang lebih selama 36 tahun. Dengan demikian F.C Palaunsoeka tercatat sebagai wakil rakyat terlama dalam sejarah RI dan belum terpecahkan. Palaunsoeka wafat di Pontianak pada 12 Agustus 1993 meninggalkan seorang istri dan sepuluh anak.

Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment