Pers Merah Bikin Gerah (Bibit Gerakan Komunisme di Borneo Barat)

Masuknya ide-ide kiri dan ajaran komunisme di Borneo Barat diawali dari terbitnya Surat Kabar “merah”. Menjelma jadi corong agitasi dan propaganda gerakan marxisme yang membuat gerah pemerintah kolonial dan penguasa feudal.

Sejarah panjang hadirnya Komunisme di Indonesia tidak hanya milik massa proletar di Pulau Jawa dan Sumatera. Apabila ditelusuri lebih jauh, di awal tahun 1920 ide-ide yang juga dikenal sebagai Marxisme itu juga mulai bersemi di Borneo Barat (sebutan Kalimantan Barat pada masa Hindia Belanda). Akan tetapi bukan melalui sebuah organisasi, seperti organisasi buruh ataupun politik, melainkan lewat penerbitan surat kabar. Setidaknya ada tiga surat kabar di Borneo Barat yang baik secara langsung maupun tidak langsung menyatakan berhaluan “merah”, antara lain Halilintar (1923-1924), Warta Borneo (1924), dan Berani (1925).


Surat kabar berhaluan komunisme ini sebenarnya bukan barang baru di Hindia Belanda waktu itu, sebut saja seperti harian Soeara Rakjat yang menjadi terbitan resmi SI Merah di Semarang. Diterbitkan dengan tujuan utama menyebarkan paham komunisme, surat kabar ini juga berupaya membuka kesadaran rakyat yang tertindas dan diperas tenaganya oleh kaum kapitalis untuk melawan, setidaknya dengan protes atau tulisan. Berita-berita dan artikel yang dimuat lebih ditonjolkan mengenai perjuangan kaum buruh, perjuangan kelas, kaum miskin atau proletar, dalam menghadapi kaum kapitalis.

Halilintar
Dalam perkembangannya, surat kabar yang terbit di Borneo Barat sekitar tahun 1920an sering kali mengalami pasang surut, termasuk yang menimpa surat kabar merah. Penyebabnya berbagai macam, namun utamanya karena satu hal, pendanaan. Seperti yang menimpa Suara Borneo  dengan hanya tiga kali terbit. Lain lagi dengan Halilintar, surat kabar yang terbit perdana sejak Juli 1923 itu sedikit lebih baik nasibnya. Berhasil terbit hingga kurang lebih dua tahun hingga 1924 sebelum akhirnya gulung tikar karena sebab yang sama. Padahal harga surat kabar ini dapat ditebus dengan murah, harga berlangganannya saja untuk satu hingga tiga bulan antara  1–3. Halilintar dinahkodai oleh Sutan Maulana Anwar, M. Noerdin, dan Djeranding Abdurrahman.
Halilintar dikenal sebagai surat kabar progresif dimana berita dan artikelnya sangat pedas melakukan kritikan dan kecaman yang membuat gerah pemerintah kolonial. Dari slogannya saja: “Siapa yang menghisap kita? Hai Kaum Buruh Seluruh Dunia kumpullah menjadi satu!”, sudah menggambarkan arah politik surat kabar ini yang menganut komunisme. Dalam Pers dan Pemikiran Intelektual di Borneo Barat Masa Kolonial, yang ditulis oleh Dana Listiana, Karel Juniardi, dan Raistiwar Pratama (2014), tulisan yang dimuat dalam Halilintar berisi berbagai propaganda komunisme. Berusaha untuk menyadarkan rakyat tentang bahaya kaum kapitalis bagi golongan proletar. Misalnya, dalam edisi 19 tahun 1923, telah dimuat kolom berjudul “Cintailah bangsamu! Cintailah tanah airmu!”, ditulis oleh S.M Anwar yang berisi pandangannya mengenai hidup yang bermakna dengan tidak mementingkan diri sendiri tetapi juga peduli dengan penderitaan atau nasib orang terutama yang tertindas dan teraniaya.
Ada kalanya pula Halilintar memuat artikel agitasi dan propaganda, seperti dalam edisi no. 22 tahun 1923 yang mengajak guru-guru Hindia Belanda untuk mogok menuntut perbaikan kesejahteraan seperti yang dilakukan di Inggris. Halilintar diketahui juga pernah memuat          surat dari Semaun, ketua PKI yang isinya memotivasi rakyat Hindia Belanda, termasuk rakyat Borneo Barat agar tetap teguh dalam perjuangan melawan kaum kapitalis. Hal ini kemudian ditimpali oleh redaksi untuk mengingatkan rakyat Borneo Barat untuk tetap melanjutkan cita-cita perjuangan kaum buruh. Demikian dalam Halilintar edisi nomor 18 tanggal 17 November 1923. Selain kolom artikel maupun surat dari pembaca yang membuat merah perasaan pemerintah kolonial, pada rubrik iklan Halilintar bahkan pernah memuat iklan penjualan buku pedoman PKI yang diterbitkan PKI cabang Semarang. Hal itu dimaksudkan agar pembaca di Halilintar dapat lebih mengenal paham komunisme yang disebarluaskan melalui berbagai media.
Karena muatan dalam Halilintar yang cukup pedas itu, awak-awak redaksinya masuk dalam daftar orang yang harus diawasi oleh aparat pemerintah. Pada edisi 41 tahun 1924, diberitakan telah terjadi penganiayaan terhadap redaktur Halilintar yang dilakukan oleh seorang Belanda bernama Borger, sembari melakukan pengancaman. Penganiayaan itu karena Borger merasa tidak terima dengan pemberitaan Halilintar pada edisi-edisi sebelumnya, yang sering mengkritik golongan Belanda yang dipandang sebagai golongan pemeras rakyat.

Organ Sarekat Rakyat
Surat Kabar Halilintar pada tahun 1924, tepatnya sejak edisi 44 mengukuhkan diri sebagai organ dari organisasi Sarekat Rakyat (SR), namun dengan perubahan nama menjadi Halilintar Hindia. SR sendiri merupakan organisasi yang kala itu menjadi underbouw PKI yang embrionya berasal dari pecahan Sarekat Islam. Memang pula, anggota SR sebelumnya dikenal sebagai pengurus Sarekat Islam dan Nationaal Indische Partij (NIP). Halilintar Hindia mencantumkan Sarekat Rakyat Pontianak sebagai penebit-pengurus administrasi langganan. Beberapa tokoh pengurusnya antara lain Jaya Pranata, Djeranding Abdurrahman, dan Sutan Sintaro.
Sebagai penanda perubahan nama surat kabar ini, telah bergabung pula (sekaligus dalam organ SR) beberapa aktivis PKI seperti Sutan Maulana Anwar, M. Dahlan Sutan Lembaq Toeah, M. Sarman Sariban, dan Abdul Chalid Salim yang merupakan adik kandung Haji Agus Salim (tokoh Sarekat Islam). Keempat tokoh tersebut dikenal sebgai simpatisan dan aktivis PKI yang kerap merilis pidato atau pemikiran para tokoh komunis Indonesia kala itu. Oleh karenanya, keempat tokoh yang kebetulan berasal dari Sumatera Barat itu juga turut masuk dalam radar pengawasan aparat pemerintah kolonial, terutama dari Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Intelejen Politik). Demikian dalam Wacana Nasionalisme dalam Pers Kalimantan Barat pada Masa Pergerakan Kebangsaan oleh Dana Listiana (2019). Soal isi muatan, Halilintar Hindia juga tidak jauh berbeda dari nama sebelumnya yang kental akan gagasan anti kolonialisme dan anti imperialisme.
Halilintar (dan Halilintar Hindia) bukan satu-satunya pers merah yang menjadi organ Sarekat Rakyat (SR). Pada tahun 1924 terbit Warta Borneo (WB) menggantikan Halilintar yang juga berhenti terbit karena masalah pendanaan. Warta Borneo terbit perdana pada 1 November 1924 yang digawangi Sutan Bujang Gadang Isa dan Boullie. Dengan mengusung slogan “satu buat semua, semua buat satu”, WB menganggap bahwa persatuan adalah usaha keluar dari kapitalisme yang selama ini menguntungkan pemerintah kolonial dan pemodal besar serta elite-elite bumiputera yang berpengaruh.
Pada edisi 8 November 1924, redaksi WB menyentil negara-negara kolonialis kulit putih yang tidak juga memberikan kemerdekaan pada negara-negara di Asia. Seperti penjajahan Amerika Serikat di Filipina dan Inggris di India. Termasuk yang terjadi di Hindia Belanda, dimana redaksi mencontohkan Nationaal Indische Partij (NIP) saat menuntut kemerdekaan pada Kerajaan Belanda. Diluar isu kemerdekaan, Any Rahmayani, dalam Wacana Nasionalisme dalam Pers Kalimantan Barat pada Masa Pergerakan Kebangsaan (2019), sebagai isu utama yang menjadi bahan agitasi dan propaganda, WB mengangkat permasalahan Belasting dan Hereendienst yang diterapkan pada rakyat. 
Belasting adalah pajak yang dipungut pemerintah kolonial untuk sejumlah pendanaan yang dirasa memberatkan, seperti pajak kendaraan dan pajak jalan yang dikenakan kepada supir-supir antar kota. Adapun Heerendienst adalah pelayanan yang tidak dibayar untuk semua jenis proyek dan pekerjaan yang mengerahkan tenaga rakyat. Kerja ini bersifat mutlak sebagai sebuah kewajiban pelayanan bagi tuannya, baik pemerintah kolonial maupun penguasa feudal, dan pelaksanaannya sering menyimpang dari yang seharusnya. Terang Any Rahmayani seperti pada penelitian di atas. Sebagai contoh, WB pernah mengangkat tulisan kematian seorang pekerja Dayak yang bekerja di luar batas kewajiban oleh Tengku A. Hamid (Pangeran Sukadana) pada edisi 29 November 1924.

Kritik Sosial
Surat kabar Warta Borneo yang dikenal keras melakukan kritikan pada pemerintah kolonial dan elite bumiputera yang dianggap segolongan itu, pada akhirnya juga harus gulung tikar karena alasan pendanaan. Sebagai penerusnya, muncul surat kabar ‘Berani’ yang terbit perdana pada 4 Juli 1925 dan masih dipimpin oleh Boullie sebagai redakturnya. Dengan mengusung slogan “Barangsiapa yang benci pada kita, ialah musuh kita”, Berani memposisikan diri sebagai koran Merah yang isi muatannya tidak jauh berbeda dengan Halilintar dan Warta Borneo. Soedarto dkk, dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Kalimantan Barat, menyebutkan berkala ‘Berani’ mencerminkan haluan politik yang dianut oleh Sarekat Rakyat (1978: 25). Dimana telah diketahui bahwa Sarekat Rakyat menyatakan diri sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Artikel yang dimuat dalam Berani umumnya berisi tulisan yang menggambarkan bagaimana sengsaranya kehidupan rakyat baik sebagai buruh, petani, pedagang, ataupun profesi lainnya. Tidak lupa pula Berani juga memuat berbagai kritik sosial yang tidak hanya ditujukan pada pemerintah kolonial, namun juga pada golongan Eropa kelas atas dan penguasa feudal pribumi. Sebagai contoh, dalam edisi 18 Juli 1925, Berani memuat berita tentang kesengsaraan supir antar kota yang dibebani berbagai aturan yang mempersulit pekerjaan mereka. Utamanya persoalan Rijbewijs, yang saban ditebus ketika hendak berkendara keluar Pontianak dan harus megambilnya secara antri berjam-jam di daerah Sungai Jawi. Redaksi menyindir petugas pribumi penjual Rijbewijs yang memakan uang keringat rakyat.
Berita Lawas: Itu Siksaan “Plaatselijk Fond”.
Berani juga cukup keras melakukan kritik sosial bukan saja antara perlakuan pemerintah kolonial ke rakyat, namun juga perlakukan antara si kaya dengan si rakyat miskin. Sebagai contoh, masih pada edisi 18 Juli 1925, Berani menyoroti keinginan Tuan Syeh Hasan bin Salim Saewak yang dikenal sebagai rentenir dan suka membungakan uang kepada rakyat, ingin mendirikan sekolah agama di Pontianak.  “Sungguh sayang sekali! Sekarang orang tanya pada Syeh Hasan Buncit: dalam adanya ini sekolah agama, apa tuan bermaksud hendak mencari nama, apakah tuan hendak membuat amalan pada kaum muslimin? Kalau memang tuan hanya bermaksud membuat amalan, haruslah perasaan tuan yang keruh itu tuan lenyapkan dengan segera. Itulah permintaan kami!, demikian redaksi Berani menulisnya.
Sebagai surat kabar merah yang berhaluan komunisme, tentunya Berani bersikap bersebrangan dengan kaum-kaum feudal lokal yang menjadi sasaran empuk untuk dikritik. Isu-isu ini dimunculkan sebagai tujuan komunisme agar tercipta masyarakat tanpa kelas. Berani menyindir Penambahan Sanggau yang membeda-bedakan adat pernikahan antara masyarakat keturunan bangsawan dan yang bukan. Dalam artikel berjudul “Sanggau satu negeri yang kecil, adat disitu terlalu ganjil”, redaksi menganggap tindakan itu semena-mena dan membedakan-bedakan ciptaan tuhan berdasarkan derajatnya. Kritik juga dilancarkan ke daerah Silat (dekat Sintang), dimana keluarga Raja Silat kerap mencemooh rakyat yang menggunakan pakaian warna kuning yang baginya hanya pantas dikenakan oleh keturunan raja. Menurut redaksi, peraturan itu tidak berdasar, karena setiap rakyat berhak menggunakan pakaian berwarna apapun. Demikian dalam Pers dan Pemikiran Intelektual di Borneo Barat Masa Kolonial (2014: 54).

Persbreidel dan Penangkapan
Kerasnya tulisan dan artikel dalam surat kabar-surat kabar tersebut mendorong pemerintah kolonial akhirnya terpaksa menertibkan para redaktur atau jurnalisnya. Haji Rais Abdurrahcman misalnya, sebagai salah satu redaktur Halilintar ia bersama pengurus surat kabar itu sempat dijebloskan ke penjara Sungai Jawi. Rekannya yang lain, Raden Mahmud Susilo Suwignyo menuturkan, Haji Rais meminta pembebasan pada Sultan Syarif Muhammad (Sultan Pontianak). Akan tetapi Haji Rais akhirnya menolak pertolongan dari sang Sultan karena syarat-syaratnya dirasa bertentangan dengan pendiriannya. Permintaan Sultan, Haji Rais harus mengajukan permohonan maaf dan nantinya akan diangkat menjadi pegawai keraton dengan gaji 250. Demikian Lisyawati Nurcahyani dalam Wacana Nasionalisme dalam Pers Kalimantan Barat pada Masa Pergerakan Kebangsaan (2019). Nasib yang menimpa Boullie sebagai redaktur Berani sedikit lebih baik. Pada harian Halilintar 18 Juli 1925, Boullie menuliskan bahwa dirinya telah dipanggil oleh Hoofdjaksa dan dicecar banyak pertanyaan soal aktivitasnya dalam Berani.
Surat kabar Berani pada akhirnya juga tidak bertahan terlalu lama, sebab pada tahun 1926 tidak dijumpai lagi penerbitan yang berkantor di Kampung Darat itu. Pada tahun itu pemerintah kolonial lebih mengetatkan penerbitan surat-surat kabar yang tulisan nya dianggap membahayakan kekuasaan mereka, tidak hanya di Borneo Barat namun untuk seluruh Indonesia. Meskipun begitu, pergerakan Sarekat Rakyat di Pontianak terus menggeliat dan mampu meraih kepercayaan massa yang terus bertambah. Pada November 1926, sebagai upaya penumpasan Pemberontakan PKI tahun 1926 yang terjadi di Jawa dan Sumatera. Aparat kolonial melakukan pula penangkapan atas mereka yang dicurigai dan terlibat pada pergerakan komunis di wilayah ini. Sebanyak 10 orang tokoh Sarekat Rakyat ditangkap dan dibuang ke Boven Digul atas keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1927. Orang-orang tersebut antara lain: Gusti Sulung Lelanang, Gusti Situt Mahmud, Gusti Johan Idrun, Ahmad Sood, Mohammad Hambal, Marzuki, Gusti Hamzah, Djeranding Abdurrahman, Mohammad Soho, dan Haji Rais bin Abdulrahman. (Ya’Ahmad dkk, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat, 1982).

Penulis: M. Rikaz Prabowo

0 Comments:

Post a Comment