Menggali Jejak Candi di Kalimantan Barat

Situs Candi Negeri Baru Ketapang
(Dokumentasi: Dr. Simoen Liem, Google Photos)
Sebuah reruntuhan batu bata berserakan ditemukan di sebuah desa di Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Belakangan setelah melewati penelitian singkat, reruntuhan batu bata itu adalah sisa percandian zaman Kerajaan Tanjungpura yang pernah berkuasa di provinsi ini.



Penemuan reruntuhan candi di Desa Negeri Baru, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang ini sebenarnya tidak bisa dibilang baru. Reruntuhan batu batanya telah diketahui sejak lama oleh masyarakat sekitar. Akan tetapi, karena minimnya informasi, edukasi, dan perlindungan batu bata merah di reruntuhan tersebut banyak diambil oleh masyarakat. Bambang Sakti Wiku Atmojo, dalam Penelitian Situs Bangunan Bata Negeri Baru, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mengungkapkan sebelum tahun 2003 puluhan truk sering hilir mudik mengambil batu bata yang masih utuh untuk berbagai keperluan. Sedangkan pecahannya dibiarkan di atas tanah tak beraturan di sekitar situs. Dari sini dapat diperkirakan reruntuhan bangunan bata di situs ini cukup besar. (Berita Penelitian Arkeologi volume 8 tahun 2014, Balai Arkeologi Banjarmasin). 

Reruntuhan bangunan bata di desa Negeri Baru itu baru menyita perhatian publik sekitar tahun 2010. Setelah melewati identifikasi dari para ahli, reruntuhan bangunan diketahui merupakan sisa-sisa percandian. Sejak itu lah reruntuhan bangunan bata itu dinamakan Candi Negeri Baru yang merujuk pada desa terletaknya situs itu. Sejak itulah Pemerintah Kabupaten Ketapang aktif mendaftarkan tempat ini sebagai situs yang dilindungi negara karena termasuk bangunan Cagar Budaya. 


Candi Hindu
Berdasarkan hasil penelitian dan ekskavasi, diketahui bahwa situs Candi Negeri Baru terdiri dari tiga candi yang kesemuanya berbahan baku sama, yakni batu bata merah atau terracotta. Candi pertama yang ditemukan tahun 2010 berukuran 5,4 x 5,4 meter. Sayangnya struktur yang tersisa dari reruntuhan candi pertama ini hanya berupa bagian kaki candi yang tingginya hanya 135 cm. Dari candi pertama ini juga belum diketahui secara pasti apakah terdapat bilik ruangan atau tidak, demikian dalam Situs Candi Negeri Baru Dimasa Dinasti Yuan (kebudayaan.kemdikbud.go.id, 2019)

Sedangkan berdasarkan laporan ekskavasi terakhir sekitar bulan Februari 2020 mengungkapkan ukuran candi ketiga yakni dengan ukuran panjang-lebar 4,5 x 4,6 meter. Adapun sama halnya dengan candi pertama, pada candi ketiga ini struktur yang tersisa hanyalah bagian kaki candi dengan tinggi 69 cm. Lokasi candi ketiga ini tidak jauh dari candi pertama dan candi kedua (di depan candi pertama), hanya saja posisi candi ketiga berada di halaman salah satu rumah masyarakat. Memang apabila diperhatikan, sekitar situs Candi Negeri Baru ini telah cukup ramai dengan pemukiman. Demikian dalam artikel laporan Ekskavasi Penyelamatan Situs Candi Baru (kebudayaan.kemdikbud.go.id, 2020

Situs Candi Negeri Baru sendiri diperkirakan Candi Hindu. Bambang Sakti Wiku Atmojo sendiri mengungkapkan, dugaan kuat Negeri Baru adalah candi agama Hindu dapat dilihat dari ditemukannya relief Sapi dan mata Kala pada ukiran reruntuhan batu bata. Indikasi ini juga semakin kuat dengan ukuran candi kedua dan ketiga yang lebih kecil daripada candi pertama, sehingga kedua candi tersebut seperti candi perwara yang menjadi ciri khas percandian Hindu. Relief Sapi (Lembu) merupakan relief yang biasa dijumpai pada candi Hindu sebagai simbol pemujaan terhadap Dewa Siwa (yang berwahana Lembu Nandi). Sedangkan Kala atau Batara Kala dalam mitologi Hindu merupakan putra dari Dewa Siwa. Dengan demikian dugaan situs Candi Negeri Baru merupakan candi Hindu sangatlah kuat. Meskipun begitu, Bambang Sakti dalam penelitiannya belum bisa memastikan fungsi Negeri Baru sebagai candi tempat sembahyang, candi pendharmaan, ataupun fungsi lainnya. Hanya saja terdapat adanya sumuran di sisa bangunan di sebelah utara candi.


Peninggalan Kerajaan Tanjungpura?
Wilayah Kabupaten Ketapang dikenal sebagai pusat peradaban manusia sejak masa Hindu-Budha lewat berdirinya Kerajaan Tanjungpura (kadang ditulis Tanjung Pura). Nama Tanjungpura bisa dilacak dari berbagai sumber, sumber dalam negeri misalnya. Naskah Kakawin Negarakretagama (1365) karangan Mpu Prapanca menyebutkan, Tanjungpura adalah salah satu wilayah yang tunduk pada Majapahit. Sedangkan dalam Kronik Tiongkok, Tanjungpura juga sering dituliskan Tanjung Wu-Lo dimana kerajaan ini sering disinggahi oleh pedagang-pedagang dari negeri itu. Tome Pires, penjelajah Portugis dalam bukunya Suma Oriental menyebutkan Tanjungpura sebagai negeri yang kaya, mengandung emas, intan, dan tanah yang subur. Akan tetapi tidak sedikit pula naskah yang menuliskan Tanjungpura untuk seluruh wilayah Kalimantan.

Tentang kapan Tanjungpura berdiri hingga sekarang belum diketahui secara pasti karena minimnya sumber-sumber. Dwi Cahyono, sebagaimana dikutip oleh Risa Herdahita Putri dalam Jawa Mencengkram Kalimantan (historia.id), menyebutkan Tanjungpura sudah menjadi wilayah kerajaan Singasari sekitar tahun 1292 pada masa Kertanegara. Waktu itu Tanjungpura masih bernama Bakulapura. Kemudian saat Singasari runtuh dan digantikan Majapahit, Mahapatih Gadjah Mada dalam Sumpah Palapanya menyebutkan Tanjungpura sebagai salah wilayah yang harus ditaklukkan.

Tanjungpura sendiri memang sangat lekat dengan Kerajaan Majapahit. Tidak hanya dalam Kakawin Negarakretagama, nama Tanjungpura juga kembali disebut dalam Prasasti Waringin Pitu yang dibuat pada tahun 1447 M. Prasasti itu berisi empat belas nama-nama wilayah yang dikuasai Majapahit, salah satunya adalah Tanjungpura. Hasan Djafar, sebagaimana yang juga dikutip oleh Risa Herdahita Putri mengungkapkan, (penguasa) keempatbelas wilayah  Majapahit dalam Prasasti Waringin Pitu secara hierarkis adalah para kerabat raja yang punya jabatan Paduka Bhatthara. Masih menurut Hasan Djafar, penguasa Tanjungpura ketika itu ialah Dyah Suragharini yang menurut kitab Pararaton masih menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya.

Yudo Sudarto dalam Catatan Warisan Budaya di Kerajaan Tanjungpura (2010), menyebutkan raja pertama Tanjungpura ialah seorang bangsawan bernama Prabu Jaya dari Majapahit yang menikah dengan Putri Raja Ulu Aik antara tahun 1350-1400 M. Sedangkan raja kedua adalah Baparung 1400-1417, dan ketiga adalah Panembahan Karang Tanjung 1431-1501. Sedangkan Gusti Mhd. Mulia dalam Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) secara berturut-turut penguasa Tanjungpura ketika masih kuatnya agama Hindu di Nusantara yakni; Brawijaya (1454-1472), Bapurung (1472-1487), dan Karang Tanjung (1487-1504).

Menariknya, catatan-catatan sejarah yang ada juga seakan sinkron dengan keberadaan situs Candi Negeri Baru. Negeri Baru diduga kuat merupakan pusat Kerajaan Tanjungpura pertama yang kini dikenali dengan nama Benua Kayong (kecamatan). Pusat kerajaan atau ibukota lazimnya tidak jauh dari sungai atau sumber mata air. Hal ini senada pula dengan yang diungkapkan oleh Bambang Sakti Wiku Atmojo bahwa sekitar 150 meter dari Candi Negeri Baru merupakan aliran Sungai Pawan yang cukup besar. Di sekitar ekskavasi candi juga ditemukan fragmen-fragmen yang mengindikasikan adanya aktvitas masyarakat atau bahkan perumahan penduduk seperti pecahan-pecahan keramik yang diduga dari masa Dinasti Yuan 13-14 M, seperti pecahan piring, mangkok, dan buli-buli (wadah kecil). Tidak ketinggalan terdapat juga batu mirip pecahan Lingga yang dikeramatkan penduduk.

Hipotesa Negeri Baru pernah menjadi pusat Tanjungpura dikuatkan dengan adanya makam-makam kuno. Sekitar 50 meter dari Negeri Baru terdapat makam Pangeran Iranata, yang dianggap sebagai penguasa setempat pertama yang memeluk Islam. Kemudian di jarak 2 s.d 4 km terdapat dua komplek makam kuno yang dinamakan makam Keramat Tujuh dan Keramat Sembilan. Menariknya nisan yang terdapat pada makam tersebut, bentuk dan ragam hiasanya identik dengan yang ada di Trowulan yang dulunya adalah ibukota Kerajaan Majapahit. Sepemantauan penulis, di radius 4 km dari Negeri Baru juga menjadi posisi Keraton Kerajaan Matan Tanjungpura yang masih ada hingga sekarang.

Yudo Sudharo juga menambahkan di Candi Negeri Baru juga pernah ditemukan lumpang (lesung) dari bahan batu andesit. Di struktur bata merah juga dapat dilihat adanya bentuk kaki arca. "Struktur bangunan memang nampak seperti candi, namun hampir 3/4 bagiannya sudah hilang", pungkasnya. Yudo juga berpendapat perihal nama Tanjungpura, "bisa jadi nama Tanjungpura adalah asal muasal nama Tanjung yang disitu ada pura atau candi". Melihat dari bentuk dan struktur candi yang terbuat dari batu bata merah boleh jadi Negeri Baru mirip dengan candi-candi yang ada di Jawa Timur.

Sejauh ini, Negeri Baru adalah satu-satunya candi yang ditemukan di Provinsi Kalimantan Barat dan penelitiannya masih terus berjalan.

Penulis: Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment