Bayt Al Mugaddas, Akademi Militer Kerjasama Aceh-Ottoman

Ilustrasi parade tentara Turki
(serhatengul.com)

Jejak Kehilafahan Turki Ustmani pada kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara paling kentara terdapat pada Kesultanan Aceh. Aliansi Militer Aceh-Turki sempat mendirikan sebuah Akademi Militer, Ma'had Baitul Maqdis. Keumalahayati jadi salah satu alumni lembaga pendidikan ini. 

Kesultanan Aceh diperkirakan telah memulai menjalin hubungan diplomatik dengan Turki pada awal abad 16. Hubungan Turki dan Aceh berjalan harmonis tidak hanya pada bidang perdagangan namun juga pada bidang militer. Buah manis hubungan kedua kesultanan tersebut adalah berdirinya Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis. Hendaru Tri Hanggoro dalam historia.id menyebutkan, pendirian lembaga itu tidak terlepas dari bantuan Turki Ustmani. Dimana aceh merekrut ahli militer dan pembuat senjata dari Turki untuk mengajar di akademi tersebut. 
Share:

Karena Buku Ini, Saya Harus Menyalami Tangan Romo Mangun




Karena Buku Ini, Saya Harus Menyalami Tangan Romo Mangun
Nama Buku : Menuju Indonesia Serba Baru: Hikmah Sekitar 21 Mei 1998
Nama Pengarang: Y.B. Mangunwijaya
Tahun Terbit : 1998
Penerbit. : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: XV+269


Saya harus berterima kasih kepada Ignatius Haryanto yang telah mengumpulkan dan
menyunting tulisan-tulisan Romo Mangun. Juga kepada Gramedia Pustaka Utama yang menerbitkannya. Kalau tidak demikian, saya harus mengumpulkan tulisan-tulisan
Romo Mangun yang tercecer di berbagai media yang dihitung dari waktu sekarang, rata-rata
berusia 20 tahun. Tentu pekerjaan yang berat. 

Beberapa tulisan Romo Mangun hadir dan dibaca di media-media nasional jauh sebelum aku lahir. Beberapa tulisan yang lain saat aku lahir dan lainnya ketika aku baru bisa menyampaikan apa yang kuinginkan dengan menangis. Entah itu kencing, lapar atau haus.

Terlebih lagi kepada Romo Mangun, saya harusnya berterima kasih secara langsung sembari
menyalami tanganmu. Namun Tuhan tak mengizinkan itu terjadi. Biarlah menguap lewat
udara dan sampai padamu di surga. Di dalam menyampaikan kritiknya, kadang ia sangat lembut. terkadang ia bermain dengan analogi hingga membentuk satire. Atau dengan cerpen yang tentu bisa kita
kaitkan dengan berbagai kebobrokkan Orde Baru, entah itu KKN, militerisme, dan
komunisme.

Ia juga berperan sebagai bapak yang bijak saat mahasiswa angkatan 98 dirasanya melenceng
dari jalan reformasi dan berpotensi kontra revolusioner. Ia juga memberi ide-ide alternatif
yang bisa diimplementasikan mahasiswa saat bertemu dengan jalan buntu.

Ia juga kadang begitu keras, seperti ayah yang mukanya merah padam saat mengetahui anak
gadisnya dihamili oleh lelaki tak bertanggung jawab. Seperti dalam tulisannya yang tak
sempat terbit karena disensor pada 5 Juni 1998. Padahal harusnya itu terbit di Jawa Pos.

Tulisannya yang berjudul Konstitusional dan "Konstitusional" yang terbit di Jawa Pos pada 5
Maret 1998 bermain dalam tataran analogi antara seorang murid dan guru. Tentang seorang murid yang bertanya tentang konstitusional. Lalu upaya membandingkannya dengan masa
kepemimpinan Adolf Hitler di Jerman, Lenin di Rusia, dan pada masa Hideki Tojo di Jepang. Seorang guru tersebut seolah mewakili sifat generasi tua. Begitu juga sebaliknya. Si guru
menjawab layaknya orang tua yang tak mau terlihat bodoh.

Lalu saya menangkap kesimpulan bahwa, seperti yang pernah dikatakan Prof. Satjipto
Rahardjo saat di wawancara BBC News, membicarakan apa yang konstitusional dan tidak
konstitusional pada saat Indonesia sedang ribut oleh tuntutan reformasi sesungguhnya
relevan. Biarkan saja fakta mengalir dan berbicara sendiri.

Tentu aku tak selalu setuju dengan pemikiran Romo Mangun. Terutama soal idenya soal
Konstituante. Aku tak tertarik menjelaskan ketidaksetujuanku padanya. Tapi lebih berminat
menjelaskan kenapa Romo Mangun begitu mendambakan Konstituante. Hegel menyebut,
“semua yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil”. Tentu Romo Mangun
punya alasan atas anjurannya. Satu hal yang kutimbang menjadi alasan utama, ialah
kehilangan rasa percaya. Sama seperti kebanyakan orang-orang yang muak dengan anggota
DPR dan MPR yang hanya seperti tukang stempel pemerintah. 

Semua tulisan dalam buku ini, yang berjumlah 30, terdiri dari 26 opini dan 4 cerpen. Namun
semua tulisan bermuara pada satu titik. Benang merahnya adalah pemuda. Dia menyemangati
pemuda sebagai penyongsong masa depan sekaligus menyampaikan kritiknya kepada subjek
yang sama. Iya juga memberi saran, meski agak rancu menyebutnya solusi.
Terima kasih Romo Mangun. Di lain waktu, biarkan aku membebek padamu.


Penulis/Reviewer: Aris Munandar
Share:

Pada Akhirnya, Sejarah Disembunyikan

 



Nama Buku                             : Sejarah Dunia Yang Disembunyikan

Nama Asli Buku                     : The Secret History of the World

Nama Pengarang                     : Jonathan Black (Mark Booth)

Tahun Terbit                            : 2007

Penerbit                                   : PT Pustaka Alvabet

Tahun Terbit di Indonesia       : 2017

 

Bagaimana mungkin sejarah bisa di sembunyikan? Bukankah sejarah adalah sesuatu yang pasti? Tampaknya hal tersebut perlu pertanyakan ungkapan tersebut. Kalau kita perhatikan sejarah-sejarah yang ada, sering kali sejarah ditulis oleh orang-orang pemenang, seperti Winston Churchill yang menulis memoar World War II. Menarik, jika sejarah yang ditulis hanya untuk orang pemenang saja, padahal setiap orang bisa membuat sejaranya masing-masing. 

Share:

Surat Yang Membangkitkan Semangat: Mengenang J.C Oevaang Oeray

J.C Oeavaang Oeray
(sumber: arpusda pontianak)

 18 Agustus 1922 Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray lahir di Kedamin Kapuas Hulu. Kesadaran perlunya memajukan masyarakat Kalimantan Barat khususnya suku Dayak mulai tumbuh dan disuarakan ketika sekolah Seminari. Meski berbuah dikeluarkan dari sekolah, ia sukses menapaki karir hingga berhasil menjadi Gubernur Kepala Daerah asli Kalimantan Barat pada 1960. 

 

Oevang Oeray lahir  dari orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani. Ia anak keempat dari empat bersaudara. Selain membantu orang tuanya bertani, ia menempuh pendidikan di Volkschool atau Sekolah Rakyat (SR). Setelah lulus ia memilih melanjutkan pendidikannya di Sekolah Seminari Katolik Nyarumkop, Singkawang selama enam tahun. Kemudian Oeray melanjutkan lagi ke tingkatan lebih tinggi yakni Sekolah Seminari Pastor.[1] 

Share:

Hatta Dikencingi Guntur

Guntur (tengah) bersama kedua orang tuanya
Fatmawati dan Sukarno (Sumber: IPPHOS)


Sejarah Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 tidak hanya milik kelompok tua dengan kelompok muda, Sukarno-Hatta dengan Syahrir-Sukarni. Namun juga bagi seorang anak berusia sembilan bulan ketika itu yang turut ikut diculik, dialah Guntur Sukarnoputra. Putra sulung Sukarno itu mungkin belum mengingat, karenanya Hatta tak bisa melaksanakan hajat sholatnya. 

