Lantangnya Sejarah Radio Monyet

Sebuah Radio Monyet ditengah lautan massa yang mendengar. Sumber: NIOD
Sebuah Radio Monyet di tengah lautan massa yang mendengar.
Sumber: NIOD

Sering terlihat di perempatan jalan. Dari kejauhan bentuknya seperti kandang monyet. Jadi media propaganda efektif pada masa Jepang. Pada masa revolusi, jadi corong terdepan berita proklamasi dan kabar-kabar perjuangan. 

Radio Monyet bukanlah nama resmi dari alat komunikasi ini. Bahkan apabila hendak dikatakan radio sebenarnya juga kurang tepat. Sebuah kotak yang diberi atap dan ada ventilasi udara itu dipasang pada sebuah tiang atau semacam penyangga yang tingginya kurang lebih 3 meter. Di dalam kotak, terdapat pengeras suara (speaker) yang cukup besar, volume suaranya jelas lebih lantang dibanding radio rumahan. Saban jam, tidak peduli siang atau malam berbagai informasi disiarkan. Masyarakat berkerumun di sekitarnya mendengarkan berbagai 'celotehan' yang keluar dari kotak mirip kandang monyet itu. 

Sumber suaranya tentu saja bukan dari monyet yang siaran. Radio ini mendapatkan transmisi siaran dari stasiun radio yang masih berada dalam satu kota. Ethan Mark dalam The Encylopedia of Indonesia in the Pacific War mengungkapkan balatentara Jepang dari Korps Propaganda memasang radio broadcast ini dengan siaran berbahasa Indonesia dan penyiarnya orang Indonesia pula. Siaran radio itu telah dimulai sejak pagi sekali dan diisi oleh siaran-siaran musik lokal seakan tiada habisnya. Di antara siaran musik, disampaikan pengumuman-pengumuman, pidato-pidato, laporan-laporan resmi, berita, dan semuanya dalam bahasa Indonesia (2010: 356).

Jepang memasang cepat radio ini ketika telah resmi berkuasa pada 8 Maret 1942. Radio semacam ini merupakan sarana efektif untuk berkomunikasi satu arah, sebabnya tidak semua rakyat memiliki akses radio. Lagipula rakyat memang haus akan hiburan. Dengan dipasang di perempatan jalan di kota-kota besar, menjadi corong kabar yang dapat menjangkau setidaknya satu skala kecil masyarakat. Karena tujuan utamanya untuk propaganda, tentu saja siaran-siarannya (meskipun menyiarkan sandiwara) tentunya sangat berbau kedigdayaan Jepang. 


Corong Perjuangan

Sepeninggal kekalahan Jepang, berbagai stasiun radio diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Tidak sedikit stasiun radio itu berpindah tangan lewat suatu aksi perebutan yang digawangi pemuda. Materi siaran pun kini berubah, tidak lagi menyiarkan propaganda Jepang namun berita-berita perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. 

Diungkapkan oleh M. Yanis dalam catatan hariannya yang dikemas dalam Djampea: Novel Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat, radio monyet adalah bahasa rakyat sehari-hari yang dilekatkan pada alat komunikasi ini. Siaran radionya berasal dari Radio Nippon Hosyokyoku, dan penyiarnya sebagian besar juga masih sama saat Jepang masih berkuasa. Penyiarnya kadang juga tergabung dalam organisasi-organisasi media atau seni yang sebelumnya bentukan Jepang. Seperti Abdul Rahman Oembri, yang juga tergabung dalam Eiga Haikyusha atau Badan Distribusi Film. 

Abdul Rahman Oembri punya kenangan tersendiri bagi masyarakat Pontianak di masa-masa awal kemerdekaan. "Suara yang berat, menggetar, dan menggelegak seperti guntur yang mendahului hujan lebat pada penghujung musim kemarau seolah-olah hanya dimiliki oleh seorang saja: Abdul Rahman Oembri", kenang Yanis. 

Setidaknya hingga bulan September-Oktober tahun 1945, radio monyet masih beroperasi di Pontianak dan saban waktu menyiarkan berita perjuangan. Kalau ada isi (siaran) pidato yang kena di hati orang banyak, maka pendengar yang mengelilingi sekitar radio monyet itu bersorak. Kebetulan juga Abdul Rahman Oembri tergabung dalam organisasi Pemuda Penyongsong Republik Indonesia (PPRI), dan karena bekerja sebagai penyiar radio ia didapuk pula sebagai juru bicara organisasi itu.

Di antara isi siaran radio monyet yang berhasil menggerakkan semangat rakyat di Pontianak ketika itu ialah persoalan informasi akan datangnya kembali Belanda (NICA) dengan membonceng tentara sekutu (Australia). 

"Itu semua adalah tantangan di hadapan kita di samping yang lain-lain, konsekuensi perjuangan. Kalau Australia datang bagaimana sikap kita? Akan kita tegaskan kepada mereka pendirian kita. Bahwa sekarang Pemerintah RI yang berkuasa. Penyerahan kekuasaan kepada NICA akan kita tolak sekeras-kerasnya. Hidup Republik Indonesia! Merdeka!", demikian petikan siaran pidato Abdul Rahman Oembri yang dicatat oleh M. Yanis. Disusul pekikan merdeka bersahut-sahutan di sekitar radio monyet.

Pada 22 Oktober 1945, radio monyet di Pontianak berhenti beroperasi karena Pemerintah NICA berhasil mengambil-alih admnistrasi pemerintahan untuk seluruh Keresidenan Kalimantan Barat. 


Penulis: M. Rikaz Prabowo
Share:

0 comments:

Post a Comment