Sultan Hamid II didampingi pembelanya memasuki ruang sidang MA Februari 1953. (Sumber: Persadja) Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) ...

Menyingkap Fakta Persidangan Sultan Hamid II

Sultan Hamid II didampingi pembelanya memasuki ruang sidang MA
Februari 1953. (Sumber: Persadja)

Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Jend. (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono membuat geger publik Indonesia, terutama masyarakat Pontianak. Sebab musababnya, ia berpendapat bahwa Sultan Hamid II (SH II) dari Pontianak tidak layak menjadi Pahlawan Nasional karena seorang penghianat. Demikian dalam keterangannya di sebuah video Channel Youtube Agama Akal TV tanggal 11 Juni 2020 berjudul "Pengkhianat kok mau diangkat jadi Pahlawan?". Akibatnya, komentarnya itu menuai sejumlah kecaman, terutama dari kalangan ahli waris, keluarga, dan kerabat Kesultanan Pontianak.  

Keterangan Hendropriyono itu menanggapi ramainya suara-suara di linimasa terkait wacana memberikan gelar pahlawan nasional bagi Sultan Hamid II. Pria bernama lengkap Syarif Abdul Hamid II Alkadrie lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Beliau menjadi Sultan Pontianak ketujuh dengan mengambil gelar Sultan Hamid II pada Oktober 1945. Pria keturunan Arab dari mendiang ibunya ini menjadi salah satu tokoh Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan militer di Akademi Militer Kerajaan Belanda di kota Breda. Sempat diinternir oleh pasukan Jepang antara tahun 1942-1945. Setelah kemerdekaan dan dibebaskan Hamid kemudian pulang ke Pontianak bersama tentara sekutu dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak setelah ayahnya, Sultan Syarif Muhammad dan kakak-kakaknya gugur menjadi korban pembantaian bala tentara Jepang dalam Peristiwa Mandor 1944. Selain menjadi Sultan Pontianak, sejumlah jabatan pernah ia pegang antara lain; Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (1947-1950), Ketua Majelis Permusyawaratan Federal/BFO (1949), Menteri Negara Kabinet Mohammad Hatta RIS (1949-1950), dan Ketua Panitia Perancang Lambang Negara (1950). 

Sultan Hamid II juga tercatat sebagai satu-satunya orang Indonesia yang pernah menduduki pangkat tertinggi dalam ketentaraan Hindia Belanda (KNIL), yakni Mayor Jenderal. Ia juga dikenal sebagai Pengawal Pribadi Ratu Juliana di Indonesia. Sebagai pemain penting dalam babakan waktu Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1950, ia dikenal memiliki peranan penting dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda pada Agustus-November 1949. Hamid mewakili negara-negara dan daerah-daerah Indonesia di luar kekuasaan Republik Indonesia yang ketika itu diwakili oleh Mohammad Hatta. Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila yang digunakan hingga sekarang adalah jasa lain Sultan Hamid II yang begitu monumental. Atas jasaya itulah ia kemudian diajukan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Akan tetapi gelar pahlawan nasional bagi dirinya itu tidak juga kunjung diberikan oleh Pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Sosial pernah membeberkan alasan-alasan mengapa Sultan Hamid II belum dapat diangkat sebagai pahlawan nasional dalam surat Nomor 12/3/PB.05.01/01/2019 tertanggal 22 Januari 2019 yang pada intinya antara lain: pertama, Sultan Hamid II dianggap berkonspirasi bersaa Westerling dalam Peristiwa APRA 23 Januari 1950 di Bandung, kedua, Sultan Hamid II adalah orang yang turut serta mendesain lambang negara bersama timnya dan memenangkan sayembara, ketiga, Sultan Hamid II juga berkonspirasi bersama Westerling dalam menjatuhkan Sultan Hamengkubuwono IX (Menteri Pertahanan) pada 24 Januari 1950, sehingga pada 1953 dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dan masih inkrah.

Sebab-sebab di atas inilah yang (barangkali) menjadi dasar AM. Hendropriyono mencap Sultan Hamid II sebagai penghianat. Di lain sisi, masyarakat Indonesia juga belum banyak yang mengetahui tentang peristiwa yang menyeret nama Sultan Hamid II tersebut. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis mencoba membuat resume atau poin-poin penting terkait jalannya persidangan yang dialami Sultan Hamid II pada tahun 1953. Fakta-fakta yang dipaparkan dalam persidangan ini bersumber pada buku Proces Peristiwa Sultan Hamid II, yang disusun Persatuan Djaksa-Djaksa Seluruh Indonesia, Penerbit Fasco Jakarta tahun 1955. Sebagai pengantar, Majelis Hakim sidang ini terdiri dari Mr. Wirjono Prodjodikoro (ketua), Mr. Satochid Kertanegara dan Mr. Hussein Tirtaamidjajaj (anggota),  Jaksa Agung R. Soeprapto, dan Pembela (pengacara) Sultan Hamid II Mr. Surjadi.

  1. Pengadilan Pertama dan Terakhir. SH II telah ditangkap oleh pihak berwajib sejak 5 April 1950, namun sidang terhadap dirinya baru terlaksana pada 25 Februari 1953. Persidangan terhadap dirinya pun diselenggarakan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan pertama dan terakhir bagi kasusnya. Mahendra P dalam Sejarah Yang Hilang (2015), Sultan Hamid II harus menunggu kurang lebih tiga tahun agar kasusnya dapat disidangkan. Menjawab lamanya waktu tunggu tersebut, menurut Mahendra lamanya penyidangan disebabkan karena kasus ini merupakan pengalaman pertama bagi lembaga Mahkamah Agung yang baru dibentuk. (hlm. 153). Sedangkan dimata Jaksa Agung, dalam buku Proces Peristiwa Sultan Hamid II, keterlambatan waktu untuk menyidangkan kasus SH II disebabkan sulitnya mengumpulkan bahan-bahan untuk memberi gambaran kejadian peristiwa yang berpengaruh besar itu. (hlm. 139). Sedangkan Vinsensius sebagaimana yang ia kutip dari Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Soeprapta dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1959 karangan Iip D. Yahya (2004), menyebutkan alasan ketiadaan hukum merupakan penyebab lamanya SH II dibawa ke meja hijau. Kala itu hanya ada UU yang dapat menjerat Menteri atau bekas Menteri yang melakukan ambsmidriff (penyelewangan jabatan), sedangkan tuduhan pada SH II tidak masuk dalam unsur tersebut. Pemerintah RIS kemudian mencoba menyusun suatu UU Federal untuk menjerat SH II. Akan tetapi sebelum UU itu selesai, RIS telah dibubarkan pada 17 Agustus 1950. (hlm. 66, Sultan Hamid II Berwajah Ganda Dalam Karir Politiknya di Indonesia, penelitian Universitas Sanata Dharma, 2015). Di luar apa yang telah disebutkan itu, tentu saja ada kekuatan politik yang menjadi faktor lain lamanya sidang itu diselenggarakan. 
  2. Menghadapi 4 Tuntutan. Sidang pertama terhadap Sultan Hamid II yang dimulai sekitar pukul 9 pagi 25 Februari 1953 itu diawali dengan pembacaan tuntutan oleh Jaksa Agung R. Soeprapto dengan 4 tuntutan, yakni: Primair, atau yang pertama SH II dituntut karena terlibat gerombolan APRA-Westerling (dalam hal ini kejadian tanggal 23 Januari 1953 di Bandung), subsidair atau tuntutan yang kedua dimana SH II diduga membujuk dan mempengaruhi Westerling dan Frans Najoan untuk menyerang Sidang Dewan Menteri RIS 24 Januari 1950 di Pejambon, menawan semua menteri, dan menembak mati Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Meester Ali Budiarjo, dan Kepala Staf TNI Kolonel T.B. Simatupang. Subsidair Lagi atau tuntutan yang ketiga dimana SH II memberikan informasi detail Sidang Dewan Menteri RIS diantaranya memberikan denah tempat duduk para menteri agar dapat menjalankan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam tuntutan Subsidair. Lebih Subsidair Lagi atau tuntutan yang keempat yakni SH II dianggap telah mencoba atau mempengaruhi Westerling dan Frans Najoan untuk melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu dengan menembak mati ketiga pejabat penting Kementerian Pertahanan sebagaimana disebutkan dalam dakwaan subsidair.  Untuk itu SH II diancam dengan pidana sebagaimana dalam pasal-pasal KUHP yakni 108 (1) No. 2 jo., 108 (2), 110 (2) No. 1, 110 (2) No. 2, 163 bis (1), jo. Staatblad 1945 No. 135.
