Balada Pesepeda Zaman Hindia


Pesepeda mulai mendapat sorotan. Ketidakpatuhan oknum pada peraturan lalu lintas menyebabkan kecelakaan pesepeda kerap ditemui. Budaya positif ini mulai dilirik oleh pemerintah untuk ditariki pajak yang juga menuai protes. Setali tiga uang dengan yang terjadi pada masa kolonial dulu khususnya di Pontianak. 


Memang telah dikenal sepeda merupakan alat transportasi andalan kala itu bagi golongan menengah ke bawah. Maklum, sepeda motor belum banyak waktu itu dan tentu saja harganya sangat mahal. Apabila kini sepeda motor merupakan penguasa jalan, lain halnya dahulu yang didominasi oleh sepeda. Dengan jumlah sepeda yang banyak kala itu, beberapa masalah terkait persepedaan juga sering muncul ditengah masyarakat. Seperti yang terekam dalam beberapa berita dalam surat kabar lokal di Kalimantan Barat sebagai berikut.

Sepeda Polisi Tak Berlampu

Dalam sebuah pemberitaan di Koran Warta Borneo 8 November 1924, sebagaimana diberitakan oleh redaktur ada seorang pembaca yang menyampaikan keluh kesahnya terhadap perilaku bersepeda para polisi. Pembaca yang namanya tidak disebutkan itu mengeluh baik Mantri Polisi ataupun Agen Polisi tidak menyalakan lampu sepedanya pada malam hari. "...lantas ia orang naik lereng (sepeda) dengan zonder berlampoe: apa ia orang soedah di wadjibkan boleh berboeat begitoe???" tanya si pembaca. 
Pembaca tersebut sebenarnya melakukan kritik kepada polisi-polisi melalui Warta Borneo. Dengan demikian, menghidupkan lampu sepeda kala itu menjadi suatu peraturan wajib bagi seluruh sepeda  kala itu terutama pada malam hari. 


Melanggar Barikade (Penutup Jalan) 


Koran Warta Borneo edisi 8 November 1924 juga mengabarkan adanya seorang pria Tionghoa yang dijatuhi denda karena melanggar lalu lintas. Berita dengan judul Didenda Seringgit itu memberitakan pada tanggal 29 Oktober 1924 seorang bernama Lim A Kauw didenda oleh Magistraat di Pontianak sebesar f 2.50 karena nekat tetap melewati jalan yang masih dipasang barikade/penutup jalan oleh aparat. "Dihadapan Magistraat, Lim A Kauw mengakoe bahoea waktoe dia kasi djalan lerengnya (sepedanya), dia soeda loepa boeat perhatiken, apa itoe bord (papan barikade) soeda diangkat atawa beloem. Melaenken dia baroe teringat hal itoe, tempo dia ditangkap oleh satoe politie agent", demikian petikan berita tersebut. 

Polisi Melelang Sepeda


Selain pelanggaran lalu lintas oleh pesepeda, banyaknya sepeda yang tidak diketahui pemiliknya sepertinya cukup pula memusingkan aparat kala itu. Sebagai contoh, dalam pengumuman sebagaimana dimuat dalam koran Borneo Barat tanggal 6 Juni 1936 disebutkan polisi akan melakukan penjualan sepeda di kantornya. Tentu saja sepeda-sepeda tersebut bukan armada milik kepolisian. "Pada hari rebo tgl  10 Juni jang akan datang nanti akan didjoeal lelang dengan contant dari beberapa kereta angin (sepeda), jang didapat oleh Politie, tetapi sampai sekarang tida diketahoei jang mempoenjainja", demikian petikan pengumuman singkat tersebut. 

Bersepeda di Taman 
Sebuah kota yang memiliki taman atau alun-alun umumnya difokuskan untuk mereka yang ingin menikmati suasana santai di tengah hiruk pikuk kota. Biasanya ada sejumlah larangan-larangan yang ditentukan oleh pengelola taman seperti soal jam kunjungan, kesusilaan, kesopanan, hingga larangan menggunakan sepeda. Larangan sepeda memasuki taman dikarenakan tempat ini difokuskan untuk pedestrian (pejalan kaki) dan yang ingin berolahraga. Koran Borneo Barat edisi tanggal 18 Januari 1938 memberitakan Larive Park yang pada zamannya merupakan taman kota Pontianak (kini alun-alun Kapuas), sering kali dimasuki oleh pesepeda yang jelas-jelas dilarang. Redaksi juga menambahkan orang yang melanggar tersebut tergolong 'bebal', tidak peduli akan larangan bersepeda yang sebenarnya telah dipasang jelas disebuah papan. "Diantara orang2 jang dilarang itoe terdapat djoega anak2. Roepanja mereka itoe ada berlainan dari orang2 toea jang kalau dilarang teroes menoeroet. Anak2 itoe tambah membandel, malah boekan pada djalan-djalan itoe sadja bersepeda tapi teroes diatas roempoet2", demikian petikan berita dari koran tersebut. Diakhir berita, redaksi menyentil anak-anak yang berani melanggar aturan tersebut karena memanfaatkan kedudukan orangtuanya yang berpangkat.

Iklan Sepeda
Selain muncul berita-berita yang mengabarkan pelanggaran para pesepeda, sesekali juga terdapat iklan komersil produk sepeda baru. Seperti dalam koran Utusan Borneo tanggal 10 Desember 1927, perusahaan The Borneo Company Ltd mengiklankan Sepeda Lereng merk 'Regal' yang telah memiliki fitur freewheel. 


Penulis: M. Rikaz Prabowo 

2 comments:

Post a Comment