Memori penculikan terhadap dua tokoh proklamator itu tertulis pada masing-masing buku biografi  dan otobiografi mereka. Sukarno dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams menuturkan, penculikan terhadap dirinya terjadi sekitar pukul 3 pagi. Ketika ia hendak bersantap sahur itulah Sukarno menyaksikan pemuda berpakaian seragam masuk ke rumahnya secara diam-diam. Tujuan para pemuda itu jelas, ingin menculik Sukarno dengan dalih mengamankan dirinya dari pengaruh Jepang agar kemerdekaan bisa diproklamirkan secepatnya.

Awalnya Sukarno menolak, tapi ia karena kalah jumlah dan dipaksa, ia tidak kuasa untuk menolaknya. Sukarno juga mengajak Fatmawati dan putra sulung berusia sembilan bulannya, Guntur untuk turut serta. Para pemuda kemudian membawa mereka ke Rengasdengklok berikut bersama Mohammad Hatta yang diculik lebih dulu sebelum Sukarno. Ditengah perjalanan (disekitar Bogor) kendaraan mereka mesti berhenti karena Guntur yang masih sembilan bulan itu menangis dan harus diberi susu. "Ketika kendaraan mengarah ke Bogor, aku menduga-duga tujuan kami yang sebenarnya, tetapi tak seorang pun mengakui ke mana kami dibawa. Bersamaan dengan munculnya fajar, Guntur mulai menangis. Dia Lapar. Selama sepuluh bulan, ibu-ibu di Indonesia biasa menyusui bayinya. Guntur yang berusia sembilan setengah bulan itu biasa minum dengan formula setengah air susu ibu dan setengah susu biasa. Fatmawati sebenarnya telah ingat untuk mengangkat susu dari tungku, tetapi karena kami pergi dengan terburu-buru ia lupa membawanya. Panci itu masih ada di dapur", kenang Sukarno. 

Keberadaan Guntur yang pula turut ke Rengasdengklok juga menjadi catatan sejarah tersendiri khususnya bagi Hatta. Pria kelahiran Bukittinggi itu masih ingat betul saat Sukarno, Fatmawati, Guntur, dan dirinya diamankan di sebuah rumah milik orang Tionghoa di Rengasdengklok. "Kerja kami tak lain dari mengasuh dan memangku guntur, berganti-ganti. Ia ingin minum, tetapi susu tidak ada. Susu kaleng yang dibawa dari Jakarta dibawa kembali oleh oto sedan yang kami tumpangi mula-mula", tutur Hatta.

Sampai ketika suatu hal lucu terjadi. Guntur kencing dipangkuan Hatta yang sedang duduk memangkunya. "Selagi ia (Guntur) duduk dipangkuanku, Guntur kencing dan celanaku dibasahi dekat lutut. Sungguh pun ia cepat-cepat kuturunkan ke lantai, kecelakaan sudah terjadi." ingat Hatta dalam bukunya Menuju Gerbang Kemerdekaan (2011). Nahasnya setelah dikencingi Guntur, Hatta tidak sempat bersalin (mengganti) celana yang kering. Saat dibawa ke Rengasdengklok itu Hatta memang tidak membawa sehelai pakaianpun, "dalam perasaan aku (akan) tidak lama meninggalkan Jakarta", pikir Hatta. Akibatnya, celana yang terkena kencing Guntur itu terus ia kenakan hingga kembali ke Jakarta dan tentu saja ia tidak dapat menjalankan sembahyang (sholat). "Maka celana yang basah sebagian itu terpaksa kupakai terus sampai kering dengan sendirinya. Hanya saja, dengan celana itu aku tidak dapat mengerjakan sembahyang." keluhnya. 

Bagi Guntur, sosok Hatta bukan hanya sebatas sahabat karib ayahnya. Namun lebih dari itu, salah satu contoh kedekatan dirinya dengan Hatta terjadi pada tahun 1970. Ketika itu Mohammad Hatta menjadi wali nikah bagi dirinya. Sukarno tidak dapat hadir di pernikahan Guntur selain masalah kesehatan konon juga karena tidak diizinkan rezim Orde Baru.

