R. Muslimin Nalaprana, Dari Demang Hingga Volksraad

Raden Muslimin Nalaprana (paling kanan, berkopiah) dalam sebuah sesi foto dengan
seluruh anggota Volksraad  di Batavia. (Sumber: Kesadaran, 1940)


Agar dianggap lebih memperhatikan suara kaum Bumiputera, Gubernur Jenderal J.P van Limburg Stirum mengusulkan membentuk Volksraad atau Dewan Rakyat pada 1916. Volksraad beranggotakan orang-orang pribumi, golongan timur asing, dan golongan Eropa (Belanda). Sepanjang sejarahnya hingga 1942, perwakilan Borneo Barat hanya Raden Muslimin Nalaprana yang pernah merasakannya.


Tidak meratanya perwakilan dalam keanggotaan Volksraad bukanlah suatu yang mengherankan. Sebagai lembaga yang dibuat 'setengah hati' oleh pemerintah kolonial, pemilihan anggota Dewan Rakyat Hindia Belanda ini diselenggarakan secara tidak langsung. Rakyat yang memiliki hak pilih pun tidak banyak, hanya kalangan-kalangan elit tertentu yang sebagian besar justru didominasi orang Belanda. Sebagai contoh, pada awal pembentukannya pada Mei 1918, Volksraad memiliki 39 anggota dimana 19 plus 1 ketua  dipilih langsung oleh Gubernur Jenderal.

Di tahun-tahun berikutnya keanggotaan Volksraad dari kalangan pribumi terus mengalami peningkatan, meskipun yang bisa ditetapkan menjadi anggota dewan itu masih kental dengan campur tangan politis. Akan tetapi dalam praktiknya Volksraad lebih kepada suatu dewan pemberi nasihat saja kepada pemerintah kolonial. Barulah pada tahun 1927 Volksraad juga memiliki tugas untuk menyusun suatu Undang-undang. Di sisi lain Gubernur Jenderal juga memiliki hak veto terhadap segala rancangan Undang-undang yang dibuat oleh Volksraad.

Anggota-anggota Volksraad sendiri berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pengusaha, pegawai pemerintah, hingga dari kalangan partai politik (yang diizinkan) seperti H. Agus Salim dari PSI. Meskipun anggotanya masih didominasi orang-orang yang berasal dari Pulau Jawa, wilayah lain seperti Borneo Barat tercatat juga pernah memiliki perwakilan dalam Volksraad yakni Raden Muslimin Nalaprana.

Nalaprana bukan orang baru dalam jagat perpolitikan di Borneo Barat di era kolonial. Ia menjadi ketua organisasi Persatuan Anak Borneo (PAB) yang didirikan pada 28 Mei 1939. Nalaprana dikenal sebagai salah satu orang terdidik di Kalimantan Barat kala itu, keturunan bangsawan Kesultanan Sambas yang dapat menempuh pendidikan di Holland Inlandsche School (HIS) di Sambas. Setelah lulus HIS ia melanjutkan ke sekolah pamong praja OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). Karirnya dimulai dengan pengabdiannya sebagai pegawai kantor pemerintah, hingga akhirnya saat menjadi ketua PAB ia sudah sampai pada jabatan Demang (setingkat kepala distrik) Pontianak.

Koalisi Politik
Dana Listiana dalam Wacana Nasionalisme Dalam Pers Kalimantan Barat pada Masa Pergerakan Kebangsaan, mengungkapkan PAB adalah organisasi bentukan Pemerintah Kolonial yang bertujuan membendung arus pemikiran nasionalis, terutama terhadap keluarga kerajaan-kerajaan di daerah itu. Pemerintah Kolonial menyadari perkembangan Partai Indonesia Raya (Parindra) dengan ide-ide nasionalismenya yang pesat telah mendapat simpati dari golongan bangsawan kerajaan. Hal ini tentunya perlu dikhawatirkan dan harus segera dicegah. Untuk itulah PAB dibentuk untuk menandingi Parindra dengan merekrut orang-orang dari kalangan ningrat, penguasa tradisional, orang-orang Belanda, hingga pegawai pemerintah (ambtenar). Inilah sebabnya Raden Muslimin Nalaprana yang diberi tugas sebagai ketua PAB, karena latar belakangnya tersebut.

Meskipun begitu lambat laun ia sadar akan maksud pemerintah yang akan membenturkan PAB dan Parindra, untuk itu Nalaprana mengajak tokoh-tokoh politik eks-Digulis bergabung dalam PAB seperti Gusti Sulung Lelanang dan Haji Rais Abdurrachman. Tidak sedikit pula pengurus PAB tersebut juga menjadi anggota Parindra. Hasilnya, PAB justru menjadi organisasi yang bersama-sama Parindra melawan pemerintah kolonial dalam selubung kooperatif. Soedaro dkk, dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat (1979) mengungkapkan, koalisi ini terus terjalan baik, ketika Belanda mencalonkan Nalaprana sebagai anggota Volksraad mewakili Kalimantan, Parindra justru mendukungnya. Usaha Belanda untuk melakukan divide et empera antara kedua organisasi ini pun gagal. Raden Muslimin Nalaprana menjadi anggota Volksraad dari tahun 1940 hingga 1942. Karena minimnya catatan, tidak diketahui seberapa jauh kiprahnya dalam dewan rakyat tersebut. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, ia kembali ke Kalimantan Barat. Ia masih sempat aktif dalam organisasi Nissinkai bentukan pemerintah pendudukan Jepang. Sayangnya, pada Juni 1944 ia menjadi salah satu korban yang dibunuh Jepang dalam insiden mandor.

Penulis: M. Rikaz Prabowo


0 comments:

Post a Comment