  3. Mengakui 1 Tuduhan. Setelah Jaksa Agung membacakan tuntutan, SH II hanya mengakui tuntutan keempat. Dalam persidangan ia mengakui 100% telah memerintahkan Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri dan membunuh tiga pejabat penting Kemenhan yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Ali Budiardjo, dan Kolonel T.B Simatupang dan menawan menteri-menteri lainnya (hlm. 50). SH II beralasan dakwan subsidair dan subsidair lagi masih berhubungan dengan dakwaan primair yang ia tolak keterlibatannya. 
  4. Silang Pendapat. Akan tetapi saat Hakim Mr. Satochid Kartanegara mengajukan pertanyaan perihal ada tidaknya pemufakatan kepada anak buah sebelum penyerbuan, memberitahu caranya penyerbuan, dan memberikan gambar situasi atau denah tempat duduk para menteri, Sultan Hamid II justru mengakui semua pertanyaan tersebut. Frans Najoan yang ketika itu hadir di persidangan mengungkapkan keterangan sebagai saksi juga membenarkan SH II memberikan gambar ruang sidang Dewan Menteri RIS dan gambar denah tempat duduk semua menterinya. (hlm. 83). 
  5. Syarat Oppercomando Tidak Pernah Terpenuhi. Pada 22 Desember 1949 setelah kembali dari Yogyakarta, Westerling bertemu dengan SH II. Pada intinya Westerling menyatakan tidak senang dengan pengangkatan Sukarno sebagai Presiden RIS. Westerling juga mengungkap telah membentuk Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) berkekuatan 15000 pasukan dan menawarkan oppercomando kepada SH II, serta merencanakan menyerbu Bandung dimana hal ini ditentang oleh sang Sultan (hlm. 52). Awalnya SH II menolak tawaran oppercomando tersebut, namun pada 10 Januari 1950 setelah ia merasa kecewa terhadap Pemerintah RIS dan Menteri Pertahanan, ia memanggil Westerling di kediamannya di Hotel Des Indes menanyakan perihal oppercomando yang pernah ditawarkan 22 Desember 1949. SH II bersedia menerima oppercomando alias menjadi Panglima APRA asal dapat memenuhi syarat yang diajukan olehnya, yakni Pasukan APRA harus orang Indonesia saja, memberitahu letak kekuataan dan persenjataan serta dislokasi pasukan, serta mengetahui sumber keuangan APRA. Belakangan hari hingga Peristiwa Bandung 23 Januari 1950 meletus, syarat itu tidak sanggup dipenuhi Westerling. (hlm. 54)
  6. Sempat Memberitahu Hatta. SH II menyebutkan dalam persidangan bahwa dirinya telah memberitahu soal bahaya pergerakan Westerling kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta, yang ketika itu bersama-sama bertolak ke Belanda untuk menerima penyerahan kedaulatan yang direncanakan 27 Desember 1949. SH II menyarankan Hatta untuk mengusir Westerling, namun tidak menyebutkan rencana aksi di Bandung. Hatta menerangkan persoalan Westerling sudah dibicarakan kepada Komisaris Agung Belanda di Jakarta. Menurut Hatta, pihak Belanda tidak dapat menindak Westerling karena belum memiliki bukti-bukti yang nyata akan bahaya yang akan dijalankan 'Si Turco' (nama panggilan Westerling). Hatta juga ragu Westerling mampu membentuk dan membiayai 15000 pasukan APRA. (hlm. 53)
  7. Menjaga Keutuhan. SH II mengungkapan apabila dirinya berhasil menjadi Panglima APRA, ia akan mencegah segala macam tendensi untuk menghapuskan negara-negara bagian secara inkonstitusional. Apa yang ia lakukan sebenarnya hanya untuk menjaga keutuhan RIS dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan UUD RIS. (hlm. 55 dan hlm. 91). Ia sendiri bukan pembela mati-matian bentuk Federal. SH II menyadari arus-arus dan gerakan-gerakan agar Indonesia menjadi negara kesatuan menggema ketika itu. Ia tidak mempermasalahkan Indonesia berubah menjadi negara kesatuan asal perubahan itu dikehendaki rakyat dengan jalan referendum atau proses melalui parlemen (hlm. 67)
  8. Tidak Mengabarkan Peristiwa Bandung di Sidang Kabinet. SH II sebenarnya mengetahui telah terjadi serangan di Bandung pada hari itu juga lewat Sidang Kabinet 23 Januari 1950 yang ia hadiri (diperkirakan sidangnya sebelum petang hari). Dengan demikian saat Sidang Kabinet berlangsung semestinya SH II telah mengetahui siapa orang dibalik peristiwa yang menggugurkan Letnan Kolonel Lembong tersebut. (hlm. 56-57)
  9. Marah 30 Menit. Pada 24 Januari 1950, SH II kedatangan Westerling dan Frans Najoan, sehari setelah Peristiwa Bandung. SH II tidak menyangka Westerling bakal mendatangi dirinya. Singkat kata ia memarahi dan memaki kedua orang tersebut kira-kira 30 menit karena bertindak sendiri telah menyerang Bandung dan ia pun tidak menyetujuinya ditengah tawaran oppercomando yang belum tuntas. Menurut SH II penyerbuan ke Bandung dipandang dari sisi politis adalah kekalahan bagi gerakan (hlm. 83). Dipuncak kemarahannya itulah SH II memberi perintah Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Sidang Dewan Menteri yang sedianya dilaksanakan pada jam 7 malam di eks Gedung Raad van Indie Pejambon. (hlm. 57-58)
  10. Minta Ditembak di Kaki. Didalam persidangan, sedianya apabila rencana penyerbuan itu berhasil SH II akan mendapatkan sebutir timah panas di kakinya yang dilepaskan oleh para penyerbu. Hal ini sebagaimana permintaannya pada Westerling dan Frans Najoan yang bertujuan sebagai sandiwara seolah-olah beliau juga menjadi korban gerombolan Westerling. Setelah rencana penyerbuan itu berhasil, SH II yang di setting sebagai korban akan meminta persetujuan Presiden dan Wakil Presiden agar dibolehkan membentuk kabinet baru dimana ia duduk sebagai Menteri Pertahanan (hlm. 58)
  11. Membatalkan Setelah Mandi. Setelah memberi perintah kepada Westerling dan Frans Najoan, SH II mengaku mencoba mengendalikan emosinya. Setelah tenang ia memutuskan untuk mandi dan akhirnya muncul keinsyafan dan menyadari bahwa perbuatannya tersebut tidak patut. (hlm. 184). Ia kemudian memerintahkan  pembatalan melalui ajudannya Van der Heide. Akan tetapi karena Heide tidak mengetahui dimana posisi Westerling dan Frans Najoan pasca meninggalkan kediaman SH II, perintah pembatalan itu tidak pernah tersampaikan. (hlm. 64)
  12. Minta Dikirimkan ke Bandung. Pasca peristiwa Bandung 23 Januari 1950, Sultan Hamid II sempat bertemu dengan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dan meminta dirinya untuk dikirimkan ke Bandung untuk membereskan APRA. Atas permintaan itu, HB IX menjadi curiga. Permintaan SH II itu kemudian ditolak oleh HB IX. (hlm. 98).
  13. Menginginkan Kursi Menteri Pertahanan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Sultan Hamid II berimpian menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet RIS (hlm. 63). Sayangnya meskipun dirinya termasuk dalam Dewan Formatur Kabinet RIS pada 18 Desember 1949, ia tidak mendapatkan jabatan kementerian yang sepadan. Rekannya yang lain sesama Dewan Formatur Kabinet seperti Mohammad Hatta,  sukses menjadi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Sedangkan Ide Anak Agung Gede Agung rekannya dalam BFO menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Kursi Menteri Pertahanan sendiri jatuh pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya sendiri akhirnya diangkat menjadi Menteri tanpa Portofolio, atau tidak mengepalai suatu departemen. Akan tetapi ia diberi tugas untuk menyiapkan gedung parlemen dan merancang lambang negara dengan gaji Rp. 1000 perbulan. (hlm. 179). 
  14. Sempat Menolak Menjadi Menteri. Jabatan Menteri Pertahanan adalah jabatan yang strategis yang tentu saja meskipun disusun oleh Dewan Formatur, juga harus mendapat persetujuan Presiden Sukarno. Sudah dapat ditebak bahwa peluang SH II untuk menjadi Menteri Pertahanan adalah kecil. Meskipun dirinya lulusan Akademi Militer Belanda plus berpangkat Mayor Jenderal KNIL, apabila mengacu pada kesepakatan KMB tentulah yang dipilih adalah orang dari kalangan TNI sebagai inti APRIS. Dalam hal ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang memang telah menjabat Menteri Pertahanan RI. Presiden Sukarno juga tidak ingin mengambil resiko, menempatkan jenderal KNIL sebagai Menteri Pertahanan yang kala itu dapat menggerakan pasukan APRIS yang berinti TNI. Tentunya, hal ini juga akan menjadi polemik dan mengundang protes dari unsur TNI maupun laskar-laskar republik. Oleh karena SH II telah mengetahui ia tidak dijadikan Menteri Pertahanan RIS, ia sempat menolak menerima jabatan menteri apapun karena menginginkan menjadi Komisaris Tinggi Indonesia di Den Haag. Akan tetapi setelah mendapatkan desakan dari kawan-kawannya di BFO dan melihat keadaan Indonesia, SH II akhirnya mau menerima jabatan Menteri Negara. (hlm. 121 dan 134)
  15. Dua Kali Kecewa Pada TNI. Suatu ketika dalam persidangan, SH II mengaku kekecewaannya terhadap TNI menjadi salah satu penyebab dirinya terdorong untuk memerintahkan penyerbuan 24 Januari 1950. Pertama, kekecewaan itu perihal keluhan kurang lebih 30 perwira KNIL (diantaranya Kolonel Sugondo) yang pada intinya hanya dikaryakan dalam tugas administratif alias dibelakang meja tanpa diberi kuasa komando dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedua, SH II kecewa pada cara-cara TNI menempatkan pasukannya di Kalimantan Barat karena menurutnya penyelesaian eks-KNIL di wilayah itu belum selesai. Kepada Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan telah disampaikan agar masalah penempatan TNI di Kalimantan Barat menunggu ia pulang dari Belanda. (hlm. 59). Kekecewaan SH II yang pertama pada TNI semestinya dipahami bahwa TNI adalah inti daripada APRIS, hal ini sebagaimana tercantum dalam kesepakatan KMB dan UUD RIS. 
  16. Beda Penafsiran. SH II menyadari bahwa TNI memang menjadi inti dari APRIS. Dalam pleidoinya, kesepakatan ini tercipta berdasarkan Konferensi Antar Indonesia antara BFO dan RI, dimana telah dicapai persetujuan bahwa bentuk kerjasama di lapangan ketentaraan menurutnya dikerjakan dengan persatuan yang seerat-eratnya. (hlm. 175-176). Dengan demikian SH II mengharapkan opsir-opsir KNIL ditempatkan sebagaimana mestinya dalam APRIS. Akan tetapi tindakan Menteri Pertahanan hanya sewajarnya saja sesuai kesepakatan KMB menempatkan para opsir KNIL itu. Ditempatkan di belakang meja dalam APRIS, tanpa kuasa komando. 