Penulis: M. Rikaz Prabowo
Share:

Awal Gerakan Pandu di Barat Borneo

Kepanduan Surya Wirawan di Sambas, tahun 1939
(Sumber: Mahcrus Effendy, 1982)


Oleh: Mohammad Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Majalah Riwajat

Sejarah gerakan kepanduan di Indonesia mulai tumbuh di abad 20 dan banyak didirikan organisasi pergerakan nasional. Tidak hanya terpusat di Jawa, namun juga disetiap cabang organisasi itu. Termasuk di Kalimantan Barat, dimana pada 1932 berdiri Hizbul Wathan. Menyusul Parindra dengan Surya Wirawan pada tahun 1937. 

Pergerakan nasional yang sedang berlangsung di Indonesia sejak awal abad 20 hingga menjelang masuknya Jepang (1941), telah memunculkan banyak organisasi-organisasi yang sadar akan persatuan kebangsaan. Mulai dari yang bercorak nasionalistik, agamis, sosialis, hingga fokus dibidang pendidikan. Menariknya, beberapa organisasi-organisasi itu memiliki organisasi sayap kepemudaan. Perlahan organisasi sayap kepemudaan itu berkembang menjadi suatu gerakan kepanduan. Seiring dengan meluasnya organisasi pergerakan itu dengan membuka cabang-cabangnya di kota lain, tentunya sayap pemuda dan pandunya ikut didirikan. Di Borneo Barat (Kalimantan Barat), berdiri Hizbul Wathan sekitar tahun 1932. 

Hizbul Wathan
Kepanduan yang sering disingkat 'HW' ini menjadi gerakan kepanduan pertama di Borneo Barat, seiring berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah. Hizbul Wathan artinya Pembela Tanah Air. Menjadi kepanduan kebangsaan pertama yang berdiri di Kalimantan Barat dengan bernafaskan Islam dan cita-cita Muhammadiyah. Persyarikatan Muhammadiyah sendiri sebenarnya sudah diperkenalkan pada 1924 oleh dua guru agama dari Sumatera Barat, Haji Manaf dan Mohammad Akib namun masih sebatas kegiatan perseorangan. Titik balik perkembangan Muhammadiyah di Borneo Barat baru terjadi tahun 1932. Dengan memiliki 4 cabang, yakni di Sungai Bakau Kecil pimpinan H.M Kurdi Djafar, Singkawang pimpinan M. Taufik, Sambas pimpinan H.Malik Sood, dan Pontianak pimpinan M. Arsyad Annasar. Demikian Ya' Achmad, dkk, dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat (1981).

Meskipun HW menjadi gerakan kepanduan yang hadir pertama di wilayah ini, namun harus diakui anggotanya tidak seberapa banyak. Konsentrasi HW hanya ada di daerah yang terdapat kepengurusan Muhammadiyah dan Volkschool Muhammadiyah. Terbatasnya jangkauan HW ini setali tiga uang dengan perkembangan Muhammadiyah itu sendiri. Soedarto, dkk, dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat (1979) menuturkan, kebanyakan umat Islam saat itu memandang ide-ide pembaharuan dan purifikasi Muhammadiyah yang dianggap terlalu modern dan kebarat-baratan.  Di Pontianak, HW berpusat di Volkschool Muhammadiyah Gang Mariana. Tokoh-tokoh pemuda Muhammadiyah yang kala itu turut membesarkan HW antara lain Jayadi Saman dan sang ketua Cabang Pontianak M. Arsyad Annasar. Jayadi Saman pasca proklamasi dikenal sebagai salah satu eksponen tokoh republiken yang turut berjuang secara politik menentang hadirnya kembali Belanda di Kalimantan Barat. Penanaman nilai cinta tanah air kepada kader Hizbul Wathan juga menghasilkan beberapa tokoh pejuang nasional diantaranya Jenderal Sudirman. 

Surya Wirawan
Gerakan Kepanduan bukan saja hanya milik organisasi-organisasi kebangsaan, namun juga Partai Politik. Pada tahun 1937 didirikan Komisariat Daerah Partai Indonesia Raya (Parindra) yang berkedudukan di Pontianak. Dengan berdirinya Parindra, maka dibentuk pula organisasi pemuda yang kemudian dinamakan Surya Wirawan. Pengurus Komisariat Daerah Parindra Kalimantan Barat sendiri terdiri dari Raden Koempoel (Kepala Kantor Pos), Hadjarati (Guru HIS), Mustamir (Ajun Landbouw Consulent), dan A. Harahap (Kepala Pelabuhan Pontianak).

Tidak seperti Muhammadiyah, Parindra yang menarik garis politik kebangsaan murni berkembang dengan pesat. Dalam waktu singkat Parindra telah meluaskan cabangnya di kota-kota lain seantero Kalimantan Barat. Diantaranya: Ngabang pimpinan Gusti Effendi Rani, Sambas pimpinan Machrus Effendi, Singkawang dan Pemangkat pimpinan Djenawi Tahir, Mempawah pimpinan Mas Mohammad, dan Sintang pimpinan Gusti Ismail. Menurut Soedarto, pesatnya perkembangan Parindra karena didukung oleh kalangan bangsawan. Bahkan Parindra cabang Sambas menjadi cabang terbesar di Kalimantan Barat, mendapatkan dukungan dari Sultan dan seluruh keluarganya menjadi anggota Parindra. 

Luas dan pesatnya Parindra itu berdampak positif pada keanggotaan Surya Wirawan. Pemuda dari kalangan biasa hingga putra-putri Sultan banyak yang bergabung dalam Surya Wirawan. Diantara tokoh-tokoh penting atau pimpinan organisasi pemuda kepanduan itu antara lain Gusti Ahmad, Subiakto, dan Rasib Abdurrahman. Sebagai underbouw, Surya Wirawan mendapatkan pendidikan politik oleh kader-kader Parindra terutama cita-cita nasionalisme. Soedarto juga menambahkan pemuda yang bergabung dalam Surya Wirawan kebanyakan yang sudah atau sedang menempuh pendidikan (sekolah). Oleh sebab itu anggota kepanduan ini cukup melek politik. Selain itu, kepanduan Surya Wirawan cukup memikat pemuda dengan seragamnya yang menarik dan salam "HIDUP" yang menjadi salam resmi kepanduan mereka. 

Di masa pendudukan Jepang, baik Hizbul Wathan maupun Surya Wirawan dibubarkan. Bahkan petinggi Parindra dan Surya Wirawan banyak yang menjadi korban pada Peristiwa Mandor 1944. 

Share:

Lantangnya Sejarah Radio Monyet

Sebuah Radio Monyet ditengah lautan massa yang mendengar. Sumber: NIOD
Sebuah Radio Monyet di tengah lautan massa yang mendengar.
Sumber: NIOD

Sering terlihat di perempatan jalan. Dari kejauhan bentuknya seperti kandang monyet. Jadi media propaganda efektif pada masa Jepang. Pada masa revolusi, jadi corong terdepan berita proklamasi dan kabar-kabar perjuangan. 

Radio Monyet bukanlah nama resmi dari alat komunikasi ini. Bahkan apabila hendak dikatakan radio sebenarnya juga kurang tepat. Sebuah kotak yang diberi atap dan ada ventilasi udara itu dipasang pada sebuah tiang atau semacam penyangga yang tingginya kurang lebih 3 meter. Di dalam kotak, terdapat pengeras suara (speaker) yang cukup besar, volume suaranya jelas lebih lantang dibanding radio rumahan. Saban jam, tidak peduli siang atau malam berbagai informasi disiarkan. Masyarakat berkerumun di sekitarnya mendengarkan berbagai 'celotehan' yang keluar dari kotak mirip kandang monyet itu. 

