Makam Raja Pertama Kerajaan Kubu Syarif Idrus bin Abdurrahman (Foto: Syaiful Alaydrus, Sejarah Kalimantan Barat) |
Kalimantan
Barat sangat kaya akan khazanah budaya dan sejarah. Daerah ini memiliki banyak
situs peninggalan sejarah yang pantas dilestarikan, terutama situs yang
berhubungan dengan kerajaan atau kesultanan. Salah satunya situs Keraton
Kerajaan Kubu, yang masuk Kabupaten Kubu Raya. Kerajaan ini tidak bisa
dipisahkan dengan sejarah Kesultanan Pontianak.
Sejarah
Kerajaan Kubu bermula dari kelahiran Sayyidis Syarif Idrus bin Abdurrahman
Alaydrus di kampung Ar-Ridha, Tarim, Hadramaut, di Selatan Yaman pada malam
Kamis, 17 Ramadan 1144 H atau 1732 M. Beliau merupakan keturunan ke-31 dari
Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Hasil wawancara penulis dengan Habib Alwi bin
Hud Alattas, salah satu ahli nasab bani Alawiyyin dari Naqobatul Asyraf Alkubra (Maqtab Ad-Dami, Jakarta) tanggal 29 April
2011, silsilah atau nasab Syarif Idrus
hingga sampai kepada Baginda Rasullullah SAW adalah sebagai berikut :
Idrus bin Abdurrahman bin Ali bin Hasan Shohib Roidhoh bin Alwi Shohib
Tsibi bin Abdullah Maulathogoh
bin Ahmad bin Husain bin Abdullah Alaydrus
bin Abibakar As-Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad
Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghuyur bin Muhammad Faqih Muqaddam bin Ali
bin Muhammad Shohib Mirbad bin Ali Kholi’qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa
Arrumi bin Muhammad An-Naqib bin
Ali Al-Uraidi bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Bagir bin Ali zainal Abidin bin Al-Husein bin Ali bin Abi Thalib/ Fatimatuzzahra Al Batul binti Rasulullah Muhammad SAW.
Sebelum
meninggalkan kampung halamannya, beliau sholat istikharah terlebih dahulu,
bermohon kepada Allah SWT agar maksud kedatangannya ke negeri yang jauh,
mendapat berkah. Banyak negeri dan tempat yang dilalui dan disinggahi, hingga
akhirnya ia menuju sepanjang Sungai Terentang (di muara sampai Pulau Bengah). Di
daerah itu, Sayyidis Syarif Idrus melihat beberapa kemungkinan yang baik, lalu
berhasrat akan menetap dan membuka perkampungan.
Untuk maksud
ini, beliau memohon ijin untuk mendapatkan tanah dan mendapat restu dari Sultan
Ratu, Raja Kerajaan Matan di Simpang. Dengan memudiki Kuala Kubu sekarang,
beberapa tanjung terdapat persimpangan tiga, dan mudik lagi kira-kira 1 kilometer
ke hulu Sungai Terentang. Disitulah pada tahun 1182 H (1768 M) beliau dengan
beberapa anak buahnya yang berasal dari Hadramaut dibantu oleh suku Bugis dan
Melayu, membuka sebuah perkampungan.
Di persimpangan
muara tiga buah anak sungai, dibuatlah benteng pertahanan untuk menjaga dari
serangan lanun, yang pada masa itu
masih merajalela. Kampung yang kemudian berkembang menjadi sebuah negeri itu
dinamai Kubu, berasal dari nama Kubu (benteng)
pertahanan yang mereka buat. Karena kebijaksanaan beliau dalam
memerintah dan dilandasi ajaran Islam, penduduk dari daerah lain mulai
berdatangan, dan pada tahun 1775 M terjadilah migrasi besar-besaran ke Kubu.
Kubu pun statusnya telah meningkat menjadi sebuah negeri.
Sehubungan dengan berkembangnya Kubu menjadi sebuah negeri,
maka dinobatkanlah secara resmi Sayyidis Syarif Idrus bin Abdurrahman Alaydrus
sebagai raja pertama Kerajaan Kubu pada tahun 1780 H (1199 H) dengan gelar Tuan
Besar Raja Kubu. Dan pada tahun yang sama didirikan sebuah istana yang
dikemudian hari, pada sisa peninggalan istana itu didirikan Masjid Jami’
Khairussa’adah sekarang
ini.
Dalam mengendalikan pemerintahan di Kerajaan Kubu, raja
dibantu oleh:
1.
Sayyid
Hamzah Al-Baraqbah;
2.
Sayyid
Ali As-Shahabuddin;
3.
Syech
Ahmad Faluga.
Mereka bertiga berasal dari
Hadramaut dan diangkat sebagai Menteri
Kerajaan Kubu.
Dalam usaha memperluas
negeri, dibuka lagi beberapa perkampungan, antara lain di Sungai Radak dan
Sungai Kemuning, yang sampai sekarang masih ada dan ditempati oleh suku Melayu
dan Dayak. Pada waktu itu Negeri Kubu baru berpenduduk sekitar 700 jiwa.
Demikian dikemukakan Syarif Muhammad Djunaidy Yusuf Al-Idrus dalam
Membuka Tirai Kerajaan Kubu dan Ambawang (2001).
Raja Kubu Kedelapan, Tuan Besar
Syarif Saleh Alaydrus Sumber: Vivi Al-Hinduan |
Raja-Raja
Yang Memerintah Kubu
Sejak
berdirinya dari tahun 1780 hingga dewasa kini, setidaknya Kerajaan Kubu pernah
dipimpin 10 Raja, yang memerintah dalam tiga periode besar nasional yakni: masa
kolonial, masa revolusi kemerdekaan, dan masa bergabung dalam Republik
Indonesia. Raja pertama yang bergelar Tuan Besar tentu saja Sayyid Idrus bin Sayyid 'Abdu'l
Rahman al-Idrus yang memerintah hingga tahun 1794 M. Pada masanya,
Kerajaan Kubu pernah mendapatkan serangan dari Kerajaan Siak (Riau), namun
berhasil dipukul mundur dari Kubu. Syarif Idrus wafat pada 26 Zulkaidah 1209 H
dan kemudian digantikan putra tertuanya, Syarif Muhammad. Pada masanya
Kerajaan Kubu secara resmi menjalin kontrak (Verklaring) dengan Pemerintahan Hindia Belanda melalui utusan, Tuan
Tobias, yang datang pada 4 Juni 1823.
Syarif Abdurrahman kemudian
menjadi raja ketiga, menggantikan Syarif Muhammad yang mangkat pada 1929 M.
Pada masanya, dikenal sebagai periode kepemimpinan yang tegas dalam bertindak.
Ia berhasil menyatukan Ambawang menjadi wilayah Kubu, yang sebelumnya
independen di bawah Syarif Alwi Al-Alaydrus pada 2 Februari 1841. Syarif
Abdurrahman mangkat pada tahun 1841, kemudian diganti putranya Syarif Ismail
yang menjadi raja keempat. Pada masanya, ia memindahkan istana ke sebelah kiri
Sungai Terentang yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari kuala sungai. Ia wafat
pada 19 September 1864 dan dimakamkan di Kubu.
Saat Syarif Ismail mangkat pada
1864, penggantinya Syarif Abdurrahman bin Ismail Alaydrus tidak berada di Kubu,
melainkan di Sarawak. Sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Syarif
Hasan sebagai pemangku kerajaan (raja kelima) pada 5 September 1866. Akan
tetapi Syarif Hasan kemudian terus memimpin, karena Syarif Abdurrahman bin
Ismail Al-Aydrus yang sedianya akan kembali ke Kubu untuk dinobatkan, meninggal
dunia saat diperjalanan. Pada tahun 1866 itu pula terjadi pemberontakan yang
dipimpin Syarif Yasin bin Syarif Alwi (putra Raja Ambawang pertama) yang telah
lama bermukim di Sarawak. Syarif Yasin dan pengikutnya berhasil menguasai
kembali Ambawang, sebelum akhirnya berhasil dipadamkan atas bantuan dari
tentara Belanda yang didatangkan dari Pontianak. Sebanyak 15 pembantunya
ditangkap dan dibuang ke Papua, sementara Syarif Yasin ditahan di Pontianak.
(Alaydrus, 2001: 10).
Pada 4 November 1900 Syarif Hasan wafat, dan kemudian digantikan putranya Syarif Abbas empat hari kemudian sebagai raja keenam. Pada masanya Kerajaan Kubu semakin maju, penduduknya sudah mencapai hampir 5ribu jiwa, dengan hasil bumi yang melimpah sehingga berbanding lurus dengan penerimaan cukai/pajak. Keadaan ini membuat Belanda berhasrat untuk mengambil keuntungan dari besarnya potensi Kubu melalui pajak. Karena hal itu ditentang oleh Syarif Abbas, akhirnya pada 7 Juni 1911 ia diberhentikan oleh Pemerintah Belanda. Waktu itu Kubu telah memiliki 11ribu penduduk.
Komplek Makam Raja-Raja Kubu
Sumber: Berkat News |
Untuk mengisi kekosongan di atas,
diangkatlah Syarif Muhammad Zainal sebagai raja ketujuh pada 26
September 1911. Ia memilih beristana di Pematang Al-Haddad, yang sekarang
dikenal dengan “Kerta Mulya”, suatu perkampungan kecil di daerah Tanjung Bunga,
Telok Pakedai. Sayangnya.ia kemudian dituruntahtakan oleh Belanda melalui surat
keputusan tertanggal 29 Agustus 1919 namun mendapatkan tujungan f 1.100/bulan. Pada 23 Oktober 1919,
Kerajaan Kubu dijalankan oleh Majelis Kerajaan (Bestuurcommissie). Tokohnya yakni Syarif Saleh bin Idrus Alaydrus
(Kepala Distrik Padang Tikar) dan Kasimin (Kepala Distrik Telok Pakedai).
Syarif Saleh bin Idrus Alaydrus
kemudian dinobatkan sebagai Wakil Kepala Pemerintah Kerajaan Kubu dan sebagai
pelaksana sementara Kesultanan berdasarkan Korte
Verklaring 7 Februari 1922. Ia mendapatkan gaji f 1600 sebulan dan resmi bergeral Tuan Kubu, yang dalam hal ini
sebagai raja kedepalan. Beliau dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan terampil,
telah banyak menjabat di berbagai tugas-tugas administratif, mulai dari juru
tulis, mantri, kepala kampung, kepala onderdistrik, dan kepala distrik. Atas
jasa dan pengabdiannya itu, pada 1934 dan 1940 ia dianugerahi bintang
penghargaan oleh Ratu Belanda. Ia sempa menulis dua buah naskah yang dicetak di
Jakarta pada 1939 dengan judul Bn-Nashehatul-Zaman,
dan Bn-Nashehatul-Aulad. Keduanya
ditulis dengan huruf Arab-Melau. (Alaydrus, 2001: 25).
Masa pendudukan Jepang pada 1942
menjadi masa suram bagi Kerajaan Kubu. Tuan Kubu Syarif Saleb bin Idrus
Alaydrus ditangkap pada 20 Februari 1944 oleh Jepang. Ia termasuk dalam
tokoh-tokoh aristokrat (sultan/panembahan) yang dihabisi pada genosida
Peristiwa Mandor Berdarah 28 Juni 1944. Karena kekosongan jabatan itu,
Pemerintah Pendudukan Jepang mengangkat menantu Syarif Saleh, Syarif Yusuf bin
Said Al-Kadri bersama dengan Syarif Jaafar Alaydrus dan Syarif Hasan bin Zen
Alaydrus dalam Zitiryo Hyogikai atau
Majelis Kerajaan. (Seperti Bestuurcommissie)
pada masa Belanda.
Di periode revolusi kemerdekaan,
Kalimantan Barat kembali dikuasai oleh Belanda melalui Netherlandsch Indies Civil Administration (NICA). Pada 1 Maret 1946
Belanda mensahkan Majelis Kerajaan yang dijabat oleh Syarif Hasan bin Tuan Kubu
Syarif Muhammad Zainal Alaydrus sebagai Ketua dan Syarif Yusuf bin Husein
Alaydrus sebagai anggota. Dalam perkembangannya, pada 1 Juni 1946 Kerajaan Kubu
dirangkap pekerjaannya oleh Onderafdeelingchef
(OAC) bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kerajaan. Pada 1 Juni 1949 Syarif Hasan memerintah
sendiri dalam Majelis Kerajaan karena Syarif Yusuf pindah ke Pontianak bekerja
di Kantor Polisi Umum (bagian kriminal). Nahasnya, Syarif Hasan dikemudian
hari diberhentikan karena tersandung
masalah hukum dan ditahan di Pontianak (Alaydrus, 2001:24)
Replika Istana Kerajaan Kubu |
Pada 1958, Kubu dijadikan daerah
setingkat Kawedanan yang kemudian dipimpin oleh seorang Wedana. Hal ini
dikarenakan pemerintah menghapus seluruh Pemerintah Kerajaan (Swapraja) di
Kalimantan Barat. Di alam kemerdekaan dan bergabung di bawah Republik
Indonesia, tahta Tuan Kubu tetap dilestarikan. Terakhir pada 27 Agustus 2017
telah diangkat Tuan Kubu Raja Syarif Syahril bin Syarif Usman bin Syarif Abbas.
Penobatan yang telah dinantikan oleh masyarakat itu sebagai bagian dari upaya
pemerintah menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat,termasuk peninggaan
situs-situs kerajaan yang perlu dipelihara dengan baik.
Penulis: Vivi Al-Hinduan
0 Comments:
Post a Comment