Ilustrasi Lada Putih. (merdeka.com) |
Pulau Bangka adalah pulau yang terkenal dengan sahang (lada)-nya, selain timah. Muntok White Pepper sudah melanglang buana di Eropa (khususnya Belanda dan Inggris). Menurut Mary F. Somers dalam bukunya "Timah Bangka dan Lada Mentok, Peran Masyarakat Tionghoa dalam Pembangunan Pulau Bangka Abad XVIII s/d Abad XX", menyebutkan bahwa pada abad ke-19, penanaman lada sudah menjadi aktivitas agraris yang penting. Antara 55% dan 60% penduduk Bangka menggantungkan hidup dari tanaman lada.
Menurut Kris Razianto Mada (Kompas, 2012), sebagai tanaman
pendatang, lada memang tidak bisa begitu saja tumbuh di Bangka. Berbeda seperti
di Lampung atau Aceh, yang dikenal sumber utama lada pada abad XVI-XVII, dimana lada dapat tumbuh
secara alami. Di Lampung, lada adalah tanaman yang merambat pada pohon-pohon
lain. Di Bangka, harus disediakan tiang rambatan atau junjung dalam bahasa
setempat. Kondisi tanah Bangka tidak sepenuhnya mendukung, setidaknya demikian
dicatat para ahli botani Belanda.
Di wilayah Kampung Peradong, tepatnya di dusun Menggarau, jika
melihat peta tahun 1933 (1933 Peta Bangka, nla.obj-553999488-1) dan tahun
antara 1935-1946 (Peta 1946-1935 LEMBAR 32-XXIV D) tampak beberapa buah kebun
sahang (lada) - reegelmatig aangeledge papertuinen. Di antara beberapa
kebun tersebut ada yang sedikit lebih luas ketimbang yang lainnya. Berdasarkan
informasi dari masyarakat setempat, kebun-kebun sahang tersebut adalah
mayoritas milik orang-orang Tionghoa.
Potongan Peta Pulau Bangka
Tahun 1935-1946
Memang, di Dusun Menggarau merupakan pemukiman yang termasuk banyak orang Tionghoa kala itu. Di antara kepemilikan kebun tersebut salah satunya disebut milik keluarga Li Yong Bak (panggilan lokal A Bak), hingga simpang menuju kebun tersebut disebut simpang Abak. Lewat sedikit dari arah dusun Menggarau menuju Kampung Pangek disebut Tubir (tanjakan) Bongsifat (Bong Si Fat - mungkin sebuah nama orang cina). Di sini terdapat beberapa makam orang Tionghoa (pendem-sebutan lokal) yang menunjukan adanya pemukiman orang Tionghoa di sana.
Dalam peta ini juga (1933) ada 2 buah makam Tionghoa (chineesche
graven) yang terletak di Dusun Menggarau, tepatnya di Pekal Bawah jalan
menuju Bukit Putih. Salah satunya disebut-sebut sebagai Pendem Nek/Kek Calak
(nama panggilan, nama Tionghoanya belum diketahui).
Kebun sahang yang disebut milik keluarga A Bak memiliki pondok kebun dengan dinding terbuat dari bambu (bambooe huizen). Jika dilihat dalam peta 1933, pondok kebun tersebut terdapat 2 buah, dan hanya ada di wilayah kebun A Bak tersebut. Berdasarkan tutur lisan masyarakat, keluarga A Bak adalah orang paling kaya di sana kala itu. Hal ini juga dibenarkan oleh Balog (Gunadi) Helmi (Sepupu A Pen-anak Kek Kung Chik?), anak dari Liem Kong Yam kepala kampung (waktu itu, di angkat pada saat pendudukan Jepang dan berhenti tahun 1962, karena migrasi ke Jakarta. Ia juga sebagai juru tulis Pencahahan Jiwa Pulau Bangka yang dilaksanakan oleh Bapak Bismar Siregar) seorang Tionghoa yang lahir di Menggarau dan sudah lama tinggal di Jakarta, berdasarkan dari cerita orangtuanya dahulu. Kampung ini orang Tionghoa menyebutnya dengan "Ngit Liung".
Dalam dua peta ini, juga terlihat di wilayah Kampung Peradong, di Dusun Menggarau (pekal megareu) kampungnya lebih panjang dibandingkan
dengan di Dusun Peradong (pekal peradong). Namun demikian, di Dusun
Peradong lebih melebar (luas) dibandingkan Dusun Menggarau yang hanya panjang
saja.
Dilihat dari gambaran ini, rumah penduduk yang ada di Dusun
Menggarau hanya berada di sepanjang pinggir jalan saja, hingga mendekati sungai
Pelangas (pelangas river) yang berada di antara Dusun Menggarau
dan Peradong. Berbeda dengan Dusun Menggarau, Dusun Peradong rumah penduduk
tidak hanya di sekitar tepian jalan saja, melainkan berada di belakang rumah
lainnya (gang).
Di antara dusun tersebut juga dapat dilihat dalam peta bahwa ada
kampung (pemukiman) yang di dekat dengan sungai Pelangas tadi. Masyarakat
setempat menyebut wilayah ini dengan Pekal Bawah. Di sini penduduknya
didominasi oleh orang Tionghoa yang sudah lama menjadi petani lada.
Penulis:
Suryan Masrin, Pemerhati Manuskrip Arab-Melayu, Bangka Belitung
0 comments:
Post a Comment