Perlawanan terhadap kekejian Jepang merebak di berbagai penjuru Indonesia mulai tahun 1943. Kurang lebih satu tahun sejak Peristiwa Mandor 28 Juni 1944 yang menggugurkan puluhan ribu nyawa, sekitar Juni-Agustus 1945 terjadi perlawanan hebat oleh Suku Dayak. Menariknya, perlawanan etno gerilya ini dimulai dari rimba dimana tentara tradisional mampu membuat tentara Jepang yang modern itu kewalahan. Ilustrasi pemuda suku Dayak dengan perlengkapan perangnya
(sumber: eramadani.com)
Perlawanan ini kerap disebut Perang Dayak Desa karena dilakukan oleh Sub-suku Dayak suku Desa. Dinamakan perang sebab memang terjadi pertempuran antara pasukan Dayak Desa melawan tentara Jepang. Syafaruddin Usman dalam Peristiwa Mandor Berdarah, menyebutkan perang ini dipicu oleh terbunuhnya Osaki, kepala perusahaan kayu Nitinan, di Kampung Sekucing Labai, Sungai Embuan, Meliau. Terbunuhnya Osaki sebenarnya akibat ulah ia sendiri yang mengancam akan memancung Pang Linggan apabila tidak juga menyetujui maksud kepala perusahaan itu untuk mempersunting anak gadisnya.
Keesokan hari pada 13 Mei 1945 Pang Linggan bersama saudaranya (Pang Suma) dan tiga puluh orang berangkat hendak menemui Osaki. Tujuannya untuk bermusyawarah menanyakan maksud ancaman tersebut. Saat berhasil bertemu Osaki, belum juga pembicaraan dimulai serta merta Osaki menyerang Pang Linggan dan Pang Suma dengan popor senapan yang selalu ia bawa. Maka kelanjutannya dapat ditebak, perkelahian pun pecah dan berhasil menewaskan Osaki.
Masih ditambahkan oleh Syafaruddin Usman, tewasnya Osaki merupakan suatu klimaks dari kondisi romusha yang amat memprihatinkan akibat bekerja di perusahaan kayu Nitinan pimpinan Osaki. Masyarakat Embuan yang direkrut bekerja di perusahaan itu sebenarnya sudah lama diperlakukan dengan kejam sehingga mendendam dengan Osaki namun tidak berani untuk melakukan perlawanan buruh/pekerja.
Mangkok Merah Diedarkan
Selanjutnya melalui
suatu mufakat yang dilaksanakan dengan khidmat dan dihadiri oleh tetua adat
diputuskan untuk terus berjuang mempersiapkan perlawanan lain terhadap Jepang.
Untuk itu diedarkan lah Mangkok Merah untuk menggalang persatuan seluruh suku
Dayak dan pernyataan akan dilaksanakan perang. Tentang Mangkok Merah, Superman dalam penelitiannya berjudul Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat tahun 1967 (2011), menyebutkan Mangkok Merah merupakan sebuah
alat konsolidasi dan mobilisasi pasukan lintas sub-suku Dayak yang efektif dan
efisien. Mangkok Merah juga merupakan simbol dimulainya peperangan. Mangkok
Merah diedarkan dari kampung ke kampung dan tidak boleh berhenti. Kampung yang
dilewati Mangkok Merah harus siap sedia untuk perang dan membantu
saudara-saudara mereka yang disakiti atau dibunuh.
Ribuan
suku dayak di seluruh pelosok Kalimantan Barat berkumpul di Balai Keramat Tiang
Lima Bambu di Kampung Suak Tiga Belas, kebulatan tekad untuk perang melawan
Jepang juga sudah diputuskan. Pasukan-pasukan Dayak ini kemudian lebih dikenal
dengan Angkatan Perang Majang Desa (APMD) yang dikomandoi Pang Suma. Perlawanan
dimulai dengan menyerang perusahaan-perusahaan milik Jepang yang mendapatkan
perlindungan dari tentara Jepang. Setelah Osaki kini giliran Sutsugi yang
tewas, ia merupakan pimpinan perusahaan Nichiran di perladangan hutan durian
Pampang Sansat.
Kematian
dua petinggi perusahaan Jepang yang notabene di back up oleh militer ini mengejutkan petinggi mereka di Pontianak.
Mereka tidak menyangka, sekelompok pasukan tradisional dengan bersenjatakan mandau,
parang, sumpit, hingga tombak mampu mengalahkan tentara Jepang yang modern dan
terlatih. Seakan murka akan hal tersebut, pimpinan Jepang di Pontianak
mengirimkan ekspedisi untuk menghabisi pasukan Pang Suma yang terdiri dari
tentara Kaigun reguler, tentara Kaigun Heiho, dan Keibeitai (Polisi Militer) yang dipimpin oleh Letnan Takeo
Nakatani.
Ketika
ekspedisi sampai di Tayan, Nakatani meminta keterangan kepada Bunken Kanrikan Miyagi agar dapat menuju
Meliau, menurutnya hal itu bisa ditempuh dengan menyusuri Sungai Embuan.
Nakatani tidak mengetahui bahwa pasukannya sudah ditunggu oleh pasukan Dayak
yang memusatkan kekuatan dan pertahanan di Suak Tiga Belas. Pasukan Jepang
pimpinan Takeo Nakatani ini terhenti di Desa Kunyil karena mendapatkan
perlawanan dari pasukan Pang Suma. Demikian Herianto dan Amanah Hijriah dalam Sejarah Kerajaan Sanggau (2017). Seketika dalam suatu kesempatan terjadi pertempuran yang sebenarnya tidak
seimbang, peluru senapan Jepang melawan anak sumpit, pisau bayonet melawan
mandau dan parang. Akan tetapi siapa sangka? Lewat taktik gerilya hutan dan
menguasai keadaan alam sekitar pasukan Dayak berhasil menghabisi pasukan
Jepang. Bahkan Letnan Takeo Nakatani berhasil dipancung kepalanya oleh Pang
Suma.
Korban
lain dari pertempuran ini adalah Kaisu Nagatani yang merupakan seorang Keibeitai pengelola perusahaan ekspedisi
Jepang di Meliau. Ia beserta rombongan anak buahnya yang tersisa dihabisi Pang
Suma dan Pang Djampi. Perusahaan ekspedisi yang ia kelola habis dibakar oleh
pasukan Dayak. Ada satu korban Jepang lagi yang tewas dalam pertempuran ini,
yakni Yamamoto alias Tuan Pentong. Diberi gelar sebagai Tuan Pentong karena
terkenal dengan sikap buruknya yakni suka “mementung” pekerja di perusahaan Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisha (SSKK)
apabila kedapatan malas bekerja, pulang ke rumah tanpa izin, atau melakukan
kesalahan kecil. Yamamoto alias Tuan Pentong cukup dikenal seantero Sungai
Embuan di Meliau karena perilakunya yang kasar itu. Pernah dalam riwayat ia
memukul warga Kampung Suak Garong yang bernama Pang Rontoi, berusia lanjut,
hanya karena tidak menemukan pekerja yang ia cari. Pekerja tersebut nekat
pulang ke rumah karena terlampau rindu dengan keluarga dan ingin mencari
makanan layak yang ia tidak dapatkan di perusahaan milik Tuan Pentong. Tewasnya
Tuan Pentong ini terjadi pada 13 Juni 1945
Pada 24 Juni 1945, Pasukan Dayak pimpinan Pang Suma berhasil membebaskan daerah Meliau. Dengan begitu Meliau, yang kini merupakan suatu kota kecil setingkat kecamatan di Kabupaten Sanggau menjadi daerah yang berhasil dibebaskan dari Jepang, setidaknya hingga 30 Juni 1945. Meliau menjadi simbol kemenangan Pasukan Dayak melawan Jepang, suatu pertempuran yang cukup heroik dimana pasukan bersenjatakan tradisional bertarung melawan pasukan yang bersenjata modern.
Gugurnya Pang Suma
Pada 17 Juli 1945 Meliau kembali berhasil direbut Jepang lewat ekspedisi
militer kedua. Ekspedisi kali ini membawa pasukan lebih besar baik lewat sungai
maupun darat. Jepang sangat terkejut, Letnan Nakatani yang merupakan perwira
senior dan kaya pengalaman tempur dapat dikalahkan oleh pasukan Dayak. Pang
Suma sempat memberikan arahan kepada pasukannya agar mempertahankan Meliau
mati-matian hingga titik darah penghabisan. Sayangnya Pang Suma, Pang Linggan
dan Pang Ape gugur ditembak Jepang dalam pertempuran ini.
Gugurnya Pang Suma, Pang Linggan, dan martir perjuangan lainnya, nyatanya tidak membuat perlawanan terhadap Jepang surut. Memasuki bulan Agustus 1945 perlawanan terhadap Jepang justru makin menjadi, dari perlawanan secara sporadis berkambang menjadi etno gerilya yang meluas. Taufiq Tanasaldy dalam Regime Change and Ethnic Politics, Dayak Politic of West Kalimantan (2014) menyebutkan, gencarnya perlawanan ini menyebar dari Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, Landak hingga Ketapang. Jepang sebenarnya berhasil mengembalikan kontrol pemerintahan di kota-kota tersebut, namun gagal dalam memadamkan perlawanan secara penuh.
Sebagai contoh, pasukan Dayak berhasil memasuki Sanggau Kapuas dimana Sultan Sanggau Ade Muhammad Arief telah gugur dalam peristiwa Mandor dan wilayah itu dikuasai oleh Bunken Kanrikan berkebangsaan Jepang. Di Tayan Bunken Karikan Miyagi berhasil dipancung kepalanya oleh pasukan Dayak. Pasukan Dayak kemudian berhasil sampai ke Pontianak untuk memerangi Jepang, menuntut balas kematian panglima perang mereka di Meliau tempo hari. Waktu itu posisi Jepang di Kalimantan Barat khususnya Pontianak sudah lemah, tentara mereka kehilangan semangat berperang pasca pernyataan menyerah pada sekutu tangal 14 Agustus 1945. Tugas mereka kini hanya memelihara wilayah Indonesia dalam status quo sembari menjaga keamanan dan ketertiban.
Akan tetapi perlawanan suku Dayak hingga masuk ke kota-kota besar ini menurut sebagian kalangan kurang terarah tujuannya. Hassan Basry dalam Gerilya Kalimantan (1961) berpendapat, akan lebih baik apabila kemajuan pasukan Dayak itu bisa diarahkan kepada usaha-usaha menyongsong dan mempertahankan kemerdekaan RI. Sedangkan M. Yanis, saksi sejarah di Pontianak yang menuangkan kejadian itu ke dalam novel sejarahnya yang berjudul Kapal Terbang Sembilan juga menuturkan ketika memasuki Pontianak, pasukan Dayak itu sudah melenceng dari tujuan awalnya memburu tentara Jepang. Malahan mereka banyak mengambil barang-barang di pasar seperti sembako bahkan juga uang.
Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri perlawanan pasukan Dayak ini menjadi salah satu catatan tersendiri dalam periodesasi di sekitar kemerdekaan RI. Perlawanan Pang Suma dan dengan pasukan Dayaknya menjadi bukti bahwa tirani Dai Nippon juga mendapat perlawanan hebat oleh pasukan tradisional jauh di mulai dari dalam rimba.
Penulis: M. Rikaz Prabowo
0 comments:
Post a Comment