Surat Yang Membangkitkan Semangat: Mengenang J.C Oevaang Oeray

J.C Oeavaang Oeray
(sumber: arpusda pontianak)

 18 Agustus 1922 Johanes Chrisostomus Oevaang Oeray lahir di Kedamin Kapuas Hulu. Kesadaran perlunya memajukan masyarakat Kalimantan Barat khususnya suku Dayak mulai tumbuh dan disuarakan ketika sekolah Seminari. Meski berbuah dikeluarkan dari sekolah, ia sukses menapaki karir hingga berhasil menjadi Gubernur Kepala Daerah asli Kalimantan Barat pada 1960. 

 

Oevang Oeray lahir  dari orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani. Ia anak keempat dari empat bersaudara. Selain membantu orang tuanya bertani, ia menempuh pendidikan di Volkschool atau Sekolah Rakyat (SR). Setelah lulus ia memilih melanjutkan pendidikannya di Sekolah Seminari Katolik Nyarumkop, Singkawang selama enam tahun. Kemudian Oeray melanjutkan lagi ke tingkatan lebih tinggi yakni Sekolah Seminari Pastor.[1] 

Sejak sekolah di Seminari kesadaran Oeray akan nasib bangsa Indonesia terutama Suku Dayak mulai tergugah. Ia mulai memikirkan kondisi sosial masyarakat Dayak yang harus ditingkatkan dan diperjuangkan secara politik. Pada tahun 1941, Oevaang Oeray menulis surat yang ditujukan kepada guru-guru Sekolah Katolik yang sedang mengadakan retreat (tur rohani) tahunan di Sanggau.  Surat tersebut pada intinya berisi ajakan kepada guru-guru sekolah Katolik untuk memikirkan perbaikan nasib masyarakat Dayak yang terus dalam kondisi memperihatinkan.

Retreat dipimpin oleh AF. Korak, J.R Gielling Laut, dan M. Th Djaman. Efek dari surat Oeray itu melahirkan kebulatan tekad untuk membentuk organisasi yang memperjuangkan nasib suku Dayak di forum politik. Akan tetapi hal ini harus dibayar mahal dengan dikeluarkannya Oeray dari Seminari Pastor yang mengejutkan para pimpinannya. Oeray dianggap terlalu jauh membawa permasalahan politik ke dalam kegiatan kegerejaan yang seharusnya harus bebas dari muatan tersebut.[2]

Pembentukan organisasi itu baru terealiasi paska kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 3 November 1945. Organisasi itu bernama Dayak in Action (DIA) yang dibentuk dalam rapat para guru dan pemuka Dayak di Putussibau. DIA menjadi embrio bagi perjuangan dan kebangkitan Dayak yang masih berhubungan dengan berdirinya Partai Persatuan Dayak (PPD) kelak. Pada pertemuan tersebut disepakati juga Franciskus Conradus Palaunsuka, seorang guru sekolah Katolik, sebagai ketua pertamanya. [3]

Pemerintah NICA-Belanda pada Januari 1946 membentuk Dayak Affairs Office (DAO) atau Kantor Urusan Dayak dan diketuai oleh Oevaang Oeray.[4] Menjadikan dalam sejarah beliaulah pertama kali orang Dayak yang menjadi kepala suatu kantor dalam pemerintahan. Karir Oevaang dalam bidang politik juga berhembus bagus, ia masuk dalam Dewan Kalimantan Barat (DKB) yang dibentuk pada Oktober 1946. Dalam Dewan itu ia bersama seluruh anggotanya bertugas memberikan masukan dan pertimbangan untuk Asisten Residen.[5]

Pada 1 Oktober 1946, DIA berganti nama menjadi Partai Persatun Dayak (PPD) dengan Ketua Umumnya F.C Palaunsuka dan Ketua dijabat oleh Marinus Andjioe.  Akan tetapi selang beberapa bulan kemudian pada Desember 1946, PPD menetapkan pemindahan kedudukan sekretariat ke Pontianak. Hal ini bertujuan untuk dapat lebih berpartisipasi pada pertumbuhan politik di Pontianak, selain itu dengan berkedudukan di ibukota provinsi juga akan menjadi nilai prestis tersendiri bagi partai.[6] Dengan begitu dibentuklah Dewan Pimpinan Pusat yang diketuai oleh Oevaang Oeray terhitung sejak 1 Januari 1947.

Pada 12 Mei 1947 dibentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang dipimpin oleh Sultan Hamid II. Kali ini Oevaang duduk mendapat jabatan baru, anggota Badan Pemerintah Harian (BPH-DIKB), bertugas untuk membantu Kepala DIKB. Meskipun cukup disayangkan oleh sebagian pihak, namun ketergabungan ia dalam BPH-DIKB merupakan tekad untuk tetap dapat mengangkat derajat etnis dayak paska kemerdekaan agar sejajar dan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan dan administratif.[7]

Perubahan politik nasional yang sangat cepat di sekitar tahun 1950 membuat dirinya sebagai Ketua PPD harus segera mengambil keputusan yang paling realistis dan menguntungkan. Kala itu muncul aksi-aksi dan tekanan agar DIKB bergabung dalam RI, ditengah kondisi RIS yang semain tidak kondusif. Pada 12 April 1950 ia membacakan surat keputusan partai yang menyatakan bahwa:[8] pertama, mendukung pembentukan dan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi negara kesatuan dengan otonomi seluas mungkin dan jaminan tidak mengurangi wilayah Kalimantan Barat. Kedua, setiap wilayah mempunyai hak untuk adanya DPRD. Ketiga, RIS yang meleburkan diri harus berpusat di Jakarta. Keempat, Kalimantan Barat agar dipersiapkan menjadi provinsi yang mandiri mengingat faktor geografi, strategi, dan ekonomi. Kelima, terciptanya kemanan dan ketertiban.

Bagi sebagian orang, sikap politik PPD waktu itu mungkin terlalu opurtunis. Akan tetapi tindakan ini adalah hal yang realistis. Kepentingan politik mereka tidak bisa lagi dipertahankan lebih lama dalam rumah besar RIS dan DIKB yang sudah dapat ditebak bagaimana nasibnya. Dengan mengalihkan dukungan kepada RI, maka kebangkitan politik masyarakat Dayak akan tetap berlanjut dan kembali diberi kesempatan dalam jabatan administratif.

 

Menjadi Gubernur Kepala Daerah

Perhelatan Pemilu 1955 di Kalimantan Barat menjadi titik puncak keberhasilan politik lokal yang dibangun oleh PPD. Secara mengejutkan PPD, berhasil mendulang suara cukup banyak di lingkup Kalimantan Barat. Dalam Pemilu DPR 29 September 1955, PPD meraih 146.054 suara (31%) dan berada di urutan kedua setelah Masyumi dengan 155.173 suara atau 33%. Sedangkan Pemilu Konstituante PPD keluar sebagai juara dengan raihan 157.490 suara atau 33%  berbanding Masyumi 152.715 suara atau 32%.[9]

Kesuksesan PPD ini adalah berkat kerja keras segenap petinggi dan kader partai yang saat itu sangat militan. Sejumlah program konsolidasi melalui beberapa kongres dilasanakan saban tahun sejak tahun 1950. Partai ini memang telah menyiapkan jauh-jauh hari untuk bertarung dalam pemilu. Tidak ketinggalan pula kader-kader PPD cukup aktif melakukan turne ke berbagai daerah hingga pelosok demi menggalang massa pemilih.[10]

Keberhasilan itu membawa dampak positif dimana PPD berhasil mengantarkan kadernya dalam kursi mayoritas di DPRD Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu. Setali tiga uang dengan kursi DPRD Provinsi yang juga didominasi PPD. Hasil positif ini terus berlanjut pada Pemilu Lokal 1958 dimana empat kader PPD berhasil menjadi Bupati di Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu.

Ditingkat nasional, PPD berhasil mengirimkan 1 kadernya dalam kursi DPR dan 3 orang dalam Konstituante. Salah satunya adalah J.C Oevaang Oeray. Selama di dewan yang bertugas merumuskan konstitusi baru itu, Oevaang dikenal sebagai tokoh yang tidak hentinya mendorong agar Pancasila ditetapkan menjadi dasar negara. Dalam pidatonya di sidang Konstituante tanggal 10 November 1956 ia lantang menegaskan: “…untuk menghindari kebuntuan politik yang berimplikasi kepada perpecahan berskala nasional, maka bangsa Indonesia mesti menjadikan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara. Karena hanya dengan Pancasila keberagaman dan kebhinekaan masyarakat bisa terjaga dengan baik”.[11]

Pada tahun 1959 PPD mengadakan kongres untuk mencalonkan Oevaang Oeray sebagai Gubernur Kepala Daerah asli dan pertama di Kalimantan Barat. Dibilang pertama, sebab dua gubernur sebelumnya berstatus “Penjabat (pj)” yang diangkat oleh pemerintah pusat. Agar dapat diajukan sebagai calon Kepala Daerah untuk selanjutnya ditetapkan oleh Presiden RI, maka PPD berkoalisi dengan PNI.[12] Pada 17 Maret 1959 dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 59/M tentang penetapan J.C Oevaang Oeray, sebagai Kepala Daerah Daswati I Kalimantan Barat.[13]

Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden No. 465/M Tahun 1959 tanggal 24 November 1959 Oevang Oeray ditetapkan sebagai gubernur terpilih oleh Presiden Sukarno dengan menyisihkan R.P.M Lumban Tobing dari PNI. Keputusan itu juga sebagai instruksi untuk menyatukan jabatan Gubernur dan Kepala Daerah yang sebelumnya terpisah. Maka terhitung sejak 1 Januari 1960 J.C Oevaang Oeray mulai menjabat sebagai Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat.[14] Semasa menjabat, Oevaang dikenal mendorong banyak pembangunan di wilayahnya di berbagai sektor. Dalam bidang pendidikan, ia termasuk tokoh yang turut membidani lahirnya Universitas Daya Nasional hingga kemudian negerikan menjadi Universitas Negeri Pontianak. Sedangkan dalam sektor ekonomi, ia turut menekan Peraturan Daerah tentang pendirian Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan modal awal dari APBD yang kala itu dialokasikan sebesar 20 juta rupiah.

J.C Oevaang Oeray adalah simbol kemajuan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat yang mulai ia rintis melalui jalur politik sejak masih dalam seminari hingga melalui PPD. Tokoh pancasilais yang teguh mempertahankan agar Pancasila menjadi dasar negara. Ia membuktikan, bahwa masyarakat Dayak mampu menjadi Gubernur yang sebelumnya mungkin tidak pernah terpikirkan.

Penulis: M. Rikaz Prabowo


[1] Syafaruddin Usman dan Aju, J.C Oevaang Oeray: Memoar Politik. Penerbit Samudera Mas, Pontianak, 2012 Hllm: 133-134

[2] Taufiq Tanasaldy, Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia: Dayak Politics of West Kalimantan, KITLV, Koninklijk Brill NV, Leiden, 2014: hlm. 90

[3] Usman dan Aju, op.cit. hlm. 75

[4] Tanasaldy, op.cit. hlm. 86

[5] Ibid., hlm. 81

[6] Ibid. hlm. 92

[7] Hiski Darmayana, Oevaang Oeray Pejuang Dayak Soekarnois, Berdikari Online 2 Januari 2014, diunduh dari http://www.berdikarionline.com/oevaang-oeray-pejuang-dayak-soekarnois/ pada 24 Agustus 2018

[8] Aju, J.C Oevaang Oeray, Dari Federasi ke NKRI, Derwati Press, Pontianak, 2017: hlm. 96-97

[9] Tanasaldy, op.cit. Hlm. 100

[10] Seperti dikisahkan oleh Iman Kalis, Ketua PPD di Sintang tahun 1954, ia melakukan turne bersama di wilayah sepanjang Sungai Sepauk. Iman Kalis dan rombongan berhasil meyakinkan masyarakat Dayak yang sebenarnya sudah menjadi anggota Parpol lain untuk pindah ke haluan ke PPD. Christophorus Franciscus Iman Kalis, Sebuah Otobiografi, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2014, Hlm. 438-439

[11] Aju, op.cit. hlm. 117.

[12] PPD awalnya mengajak Masyumi untuk berkoalisi, namun ditolak karena hendak mengajukan calon sendiri. PPD kemudian mengajak PNI berkoalisi, dengan kesepakatan bila menang Abdulsyukur (PNI) duduk sebagai Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Lihat Kalis, op.cit. Hlm. 291

[13] Nugraha, op.cit., Hlm. 141

[14] Davidson, op.cit., Hlm. 16 Lihat catatan kaki no. 70




0 comments:

Post a Comment