  17. Pengiriman TNI Juga Keputusan Kabinet. Perihal pengiriman TNI ke Kalimantan Barat menjadi salah satu isu serius yang juga mendorong Sultan Hamid II khilaf memerintah Westerling dan Najoan untuk menyerang Sidang Dewan Menteri RIS 24 Januari 1950. Di berbagai buku dan sumber, disebutkan bahwa pengiriman TNI ke Kalimantan Barat ialah atas perintah Menteri Pertahanan Sri Sultan HB IX tanpa meminta izin pada Sultan Hamid II selaku Kepala Daerah DIKB. Akan tetapi Sri Sultan HB IX dan Kolonel T.B Simatupang dalam kesaksiannya di persidangan mengungkapkan, bahwa pengiriman itu mengalami penundaan dimana kabinet akan terlebih dahulu melaksanakan sidang mengenai masalah dislokasi. Tidak lama kemudian kabinet memutuskan kewenangan dislokasi (pengiriman/pergeseran) pasukan berada di tangan Menteri Pertahanan. (hlm. 96 dan 103) Jadi, pengiriman TNI ke Kalimantan Barat sejatinya sudah menjadi keputusan kabinet dan sedikit banyak Sultan Hamid II mengetahui hal ini karena termasuk menteri dalam kabinet. Sejatinya, pengiriman TNI ke Kalimantan Barat sudah sesuai dengan kesepakatan KMB dimana TNI menjadi inti dari APRIS, dan KNIL akan dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan di Kalimantan Barat belum terdapat satuan TNI untuk dilebur bersama KNIL (dan tentara federal).
  18. Sebatas Memberitahu. Ketidaksenangan terhadap cara-cara Menteri Pertahanan mengirimkan TNI ke Kalimantan Barat, menjadi salah satu memori yang diungkapkan dalam persidangan 4 Maret 1953. Ketidaksenangan itu ditafsirkan dari tidak adanya komunikasi dari Menteri Pertahanan ke dirinya, meskipun ia mengakui bahwa masuknya TNI ke wilayah itu tidak perlu izinnya (karena menjadi kewenangan penuh Menteri Pertahanan). Singkatnya, SH II merasa tidak diberitahu soal pengiriman TNI. Saat ia kembali dari negeri Belanda, sekitar awal Januari 1950 ia telah menyaksikan TNI telah ada di wilayahnya. Menurut catatan M. Yanis dalam Djampea: Novel Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat (1998), menyebutkan per tanggal 1 Januari 1950 TNI telah membuka markasnya di Pontianak di bawah pimpinan Mayor dr. Suharsono, dengan kekuatan beberapa perwira dan prajurit pendamping. Kehadiran Mayor dr. Suharsono itupun hanya sebatas tugas-tugas persiapan pendaftaran laskar-laskar perjuangan menjadi tentara. Menanggapi hal ini, Kolonel T.B Simatupang dalam kesaksiannya tanggal 4 Maret 1953, menerangkan telah mengirim Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala untuk memberitahukan kepada Kepala Daerah setempat perihal akan mendaratnya pasukan TNI. (hlm. 103). Hal ini selaras dalam buku Tanjungpura Berjuang (1971), bahwa pada 8 Januari 1950 telah mendarat Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala bersama 10 anggota TNI lainnya untuk menemui Pemerintah DIKB. Jadi secara prinsipnya, telah dilakukan pemberitahuan kepada SH II. 
  19. Hanya 200 Prajurit. SH II dalam pleidoinya menjelaskan memiliki skema yang telah ia rancang perihal penyambutan TNI di wilayahnya. Ia telah mempersiapkan satu kompi eks-KNIL dan 1 kompi Dayak untuk masuk ke dalam APRIS. Ditengah masalah reorganisasi yang belum tuntas itu, ia mendapat kabar akan ada 1000 anggota TNI yang akan mendarat dalam tempo satu minggu. Hal inilah yang menurut hemat SH II perlu dibicarakan/dirunding dengan Kementerian Pertahanan, mengingat tangsi-tangsi militer yang ada masih dipenuhi tentara KNIL (hlm. 170-171). Dilain hal, dalam pleidoinya ia juga menggaris bawahi bahwa wilayahnya merupakan wilayah aman yang tidak pernah diadakan jam malam sehingga menyiratkan kemunculan TNI belum terlalu perlu apalagi dengan jumlah yang begitu besar. Menurut catatan M. Yanis dalam buku yang telah disebutkan di atas, pada 16 Januari 1950 dengan menggunakan kapal KPM Kaimana, telah mendarat sepasukan TNI dipimpin oleh Mayor Firmansyah sebanyak 200 prajurit. Bukan sejumlah 1000 prajurit seperti yang dikhawatirkan SH II. 
  20. Suasana Politik DIKB. Hal lain yang mendorong dirinya melakukan kekhilafan dengan memerintahkan penyerangan Sidang Dewan Menteri 24 Januari 1950 dipicu karena perasaan amarah dan kejengkelannya saat berada di Pontianak. Perasaan itu muncul setelah ia mengalami sendiri kuatnya hasutan-hasutan yang merugikan dirinya. Selain itu desakan-desakan untuk menghapuskan negara-negara bagian dalam hal ini penghapusan DIKB juga sangat santer. (hlm. 181)
  21. Surat Kepada Ratu Juliana. Fakta lain yang terungkap dalam persidangan ialah SH II pernah mengirim surat kepada Ratu Juliana (Ratu Belanda) sebagai Ketua Uni Indonesia-Belanda tertanggal 5 Maret 1950. Ia berpendapat saat itu hanya Ratu Juliana sebagai kepala negara Kerajaan Belanda yang dapat menolongnya untuk mempertahankan UUD RIS. (hlm. 62)
  22. Selalu Membawa Senjata Api. Hal menarik yang terungkap dalam persidangan ialah turut diperlihatkannya barang bukti senjata api milik SH II. Di depan Majelis Hakim, ia mengakui senjata itu miliknya karena statusnya sebagai Perwira KNIL dan Kepala Daerah. Senjata api itu selau ia bawa saat mengadakan perjalan-perjalanan (hlm. 68).
  23. Sekutu-sekutu Westerling. Frans Najoan dalam pemeriksaan pengadilan tanggal 28 Februari 1950 mengungkapkan gerakan Westerling memiliki hubungan dengan Darul Islam pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Orang-orang lain yang disebutkan oleh Najoan mendukung aksi APRA adalah Van Der Plas di Jawa Timur, dan Dr. Tengku Mansur yang merupakan Walinegara Negara Sumatera Timur. Sementara dari kalangan militer Najoan menyebutkan keterlibatan Kolonel Surjosantoso. Belum lagi didukung oleh komandan KNIL disekitar Bandung yang bersimpati padanya, termasuk dari kalangan pasukan elit Korps Speciale Tropen (KST). Adapula nama Komisaris Polisi Asbeck Brusse Komandan Veldpolitie Jakarta yang turut mendukung gerakan APRA, ia bahkan menjadi tokoh penting yang memiliki akses kekuatan pasukan untuk APRA di Jakarta. Lebih jauh lagi, Westerling juga memiliki kontak dengan Karwur dan Tuwilan yang memiliki 400 orang-orang KNIL yang siap melakukan gerakan serupa di Negara Indonesia Timur. Terakhir, pihak lain yang diduga menyokong gerakan Westerling adalah Pemerintah Negara Pasundan.  (hlm. 70-73 dan 88)
  24. Frans Najoan Ternyata Agen. Keterlibatan Frans Najoan dalam Gerakan APRA (Westerling) sebenarnya karena sedang menjalankan tugas. Dalam keterangannya ia ditugaskan oleh Komisaris Polisi Mohammad Jasin untuk memasuki organisasi yang dipimpin Westerling tersebut, dan kemudian melaporkannya kepada Kepala NEFIS (intelejen Belanda) Overste Agerbeek. Adapun terkait tindakannya yang terlalu dalam di Gerakan APRA saat ditanyakan oleh Hakim, Najoan berkilah hal itu semata agar dirinya mendapat kepercayaan dari Westerling. Sehingga dapat lebih dalam menggali informasi terkait gerakan tersebut. Belakangan hari saat persidangan berlangsung, keterangan dari Najoan justru menjadi suatu yang mempersulit posisi SH II. (Hlm. 87)
  25. Ingin Kalimantan Barat Merdeka.  Dalam surat kepada istrinya tertanggal 2 Maret 1950 yang turut dibacakan saat persidangan, terungkap bahwa Sultan Hamid II berencana untuk memerdekakan Kalimantan Barat menjadi negara sendiri yang independen. Hal ini setelah ia kecewa melihat negara-negara bagian dalam RIS tumbang satu persatu. Tentunya, keinginan itu ia tinjau terlebih dahulu, wait and see, apabila Ide Anak Agung Gede Agung memproklamirkan Negara Indonesia Timur (NIT) berdiri sendiri, maka ia pun akan melakukan hal yang sama pada DIKB. Apabila DIKB merdeka, maka ia akan mencari kontak dengan Kerajaan Inggris dan meminta trusteeship kepada PBB. (hlm. 120)
  26. Presiden RIS Tidak di Jakarta. Diketahui dalam persidang bahwa Presiden Sukarno pagi hari telah meninggalkan Jakarta untuk bertolak ke India pada 23 Januari 1950, selisih beberapa jam setelah penyerbuan di Bandung meletus (hlm. 124).
  27. Mewanti-wanti Bahaya Komunisme. SH II memandang komunisme sebagai ideologi yang bahaya sehingga perlu diantisipasi. Menurutnya apabila RIS tenggelam (bubar), maka akan memudahkan masuknya komunisme di Indonesia. (hlm. 116). Dalam pleidoinya juga disebutkan, bahwa bahaya riil komunisme di Indonesia yang makin meluas mendorongnya perlu bertindak demi menyelamatkan RIS.(hlm. 180).
  28. Membetulkan Kesalahan. Dalam petikan requisitoir dari Jaksa Agung, tindakan SH II dianggap memproduktif gerakan Westerling. "Malahan setelah ia berpendapat bahwa Westerling telah bertindak salah, ia memerintah Westerling itu sehari setelah kejadian di Bandung (24 Januari 1950) untuk membetulkan kesalahan. Siasatnya itu dengan memberi perintah mengadakan penyerbuan Dewan Menteri dan melakukan penangkapan dan pembunuhan seperti telah diuraikan di atas." (hlm. 154). Masih ditambahkan dalam petikan itu, Jaksa Agung menilai SH II sebagai Menteri Negara RIS telah melakukan tindakan yang terlampau jauh (tidak pantas) dengan memaparkan prahara politik tanah air ke pihak luar. Dalam hal ini surat kepada Ratu Juliana dan mantan Gubernur Jenderal van Mook. (hlm. 156). Untuk itu Jaksa menuntutnya 18 tahun penjara. (hlm. 159)
  29. Vonis 10 Tahun dan Terbukti Tidak Terlibat APRA. Majelis Hakim pada 8 April 1953 akhirnya menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun kepada Sultan Hamid II. Hakim menilai proses persidangan telah terbukti bahwa SH II melakukan perbuatan sebagaimana yang dalam tuntutan subsidair, lebih subsidair, dan lebih subsidair lagi. Sementara itu tuntutan primair bahwa SH II diduga terlibat APRA di Bandung pada 23 Januari 1950 tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa Sultan Hamid II tidak terlibat pada penyerbuan Bandung. Vonis 10 tahun itu kemudian akan dipotong dengan masa tahanan yang telah ia alami sejak tahun 1950. 
  30. Sempat Mengajukan Grasi. SH II awalnya enggan mengajukan Grasi sebagai satu-satunya jalan agar hukumannya lebih ringan. Mahendra P dalam bukunya yang telah disebutkan di atas mengemukakan, atas permintaan Mohammad Hatta, kolega, dan keluarganya ia mengajukan Grasi kepada Presiden Sukarno tidak lama setelah vonis. Sayangnya permohonan itu tidak berbuah manis, Presiden Sukarno pada tanggal 3 September 1953 lewat surat No. 923/G secara resmi menolak Grasi yang diajukan SH II. Ia pun kemudian menjalani hukumannya itu hingga akhirnya dibebaskan pada 20 Agustus 1958. 
Sultan Hamid II kembali ditangkap oleh pihak berwajib pada Maret 1962 atas tuduhan mempersiapkan kegiatan makar. Dimana penahanan kali ini sangatlah bermuatan politis, tanpa adanya proses pengadilan, serta sengaja dibuat-buat oleh pemerintah yang mendapat bisikan oleh pihak-pihak yang dekat dengan Presiden Sukarno (tahanan politik). Ia baru bebas pada tahun 1966 setelah Orde Lama kehilangan legitimasinya. Atas trauma politik yang ia terima tersebut, ia tidak pernah menyentuh lagi kegiatan politik. Masa tenangnya dihabisi dengan kegiatan usahanya di bidang transportasi udara. Sultan Hamid II wafat di Pontianak pada 30 Maret 1978. 


Penulis: M. Rikaz Prabowo

1 comment: