Hamengkubuwono IX Jadi Panglima APRIS

PM Mohammad Hatta dan Menteri
Pertahanan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX
(Sumber: ANRI)
Ketika RIS berdiri, disepakati pula pembentukan APRIS dimana Panglimanya dapat dirangkap oleh Menteri Pertahanan.

Sejarah panjang Tentara Nasional Indonesia yang tahun ini telah berusia 75 tahun tidak bisa dilepaskan dari metamorfosa kelembagaan hulubalang negara itu dari masa ke masa. Pada saat awal-awal kemerdekan, masih bernama Badan Keamanan Rakyat/BKR (22 Agustus 1945), kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat/TKR (5 Oktober 1945), Tentara Republik Indonesia/TRI (26 Januari 1946), dan kemudian barulah menjadi Tentara Nasional Indonesia/TNI (3 Juni 1947). Seiring dengan keberhasilan KMB 27 Desember 1949, berdiri Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dimana menurut perjanjian tersebut TNI akan menjadi intinya.


Status TNI yang menjadi inti dalam APRIS sebenarnya bukan sesuatu yang baru, atau 'ujug-ujug' diputuskan dalam KMB. Pada 2 Agustus 1949, Konferensi Inter Indonesia (KII) yang mempertemukan RI dan BFO (negara dan daerah federal di luar RI) sepakat untuk membentuk APRIS sebagian tentara dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam APRIS itu, telah disepakati pula oleh kedua belah pihak bahwa TNI akan menjadi inti (kern), bersama-sama dengan tentara bangsa Indonesia lain yang tergabung dalam KNIL, Koninjklijk Marine (AL Belanda), Militaire Luchtvaart (AU KNIL), Territorial Batallion, dan Veiligheids Batallion (Batalyon Keamanan). Sementara anggota-anggota yang bukan bangsa Belanda, dapat pula diberi kesempatan untuk menjadi warga negara dan bergabung dalam APRIS atau diperkerjakan sebagai Instruktur dalam kerangka Military Mission. Demikian dalam Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia oleh R.Z Leirissa (2006: 309)


Pemilihan Menteri Pertahanan
Setelah Konferensi Meja Bundar usai, pada 17 Desember 1949 Sukarno dilantik sebagai Presiden RIS. Dipilihnya Sukarno berdasarkan rapat pemilihan presiden dan wakil presiden RIS di Yogyakarta pada 15-16 Desember 1949, yang melibatkan DPR dan Senat RIS. Keesokan harinya Sukarno mengangkat 4 tokoh sebagai formatur Kabinet RIS lewat Keppres No. 1 Tahun 1949, yakni Drs. Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sultan Hamid II, dan Mr. Ide Anak Agung Gede Agung. Pada 20 Desember 1949, Presiden Sukarno melantik Kabinet RIS pertama dimana duduk sebagai Menteri Pertahanan ialah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. (Mohammad Hatta, Menuju Gerbang Kemerdekaan, 2011)

Dipilihnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) sebagai Menteri Pertahan (Menhan) dianggap oleh sebagian pihak kurang pas. HB IX dianggap tidak berlatar belakang militer, dalam beberapa sumber sebenarnya justru Sultan Hamid II yang diajukan sebagai Menhan namun dicoret oleh Sukarno. Apabila berkaca pada kompetensi, jelas Sultan Hamid II lebih kompeten. Hamid adalah alumni KMA Breda, pangkatnya juga tidak main-main hingga mencapai Mayor Jenderal KNIL. Sedangkan HB IX diketahui pernah berkuliah di jurusan Indologi di Leiden.

Akan tetapi bagaimana apabila dilihat dari kacamata politis? HB IX memang bukan berlatar belakang militer, namun ia berpangkat Letnan Jenderal (titular) dalam TNI. Tidak pernah sekolah komando, namun mengomandoi gerilya dibalik tembok keraton. Sultan yang terkenal bersahaja itu juga sebenarnya telah menjabat sebagai Menteri Pertahanan sejak Kabinet Hatta II pada 4 Agustus 1949. Sukarno tentu pula memiliki pertimbangan mengapa lebih memilih HB IX menjadi Menhan. Dalam hemat penulis, ratusan ribu prajurit dan pejuang RI jelas tidak akan sreg dipimpin oleh orang yang bukan berlatar belakang TNI yang dulu memerangi mereka. Sukarno juga tidak mungkin mau menanggung resiko kekecewaan dari perwira TNI. Untuk itulah Sukarno menggunakan hak prerogatifnya sebagai presiden. Seperti diketahui, RIS bukanlah negara yang menganut federalisme secara penuh. RIS menganut Quasi Parlementer dimana menteri-menteri yang ada tetap ditentukan oleh Presiden untuk mengepalai suatu Departemen (Ps.74 (3) Konstitusi RIS). Lagi pula, pemilihan HB IX yang merupakan unsur TNI sebagai Menhan sudah sesuai karena merupakan perwujudan dari kesepakatan Konferensi Inter Indonesia


Panglima Umum
Posisi Sultan Hamengkubuwono IX dalam ketatanegaraan APRIS sering kali dilihat bahwa ia hanya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Narasi-narasi yang ada hanya menyebutkan Kolonel T.B Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP). Sementara itu dalam KII, disepakati dalam permulaan RIS Menteri Pertahanan dapat merangkap sebagai Panglima Besar APRIS. Hal itu juga ditegaskan dalam Pasal 182 ayat (2) Konstitusi RIS yang bunyinya: "Pemerintah, djika perlu, menaruh tentera dibawah seorang panglima umum. Menteri Pertahanan dapat ditundjuk merangkap djabatan itu".

Pada Januari 1950, TNI mulai mengirimkan pasukannya ke wilayah luar Jawa-Sumatera ke daerah-daerah atau negara bagian yang tidak terdapat TNI. Pengiriman itu sekali lagi harus dilihat sebagai upaya fusi sesuai kesepakatan KII dan KMB bahwa pembentukan APRIS sejatinya memang gabungan antara TNI dan KNIL. Dimana TNI akan bertindak sebagai inti pasukan. Pengiriman itu ternyata mendapatkan beberapa penolakan oleh beberapa negara/daerah bagian. Petrik Matanasi dalam Sejarah Tentara: Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia, menyebutkan dalam sebuah mosi tentang peleburan ke dalam APRIS, eks-KNIL ini hanya menyetujui bahwa syarat masuknya secara sukarela dan mereka dipimpin oleh bekas perwira KNIL juga. Selain itu mereka juga menolak untuk dicampurkan dengan prajurit TNI untuk satu tahun kedepan. Penolakan ini beralasan bahwa mereka, eks-KNIL, juga mampu menjaga wilayahnya di negara dan daerah otonom RIS. (2011: 121).

Masalah dislokasi pasukan ini akhirnya menjadi pembicaraan di Kabinet RIS. Kolonel T.B Simatupang dalam keterangannya di persidangan masalah Sultan Hamid II di Mahkamah Agung tahun 1953 mengungkapkan, TNI sempat menunda pengiriman pasukan karena ramainya masalah tersebut. Kabinet RIS kemudian mengadakan sidang pada 10 Januari 1950 dan akhirnya memutuskan pengiriman pasukan diteruskan dan hak-hak dislokasi ada di tangan Menteri Pertahanan. Hal ini terungkap dalam buku Process Sultan Hamid II terbitan Persatuan Djaksa-Djaksa/Persadja (1955: 96 dan 103). Dengan demikian, berbekal keputusan sidang kabinet itu HB IX sebagai Menteri Pertahanan, menggunakan peran rangkapnya sebagai Panglima Umum untuk meneruskan dislokasi pasukan. Tidak benar apabila ada narasi-narasi yang mengatakan pengiriman pasukan itu ialah perintah HB IX semata. Sebaliknya, HB IX hanya menjalankan hasil sidang kabinet untuk tetap mengirimkan pasukan ke daerah-daerah yang belum ada TNI. Sebagai Panglima APRIS, HB IX juga tidak perlu meminta izin kepada penguasa daerah setempat untuk memasukkan TNI. Perwira TNI yang ditunjuk atau yang mewakili hanya perlu memberi tahu kedatangan TNI kepada penguasa daerah setempat. Seperti yang diketahui, sebagian dari penguasa daerah itu juga merupakan anggota Kabinet RIS. Terlebih semua penguasa daerah itu, penulis rasa dalam keadaan sadar dalam mengikuti KII dan meneken hasilnya. Jadi, semestinya pula mengetahui TNI adalah inti dari APRIS. 

Oleh: M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment