Gusti Muhammad Affandi Rani mengenakan medali dan Bintang Mahaputra. (Foto: Tribun Pontianak) |
Bagi penguasa golongan ini, kemerdekaan Indonesia adalah suatu yang final dan sudah semestinya wilayah mereka melebur bersama RI. Daintara raja-raja tersebut ialah Gusti Muhammad Affandi Rani dari Landak. Di struktur pemerintahan Kesultanan Landak, statusnya sebenarnya ialah Wakil Panembahan. Ia menggantikan Panembahan Gusti Abdul Hamid yang wafat dibantai Jepang pada 1944. Pasca kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, ia diangkat menjadi Wakil Panembahan. Ia terhanyut dalam suasana euforia kemerdekaan bersama pemuda-pemuda republiken kala itu.
Ia turut membidani kelahiran organisasi Persatuan Rakyat Indonesia (PRI) Landak pada 29 Maret 1946 sebagai Kepala Penanggungjawab. PRI ialah suatu organisasi pemuda yang banyak menghimpun eks-Kaigun Heiho dan Seinendan yang memiliki semangat patriotik tinggi. Di masa-masa awal kemerdekaan di wilayah itu, aktivis-aktivis PRI aktif menyebarkan berita-berita kemerdekaan dan propaganda anti Belanda. PRI sering mengadakan rapat untuk mengkonsolidasikan gerakan mereka di keraton Landak yang tentu saja difasilitasi oleh sang Wakil Panembahan.
Pada 9 Oktober 1946, PRI berubah menjadi Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) dan menyatakan diri sebagai organisasi badan perjuangan/kelaskaran. GERAM ingin ikut ambil bagian memanfaatkan momentum perlawanan Barisan Pemberontak Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) yang melakukan aksinya merebut Bengkayang kurang lebih 1 hari pada 8 Oktober 1946. Rapat persiapan perlawanan dilaksanakan di Keraton Landak, dan diputuskan akan dilaksanakan pada malam 11 Oktober 1946 dengan tujuan utama merebut kota Ngabang. Objek vital yang harus ditaklukkan yakni tangsi KNIL, Pos Polisi, dan Kantor Controleur Ngabang. Demikian M. Rikaz Prabowo dalam Revolusi Oktober 1946 di Kalimantan Barat (2019).
Perlawanan itu akan dipimpin sendiri olehnya. Selaku Komandan GERAM sekaligus tokoh masyarakat yang dihormati rakyat Landak, ia juga memberikan siraman semangat yang membuat para pejuang maupun laskar tersihir seolah siap bertempur hingga titik darah penghabisan. Kata-kata dari mulut sang wakil panembahan laksana suatu titah bagi rakyat yang harus dijalankan. Dalam pidatonya di pertemuan tersebut, ia berkata:
"berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia ini ketegasan. Bukan pilihan, tapi kewajiban. Indonesia milik kita, maka bela Indonesia hingga hembus nafas terakhir. Aku paling depan memimpin rakyat Landak, majulah berjuang dan berperang. Harus menang. Sekalipun kita mati, untuk Indonesia kira rela dan tahtaku adalah untuk Indonesia".
Tegas sang Wakil Panembahan yang pada hari pelaksanaan benar-benar memimpin serangan hingga keluar masuk hutan. Kutipan pidato itu dituturkan oleh Syafaruddin Usman (Tribun Pontianak, 2019).
Perlawanan ini memang gagal merebut Kota Ngabang. Akan tetapi menurut catatan, bendera merah putih sempat dikibarkan oleh Ya' Nasri Usman, Laskar GERAM, di Kantor Controleur sekitar tengah malam. Atas pengabdiannya untuk negara tersebut, ia dianugerahi Bintang Mahaputra oleh Pemerintah RI. Perlawanan Landak adalah satu sekuel dari Perlawanan Oktober 1946 di Kalimantan Barat untuk menentang kekuasaan NICA dan merebutnya menjadi bagian dari RI. Perlawanan bulan itu terjadi di Bengkayang, Ngabang, Pontianak, dan Nangapinoh. Beberapa kota juga direncanakan akan digerakkan perlawanan namun gagal sebelum dilaksanakan, yakni di Singkawang, Pemangkat, dan Sintang.
Penulis: Salsafira Anjani
1 Comments:
Bagus sekali perjuangan beliau, perlu dibuatkan biografi perjuangan beliau lebih dalam lagi...
Post a Comment