Jalan Terjal Fusi Serdadu Kolonial

Kompi tentara KNIL Batalyon Infantri IX di Singkawang pada 1946
(Sumber: Beelbank NIMH)
27 Juli 1950 KNIL Dibubarkan. Sesuai hasil perjanjian KMB tahun 1949, RIS yang akan terbentuk nantinya bakal memiliki angkatan perang baru yang bernama APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Gabungan antara TNI yang menjadi inti, dengan KNIL (dan tentara teritorial/federal) yang akan menjadi kekuatan pendukung.  Sayangnya, penggabungan kedua tentara yang dulu berseteru itu tidak semuanya berjalan mulus. Termasuk yang terjadi di Kalimantan Barat.


Tidak berjalan mulusnya fusi kedua angkatan perang tersebut sebenarnya sudah dapat diprediksi sebelumnya. Bagaimana mungkin dua serdadu yang dulu saling bersitegang itu dapat akur dalam waktu singkat? Meskipun sama-sama anak negeri, namun doktrin, strategi, hingga ideologi peperangan kedua angkatan itu jelas saling bertolak belakang. Keadaan ini semakin diperparah dengan kenyataan belum hadirnya TNI di luar wilayah-wilayah Republik. Di Kalimantan Barat misalnya, sekitar September 1945 hingga Desember 1949 wilayah ini di bawah administrasi NICA dan Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Perang revolusi kemerdekaan di wilayah ini sebenarnya dilakukan oleh laskar-laskar atau organisasi perjuangan republiken yang saban waktu berhadapan dengan satuan-satuan tentara KNIL.

Menjelang penyerahan kedaulatan sebagaimana hasil dari KMB, pada 25 Desember 1949 Sabam Hendrik Marpaung mengemban misi dari Gabungan Persatuan Indonesia (GAPI) dan Komite Nasional Kalimantan Barat (KNKB) ke Jakarta untuk menjemput Pasukan TNI di bawah Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala dan Mayor dr. Suharsono. Soedarto dalam Naskah Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat 1908-1950 menerangkan GAPI dan KNKB adalah dua organisasi politik yang dikenal sebagai pendukung kuat haluan pro Republik di wilayah ini. Marpaung yang juga dikenal sebagai aktivis buruh itu juga duduk sebagai sekretaris dalam KNKB. Bagi GAPI dan KNKB, kehadiran TNI adalah suatu hal yang mendesak dan harus disegerakan di wilayah ini. Apabila terlambat, pembangunan formasi APRIS di Kalimantan Barat hanya akan diisi oleh KNIL dan Tentara Federal, yang jelas tidak sehaluan dalam misi kedua organisasi politik itu untuk mengintegrasikan Kalimantan Barat dalam Republik Indonesia.

Pada 27 Desember 1949 sekitar jam 11.30 mendarat 8 orang sebagai delegasi TNI dari Divisi Lambung Mangkurat yang bermarkas di Banjarmasin. Delegasi TNI yang datang dengan pesawat Katalina itu mengemban tugas untuk menghadiri dan melaksanakan upacara pengakuan serta penyerahan kedaulatan dari tangan Pemerintah NICA. Dalam situs resmi Kodam XII Tanjungpura (kodamtanjungpura-tniad.mil.id) disebutkan kedelapan orang delegasi itu antara lain Major dr. Suharsono, Kapten C.P.M. Pejoh, Serma C.P.M Jimmy Soemarto, Pelda C.P.M Mach Umbaran, Sersan C.P.M Gusti Harun Alrasjid, Sersan C.P.M Muhammad Dachlan, Kopral C.P.M Haji Selamat, dan Sersan C.P.M Achmad Syariful Effendi. Kemudian dalam buku Tanjungpura Berjuang: Sejarah Kodam XII/Tanjungpura (1970), pada 8 Januari 1950 mendarat Komandan Teritorium VI/Kalimantan Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala di Pontianak. Setelah mendarat dan bertemu beberapa tokoh, beliau menunjuk Mayor dr. Suharsono sebagai formatur TNI di Kalimantan Barat didampingi Bupati Sudjono sebagai penasihat politiknya.


Pro-Kontra
Mendaratnya TNI di Kalimantan Barat menyebabkan pro dan kontra, salah satunya dari Sultan Hamid II yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Dalam pleidoinya di persidangan Mahkamah Agung 1953 atas dugaan keterlibatan Peristiwa APRA di Bandung 23 Januari 1950 yang menjerat dirinya, ia menyiratkan belum perlunya TNI mendarat di Pontianak. "Kalimantan Barat merupakan suatu daerah yang semenjak 1945 selalu aman, jam malam tidak pernah dikenal. Apakah sudah selayaknya suatu daerah yang sama sekali aman, dimana kewajiban tentara hanya terdiri dari pekerjaan garnisun dan patroli biasa, jadi pekerjaan yang terutama membutuhkan ketertiban dan kedisiplinan, ditempatkan anggota-anggota tentara yang telah tidak biasa lagi akan disiplin atau yang belum membiasakan dirinya akan disiplin?" Tuturnya sebagaimana dikutip dari buku Proces Peristiwa Sultan Hamid II (1953)

Perihal pendaratan TNI di wilayah ini memang menjadi pembicaraan di tingkat Kabinet RIS. Sultan Hamid II dalam pleidoinya sempat mengutarakan pendaratan pasukan itu telah menyinggung perasaannya. Ia merasa Menteri Pertahanan dan TNI tidak melakukan koordinasi kepadanya terkait pengiriman TNI itu. "Ketidaksenangan hati saya semasa saya berada di Negeri Belanda mendengar cara-cara untuk menempatkan TNI di Pontianak dan penyelesaian anggota-anggota bekas KNIL. Kepada Menteri Pertahanan pada waktu itu (Hamengkubuwono IX), telah saya minta supaya penyelesaian-penyelesaian tadi menunggu dahulu sampai saya datang, akan tetapi tidak dipenuhi permintaan saya tadi."

Sultan Hamid II merasa pengiriman pasukan TNI itu tidak memberitahu dirinya, "Dapatlah diraba-raba pula, bagaimana besar kekecewaan saya serenta mendengar bahwa di luar pengetahuan saya telah diputus untuk mengirimkan dengan begitu saja TNI ke Kalimantan Barat. Adalah maksud saya untuk membicarakan dengan Menteri Pertahanan sekembali saya di Indonesia rencana dan skema saya, supaya pemasukan orang-orang bekas KNIL ke dalam APRIS berjalan dengan lancar dan cepat. Akan tetapi yang demikian itu sudah tidak perlu lagi, karena Staf Angkatan Perang rupanya sudah mempunyai rencana yang sama sekali berlainan", tuturnya dalam pleidoi di sidang MA tahun 1953 seolah membuka kembali ingatan yang terjadi pada tahun 1950.

Sedangkan Sultan Hamengkubuwono IX dalam keterangan di sidang MA tahun 1953 menyebutkan "Waktu di negeri Belanda, waktu kita menyiapkan pengoperan kedaulatan. Itu waktu telah diputus akan dikirimkannya pasukan-pasukan TNI ke Kalimantan Barat. Sesudah saudara Hamid kembali lagi di Indonesia rupanya dia tidak senang terhadap akan dikirimkannya TNI ke Kalimantan Barat. Pada itu waktu telah dikirimkan lebih dahulu Overste Sukanda Bratamanggala ke Pontianak untuk memberitahukan kepada Kepala Daerah disana tentang pengiriman pasukan-pasukan TNI itu. Sultan Hamid II kemudian membicarakan hal ini dengan Perdana Menteri Hatta, dan oleh karena itulah timbul pertanyaan mengenai siapa yang berhak mengadakan dislokasi pasukan".

Pengiriman TNI ke Kalimantan Barat itu akhirnya ditunda oleh Kabinet RIS. Kabinet kemudian melakukan sidang untuk membicarakan soal hak dislokasi pasukan. Sidang kabinet akhirnya memutuskan hak dislokasi semata menjadi kewenangan Menteri Pertahanan. Oleh karena itu pengiriman TNI ke Kalimantan Barat tetap dilaksanakan. Dengan demikian Sultan Hamid II sejatinya telah mengetahui perihal pengiriman pasukan itu karena termasuk anggota Kabinet RIS. Pengiriman TNI itu juga tidak perlu izin dari dirinya, karena telah diputuskan sepenuhnya menjadi kewenangan Menteri Pertahanan. Kepala Staf APRIS juga menimpali bahwa pengiriman Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala ke Pontianak bukan untuk meminta izin darinya, namun untuk memberitahukan saja.


Delegasi awal TNI di Kalimantan Barat yang beranggotakan 8 orang dan telah
mendarat pada 27 Desember 1949 di Pontianak.
(Sumber: kodamtanjungpura-tniad.mil.id)


Masalah Reorganisasi
Untuk membentuk Angkatan Perang yang modern dan profesional, maka Kementerian Pertahanan akan melakukan sejumlah reorganisasi di tubuh TNI maupun KNIL agar proses fusi tersebut dapat berjalan lancar. Sultan Hamid II sendiri (meskipun bukan pejabat Kementerian Pertahanan) mengungkapkan telah mempersiapkan 1 kompi tentara KNIL dan 1 kompi Dayak yang sedang dilatih untuk masuk ke dalam APRIS. "Sebelum penyerahan kedaulatan, di Kalimantan Barat saya telah siapkan untuk masuk APRIS satu kompi bekas KNIL serta pula satu kompi Dayak yang telah mendapat latihan" ungkapnya dalam pleidoi. Kala itu Sultan Hamid II juga terhitung sebagai perwira tinggi KNIL yang masih aktif.

Petrik Matanasi dalam bukunya KNIL: Bom Waktu Tinggalan Belanda mengungkapkan, satuan KNIL yang ditempatkan di Kalimantan Barat yakni Batalyon Infanteri IX yang bermarkas di Pontianak. Diduga masih ada konsentrasi lain dari KNIL atau Tentara Kerajaan (Koninklijk Leger) di wilayah ini, seperti insiden bendera di Sambas pada Oktober 1945 yang menggugurkan Tabrani Ahmad dan melukai Siradj Sood terlihat adanya pasukan baret merah dari Korps Speciale Tropen (KST). Belum lagi ditambah dengan adanya kekuatan polisi-polisi NICA.

Akan tetapi kabar angin kemudian berhembus entah dari mana asalnya, Sultan Hamid II ditenggarai menolak kedatangan TNI. Dalam harian Utusan Rakyat 10 Januari 1950 ia menepis kabar angin itu. "Beliau menginsyafi benar-benar bahwa TNI adalah inti dari tentara RIS yang akan dibentuk", kenang M. Yanis dalam catatan hariannya yang ia tulis dalam Djampea: Novel Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat. Hamid menginginkan para serdadu eks KNIL yang ia siapkan masuk ke APRIS itu dengan perasaan gembira (tanpa paksaan). Tidak benar apabila ia menolak kedatangan TNI di Kalimantan Barat, menurutnya masuknya tentara republik dalam jumlah besar di wilayahnya dikhawatirkan akan menambah keruwetan ditengah reorganisasi KNIL/KL yang ia rencanakan belum beres. Kekhawatiran Hamid bukannya tanpa alasan,  ia menjelaskan bahwa tangsi-tangsi yang ada di Pontianak penuh dengan anggota KNIL dan keluarganya. "Dengan demikian tidak mungkin untuk dalam waktu yang begitu pendek, ialah hanya beberapa minggu menyediakan perumahan buat 1000 anggota tentara baru." keluh Hamid dalam pleidoinya.

Bagaimanapun juga kabar angin itu terlanjur menyebar dan menimbulkan keresahan rakyat serta pihak-pihak yang telah lama mendambakan kedatangan TNI. Akibatnya, pada 11 Januari 1950 demonstrasi besar dilancarkan ditengah sidang Dewan DIKB melibatkan ribuan massa namun tetap tertib dan teratur menyuarakan agar TNI tetap menjaga keamanan di wilayah ini. Demonstrasi  ternyata juga menuntut untuk dibubarkannya Dewan DIKB yang dianggap tidak representatif. Peliknya masalah politik di ibukota karasidenan Kalimantan Barat itu akhirnya mendorong Perdana Menteri Mohammad Hatta dan rombongannya, diantara Menteri Dalam Negeri Ide Anak Agung Gede Agung terbang ke Pontianak untuk meredakan situasi, kenang M. Yanis.

Tanjungpura Berjuang menyebutkan, pada 16 Januari 1950 sekitar 200 prajurit TNI  yang menumpang kapal KM Kaimana mendarat di Pontianak dan disambut meriah oleh rakyat. Uniknya, ratusan prajurit itu berasal dari Banjarmasin, di bawah pimpinan Ibnu Hadjar yang dikemudian hari melakukan pemberontakan pada TNI dan pemerintah. Setelah prajurit dari Banjarmasin itu mendarat, kemudian disusul rombongan perwira-perwira dari Jawa di bawah pimpinan Mayor Firmansyah dan Kapten Jusi. Menyusul pula kedatangan Kapten Achmad Wiranatakusumah, dan Kapten dr. Alibasjah Saleh dari Markas Besar Angkatan Darat.

Bagaimanapun juga jumlah 200 prajurit yang tidak sebanyak dikhawatirkan Sultan Hamid II itu (1000 anggota), ternyata tidak dapat ditampung di asrama. Panitia Pusat Penyambutan TNI yang dibentuk oleh swadaya masyarakat, kemudian menampungnya di rumah-rumah penduduk. Hal ini karena tangsi saat itu masih ditempati oleh anggota KNIL dan keluarganya.

Dua hari kemudian pada 18 Januari 1950, Komando Subteritorium I Kalimantan Barat menerbitkan pengumuman bahwa keamanan di kota itu sekarang telah sepenuhnya di tangan TNI. Pengumuman itu juga menambahkan konsentrasi KNIL/KL di Pontianak dan Ketapang supaya tidak dianggap sebagai upaya pengumpulan kekuatan, karena mereka dalam proses pemulangan atau melebur ke dalam tentara RIS bersama TNI. Keesokan harinya, 19 Januari 1950 kembali keluar pengumuman tentang pendaftaran ke dalam TNI bagi pasukan-pasukan gerilya dan laskar dengan membawa alat dan senjatanya. Meskipun pada awalnya mengalami kesulitan, M. Yanis juga mengenang ada momen mengesankan sekitar akhir Januari 1950 ketika kedua pasukan (KNIL-TNI) saling bertemu ramah tamah layaknya sesama saudara.


Satuan-satuan TNI-KNIL Berfusi
Pada 2 Februari 1950 secara resmi terbentuk Sub Teritorium Militer (STM) I Kalimantan Barat yang dikomandoi Mayor Firmansyah dan Kapten Achmad Wiranatakusumah sebagai Kepala Staf. Pada bulan Maret 1950 STM I/Kalimantan Barat kembali diperkuat oleh Kompi Pancasila pimpinan Kapten S. Harmojo yang didatangkan dari Divisi Diponegoro (Jawa Tengah). Sementara itu pasukan Ibnu Hadjar ditarik kembali ke Banjarmasin dengan hanya meninggalkan beberapa perwiranya untuk memperkuat STM I Kalimantan Barat.

Pada 9 April 1950 STM I/Kalimantan Barat menerima kedatangan Batalyon Pagarruyung dari Sumatera Barat di bawah pimpinan Mayor Mustafa Kamal. Kemudian pada awal bulan Mei 1950 STM I/Kalimantan Barat telah berhasil membentuk suatu brigade dengan kekuatan: satu Batalyon Pagarruyung bersenjata lengkap, satu Detasemen Bren Carrier dari Batalyon Pagarruyung, satu Kompi Pancasila dari Kapten S. Harmojo, dan satu Peleton hasil pendidikan calon prajurit dari putera daerah di Sintang.

Perlahan fusi kedua angkatan ini menunjukan perkembangan yang baik tanpa adanya kendala berarti. Hingga pada akhirnya pada 7 Juni 1950, Komandan KNIL di Kalimantan Barat menyerahkan pasukan-pasukannya untuk bergabung ke dalam APRIS. Pasukan KNIL yang kemudian bergabung itu antara lain: satu Kompi KNIL di Sintang di bawah pimpinan Letnan I Lasamahu, satu Kompi KNIL di Ketapang di bawah pimpinan Letnan II R. Sudiman, satu Kompi KNIL di Sambas, satu Kompi KNIL di Singkawang, dan 1 Kompi tentara Federal di Pontianak.

Dengan demikian komposisi TNI dan KNIL dalam berfusi ke APRIS di Kalimantan Barat telah tercapai dengan sukses dan seimbang.


Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment