Kesultanan Aceh diperkirakan telah memulai menjalin
hubungan diplomatik dengan Turki pada awal abad 16. Hubungan Turki dan Aceh
berjalan harmonis tidak hanya pada bidang perdagangan namun juga pada bidang
militer. Buah manis hubungan kedua kesultanan tersebut adalah berdirinya
Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis. Hendaru Tri Hanggoro dalam historia.id menyebutkan, pendirian lembaga itu tidak terlepas dari bantuan Turki Ustmani. Dimana aceh merekrut
ahli militer dan pembuat senjata dari Turki untuk mengajar di akademi tersebut.
Menariknya, hubungan kersajama militer Aceh dan Turki
tersebut teriwayat dengan rapi di Turki.
Menurut Ismail Hakki Goksoy dalam makalah berjudul “Ottoman-Aceh Relationship
According to the Turkish Sources” yang disampaikan pada First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies di
Banda Aceh (2007) menyebutkan: “The
Turks staying at Aceh founded a military academy, and many leaders, including
the first woman admiral of the Sultanate Aceh, Kumalahayati, were trained in
this academy known as askari Bayt Al-Mugaddas” . Arti dari
informasi tersebut kira-kira sebagai berikut: “Orang-orang Turki yang tinggal
di Aceh mendirikan akademi militer, banyak pemimpin temasuk laksamana wanita
pertama Kesultanan Aceh, Keumalahayati, dilatih di akademi ini yang dikenal
sebagai askari Baitul Maqdis”.
Salah satu tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Baitul Maqdis itu ialah Keumalahayati, Laksamana Wanita Angkatan Laut Kesultanan Aceh yang juga memimpin pasukan inong balee. Keumalahayati yang berdasarkan genealogis mengalir deras darah pelaut dari Kakek dan Ayahnya itu memasuki jurusan angkatan laut pada Baitul Maqdis dan termasuk taruna yang cerdas dan dapat mengimbangi dominasi taruna laki-laki yang jauh lebih banyak. Sebagai bukti keberanian dan kepiawainnya sebagai pelaut, ia dikenal pernah bertarung pedang menewaskan Cornelis de Houtman di atas geladak kapalnya. Penjelajah Belanda yang berupaya menaklukkan Aceh dan membuka bibit kolonialisme itu terbunuh pada 11 September 1599.
Ikut Bertempur
Lebih jauh lagi keterlibatan Turki dalam kerjasama militernya dengan Aceh tidak hanya berhenti pada hal-hal teknis dan pendidikan, seperti bantuan senjata, namun juga aliansi militer. Turki Ustmaniyah membangun base nya di Aceh sebagai kepanjangan tangan kekuatan maritimnya di sekitar Samudera Hindia. Dengan begitu, Turki juga melibatkan diri dalam beberapa pertempuran bersama tentara Aceh. D.G.E Hall mencatat bahwa pada tahun 1558 terjadi pertempuran besar antara Aceh dengan Portugis, dimana Aceh melibatkan 300 kapal perang, 15000 pelaut, dan 400 tentara artileri Turki di sekitar Selat Malaka. Pertempuran itu berhasil dimenangkan Aceh yang berhasil menguasai ibukota Malaka selama satu bulan. Demikian dalam bukunya The History of Southeast Asia (1988). Sebagai bentuk simbiosis yang positif ini, Aceh diketahui juga kerap mengirimkan armadanya berlayar di sekitar Samudera Hindia untuk membantu patroli armada Turki.
Kerjasama kedua negara mulai pudar sekitar Abad ke 19 dimana Turki Ustmani juga mulai menghadapi banyak peperangan dan pergolakan dalam negeri.
Penulis: M. Rikaz Prabowo
0 comments:
Post a Comment