Sumber suaranya tentu saja bukan dari monyet yang siaran. Radio ini mendapatkan transmisi siaran dari stasiun radio yang masih berada dalam satu kota. Ethan Mark dalam The Encylopedia of Indonesia in the Pacific War mengungkapkan balatentara Jepang dari Korps Propaganda memasang radio broadcast ini dengan siaran berbahasa Indonesia dan penyiarnya orang Indonesia pula. Siaran radio itu telah dimulai sejak pagi sekali dan diisi oleh siaran-siaran musik lokal seakan tiada habisnya. Di antara siaran musik, disampaikan pengumuman-pengumuman, pidato-pidato, laporan-laporan resmi, berita, dan semuanya dalam bahasa Indonesia (2010: 356).

Jepang memasang cepat radio ini ketika telah resmi berkuasa pada 8 Maret 1942. Radio semacam ini merupakan sarana efektif untuk berkomunikasi satu arah, sebabnya tidak semua rakyat memiliki akses radio. Lagipula rakyat memang haus akan hiburan. Dengan dipasang di perempatan jalan di kota-kota besar, menjadi corong kabar yang dapat menjangkau setidaknya satu skala kecil masyarakat. Karena tujuan utamanya untuk propaganda, tentu saja siaran-siarannya (meskipun menyiarkan sandiwara) tentunya sangat berbau kedigdayaan Jepang. 


Corong Perjuangan

Sepeninggal kekalahan Jepang, berbagai stasiun radio diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Tidak sedikit stasiun radio itu berpindah tangan lewat suatu aksi perebutan yang digawangi pemuda. Materi siaran pun kini berubah, tidak lagi menyiarkan propaganda Jepang namun berita-berita perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. 

Diungkapkan oleh M. Yanis dalam catatan hariannya yang dikemas dalam Djampea: Novel Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat, radio monyet adalah bahasa rakyat sehari-hari yang dilekatkan pada alat komunikasi ini. Siaran radionya berasal dari Radio Nippon Hosyokyoku, dan penyiarnya sebagian besar juga masih sama saat Jepang masih berkuasa. Penyiarnya kadang juga tergabung dalam organisasi-organisasi media atau seni yang sebelumnya bentukan Jepang. Seperti Abdul Rahman Oembri, yang juga tergabung dalam Eiga Haikyusha atau Badan Distribusi Film. 

Abdul Rahman Oembri punya kenangan tersendiri bagi masyarakat Pontianak di masa-masa awal kemerdekaan. "Suara yang berat, menggetar, dan menggelegak seperti guntur yang mendahului hujan lebat pada penghujung musim kemarau seolah-olah hanya dimiliki oleh seorang saja: Abdul Rahman Oembri", kenang Yanis. 

Setidaknya hingga bulan September-Oktober tahun 1945, radio monyet masih beroperasi di Pontianak dan saban waktu menyiarkan berita perjuangan. Kalau ada isi (siaran) pidato yang kena di hati orang banyak, maka pendengar yang mengelilingi sekitar radio monyet itu bersorak. Kebetulan juga Abdul Rahman Oembri tergabung dalam organisasi Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), dan karena bekerja sebagai penyiar radio ia didapuk pula sebagai juru bicara organisasi itu.

Di antara isi siaran radio monyet yang berhasil menggerakkan semangat rakyat di Pontianak ketika itu ialah persoalan informasi akan datangnya kembali Belanda (NICA) dengan membonceng tentara sekutu (Australia). 

"Itu semua adalah tantangan di hadapan kita di samping yang lain-lain, konsekuensi perjuangan. Kalau Australia datang bagaimana sikap kita? Akan kita tegaskan kepada mereka pendirian kita. Bahwa sekarang Pemerintah RI yang berkuasa. Penyerahan kekuasaan kepada NICA akan kita tolak sekeras-kerasnya. Hidup Republik Indonesia! Merdeka!", demikian petikan siaran pidato Abdul Rahman Oembri yang dicatat oleh M. Yanis. Disusul pekikan merdeka bersahut-sahutan di sekitar radio monyet.

Pada 22 Oktober 1945, radio monyet di Pontianak berhenti beroperasi karena Pemerintah NICA berhasil mengambil-alih admnistrasi pemerintahan untuk seluruh Keresidenan Kalimantan Barat. 


Penulis: M. Rikaz Prabowo
Share: