Jampi Ilmu Padi dalam Manuskrip Durahim bin Tahir

Bagian manuskrip yang
berisi tentang pasal
ilmu padi, disalin oleh
Durahim bin Tahir.
(foto: Suryan)

 Melayu Bangka dalam kehidupan sosial tidak terlepas dengan dunia perjampian dan azimat. Dalam pemahaman orang Bangka, khususnya wilayah Simpang Teritip jampi dipahami sebagai do'a, sedangkan azimat adalah tangkal atau pelindung

Jampi sendiri terbagi menjadi dua jenis, yakni jampi yang baik dan jampi syirik (tidak baik). Jampi sangat erat hubungannya dengan dunia perubatan, karena ia merupakan bagian dari proses dalam berobat itu sendiri. Dalam hal ini penulis tidak membahas tentang perbedaan dua jenis jampi tadi, hal itu terlalu sensitif perbahasannya dan penulis sendiri belum mumpuni untuk menjabarkan itu. Di sini penulis akan menguraikan tentang jampi ilmu (bertanam) padi, yang dikutip dari sebuah manuskrip. Berikut petikan alih aksara dari manuskrip yang beraksara Arab Melayu.
 
"Ini pasal ilmu padi keluar dari dalam kitab 'Syamsul Ma'arif al Kubro' dijampikan kepada benih empat puluh kali waktu mau menurunkan dan empat puluh tatkala tumbuh dan empat puluh tatkala keluar buahnya dan empat puluh tatkala hendak mengetam dan empat puluh tatkala makan nasi baru, bacalah 'ya razzaqu as salamu 'alaikum ya malaikat manja yailu (?)-(mungkin Mikail) salam' yang mayar (bayar-terj) batangnya aku, firman Allah ta'ala akan tukang payar (bayar-terj) aku rizki yang lagi baru ditanam ini minta' sampai banyak keluar buahnya jangan yang lain bikin rusak dan serta keluar kita bari (beri) salam pula satu malaikat "assalamu 'alaikum ya malaikat dzar 'ayail (?)-(mungkin Mikail) 'alaihis salam akulah di firman Allah ta'ala tukang payar (bayar) buah padiku  ini jangan sampai tida' berisi hendak penuh berasnya dengan firman Allah ta'ala 'la ilaha illallah muhammadur rasulullah' dan sedekahnya beras satu pinggan satu maku' duit satu rupiah. (hal 46-47)
 
Dalam kolofon manuskrip halaman 59 ditulis "tersalin pada selesai bulan rumaban (ramadhan) tahun 1391 Hijriyah di Bendul turun Haji Batin Sulaiman - Abdurrahim". Bendul adalah nama tempat komplek perumahan karyawan Tambang Timah Bangka (TTB) kala itu. Bendul sendiri berada di antara wilayah Mayang Kecamatan Simpang Teritip dan dusun Selindung, Desa Air Putih Kecamatan Mentok. Penyalin adalah Abdurrahim yang merupakan nama lengkap dari Durahim bin Tahir yang berasal dari Kampung Peradong. Durahim bin Tahir adalah putra dari pasangan Muhammad Tahir dan Sarijah yang lahir di Peradong pada tanggal 20 November tahun 1922 dan wafat pada tahun 1998 di Kampung Berang. Ia dimakamkan di Kampung Menggarau-Peradong. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, yakni Abdurrahim, Ramdah, dan Rais. 
 
Tulisan ini ia salin dari Haji (Batin) Sulaiman Peradong, yang merupakan tokoh penyebar Islam di Peradong dan sekitarnya. Durahim sendiri merupakan keturunan ketiga dari Haji Sulaiman melalui jalur anaknya yang perempuan, yakni Siti Rinde/Rinda atau dipanggil Nek Nde (suaminya orang Rajek), kemudian Sarijah dan Durahim. Sebagaimana tertulis dalam naskah tersebut, bahwa itu pasal tentang ilmu padi yang keluar (dikutip) dari kitab 'Syamsul Ma'arif al Kubra', kitab yang merupakan karangan Syekh Ahmad bin Ali bin Yusuf Al-Buni (w. 1225). Beliau adalah ulama, sufi, tokoh ilmu hikmah, serta penulis kitab yang masyhur sekitar abad ke-13 M.
 
Kitab Syamsul Maarif wa Lathoiful Ma`arif termasuk jenis kitab dalam bidang Thibb, yang mencakup Azimat (bacaan khusus semacam mantra) dan Aufaq (kolom-kolom yang berisi angka-angka). Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami memperbolehkan kitab-kitab yang berisi Azimat selama berisi bacaan doa kepada Allah SWT dan tidak berisi asma-asma dalam bahasa non-Arab yang tidak dapat difahami maknanya. Hal ini karena asma-asma bukan bahasa Arab itu dikhawatirkan merupakan nama-nama sesuatu selain Allah SWT, yang jika digunakan dalam berdo'a dapat menimbulkan kemusyrikan. Sedangkan Aufaq menurutnya juga diperbolehkan, sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Ghazali, selama untuk tujuan yang mubah bukan untuk tujuan yang haram. Demikian dikutip dari  H. Mohammad Danial Royyan (pcnukendal.com, 2019).
 
Dalam manuskrip ini dijelaskan perihal jampi ilmu padi yang disebutkan bahwa, ada beberapa bacaan yang harus dijampikan (dibacakan)  pada benih padi manakala hendak diturunkan atau hendak menanam benih dengan jumlah bilangan empat puluh kali. Kemudian ketika ia (padi) mulai tumbuh juga dibacakan dengan bilangan empat puluh. Selanjutnya tatkala padi mulai keluar buahnya, ketika hendak mengetam  (memanen), dan ketika hendak makan nasi baru (beras baru) juga harus dibacakan sebanyak empat puluh kali. Bacaan yang harus disampaikan adalah 'ya razzaqu as salamu 'alaikum ya malaikat manja yailu (?)-(mungkin Mikail) salam' . Lafaz ya razzaqu merupakan lafaz asma Allah yang berarti "Yang Maha Pemberi (rizki)" dilanjutkan dengan salam kepada malaikat Mikail yang merupakan malaikat yang bertugas memberikan rizki kepada seluruh makhluk Allah.
 
Selanjutnya ketika sudah dibayar (diberi) rizki bagi padi yang baru ditanam minta agar tidak sampai bikin rusak sehingga banyak keluar buah padinya, maka berilah (bacalah) salam pada satu malikat "assalamu 'alaikum ya malaikat dzar 'ayail (?)-(mungkin Mikail) 'alaihis salam". Berharap buah padi berisi dan penuh berasnya dengan kalimat 'la ilaha illallah muhammadur rasulullah' . Setelah itu sedekahnya beras satu pinggan (piring), satu maku'  (mangkok), dan duit (uang) satu rupiah (kala itu). Selain hal ini, dalam tradisi lokal, khususnya di wilayah Simpang Teritip ada istilah nugel. Nugel adalah menugal atau melubangi tanah sekira 2-5 cm menggunakan kayu yang ujungnya telah dilancipkan, yang kemudian lubang tesebut untuk diletakkan benih padi.
 
Dalam nugel, ada sebuah tradisi yang disebut dengan ganjel nugel.  Ganjel adalah semacam gotong royong yang dilakukan oleh  beberapa masyarakat setempat  yang dilakukan secara bergilir atau bergantian dari kebun (ladang/huma) satu orang ke yang lainnya hingga selesai habis giliran. Setelah beberapa tradisi ini dilakukan, di bagian akhir ketika hendak memanen, maka ada pula tradisi lokal yang disebut dengan ngetem. Ngetem adalah tradisi memanen yang dilakukan oleh masyarakat tatkala musim panen tiba. Ini dilakukan dengan cara tersendiri dan dengan cara ganjel yang telah dibahas sebelumnya. 

Dalam manuskrip yang lain (koleksi almarhum Durahim bin Tahir) juga disebutkan bahwa tentang perihal menanam tanaman (termasuk padi). manuskrip ini tidak ada halaman penomoran dan tidak diketahui siapa penulisnya. Bagian awal manuskrip ini bertuliskan; “Ini fasal jikalau kita hendak menanam tanaman sebarang (sembarang) tetanaman, maka kita bacakan di atas benih sepuluh kali kemudian maka baru kita tanam padi atau sebarang tanaman yang hendak kita tanam itu lekas jadi Insya Allah ta’ala kelihatlah(?) berkatnya, inilah itinya (inti) yang kita bacakan, Bismillahirrahmanirrahim la tudrikuhul absharu wa huwa yudrikuhul absharu wa huwal lathiful khabir.”
 
Foto bagian manuskrip berisi tentang fasal menanam tanama
koleksi Durahim bin Tahir.
(foto: Suryan)

Sungguh bacaan yang dibacakan pada benih padi tersebut tentu bukan sembarang bacaan, melainkan diambil dari ayat Al-Qur'an surah Al-An'am ayat 103, yang artinya "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan aialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui". Untuk rahasia mengapa ayat ini digunakan sebagai bacaan kepada benih, penulis belum mengetahui alasan dan sumbernya, yang pasti hal ini diambil dari Al Qur'an dan tentunya mengandung hikmah dan rahasia tersendiri, wallahu a'lam.
 
Kemudian di akhir manuskrip ini bertuliskan; “disurat tembiker(?) tanah maka dihamburkan pada empat penjuru kebun atau huma insya Allah ta’ala melihatlah yang empunya dia seperti barang yang dicitakan daripada keelokan dan berkatnya di dalamnya maka jika disurat pada pinggan putih yang suci-suci maka dihapuskan surat itu dengan air perigi pada sehari bulan maka sudah dia disurat-surat itu semuanya maka air itu siramkan kepada pohon-pohon kayu itu atau kepada pohon padi mana yang rusak itu insya Allah ta’ala berbuahlah ia serta banyak dan adalah tahun dahulu tidak ada bulih (dapat) seperti tahun kita buat pada tahun ini serta lebih buahnya dengan azin Allah ta’ala. wallahu a’lam.” Setelah diawal dijelaskan tentang ketika hendak menanam tanaman. Selanjutkan diuraikan mengenai perawatan tanaman tersebut apabila terjadi kerusakan dengan beberapa aturan dan cara tindakannya. 

Penulis:
Suryan Masrin, Pemerhati Manuskrip Arab-Melayu, Bangka Belitung

0 Comments:

Post a Comment