Ad Code

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Habib Husin Al Kadri: Penyebar Dakwah Islam di Kalimantan Barat Abad ke-18

Makam Habib Husein Al Kadri di Mempawah
(Sumber: mempawahkab.go.id)

Kedatangan Pengambara dari Hadramaut di bumi Nusantara tidak hanya untuk tujuan berdagang. Sebagian mencoba untuk berdakwah dan menyebarkan Islam, salah satunya di Kalimantan Barat. Keturunan Habib Husein dikenal sebagai pendiri Dinasti Kadriyah yang masih bertahan hingga sekarang.

Apabila kita berkunjung ke kota Mempawah Provinsi Kalimantan Barat, kita akan merasakan keasrian kota tersebut yang ditumbuhi banyak pepohonan rindang sebagai penghias kota. Selain terkenal asri, kota yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Pontianak itu juga menyimpan banyak situs peninggalan bersejarah, seperti situs Keraton Amantubillah, Makam Raja-Raja Mempawah, Makam Opu Daeng Menambon, dan lain sebagainya. Tidak jauh dari letak keraton Amantubillah, terdapat situs lainnya yaitu makam yang dikenal sebagaii seorang ulama pendakwah agama Islam di pesisir Kalimantan Barat pada abad ke-18 bernama Habib Husein Al Kadri. Sebagaimana kita ketahui, Habib Husein Al Kadri juga adalah ayahanda dari Syarif Abdurrahman Al Kadri (pendiri Kesultanan Pontianak). 

Masa Kecil Habib Husein Al Kadri

            Sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia dikatakan dimulai sejak abad ke-12 Masehi, dikembangkan oleh para pedagang Islam yang berasal dari Semenanjung Arab dan sekitarnya melalui India ke Asia Tenggara, yaitu dari Aceh, Sumatera, Malaya dan terus ke pantai utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Sebagian besar dari etnis Arab yang beremigrasi ke Indonesia berasal dari daerah Arab Selatan (Hadramaut). Mereka pada umumnya adalah santri yang mempelajari agama Islam dan mengembangkannya ke daerah timur sambil berdagang. Demikian pula dengan Habib Husein Al Kadri, seorang santri dari negeri Arab yang gigih mengembangkan ajaran agama Islam di negeri timur, sampai akhirnya ia dikenal sebagai seorang ulama besar dan pernah menjadi mufti peradilan agama Islam di kerajaan Matan dan kerajaan Mempawah Kalimantan Barat.

Menurut Ansar Rahman dalam bukunya Perspektif Sejarah Berdirinya Kota Pontianak (2000:13-40), Habib Husein Al Kadri lahir di sebuah kota kecil Trim, Hadramaut di daerah bagian selatan Jazirah Arab di teluk Aden (kini menjadi bagian dari Yaman Selatan) yang merupakan jalur pelayaran internasional sehingga penduduknya dikenal gemar berdagang dan berlayar. Mengenai kapan tanggal kelahiran Habib Husein Al Kadri tidak ada catatan yang menyebutkan. Namun kalau disimak bahwa ia meninggal dunia di Mempawah pada tanggal 3 Zulhijah 1184 H atau pada akhir tahun 1770 M dalam usia 64 tahun, maka dapat diperkirakan beliau lahir sekitar tahun 1706 M.

Dari catatan Kesultanan Pontianak, Habib Husein Al Kadri diceritakan masih mempunyai hubungan keturunan silsilah dengan Nabi Muhammad SAW. Catatan itu menyebutkan Habib Husein Al Kadri adalah putera dari Habib Ahmad Al Kadri, keturunan Jamalulail, keturunan Bachsan, keturunan Balwi dari bangsa Arab Quraisy, keturunan Ibnu Hasyim, keturunan Abdul Muthalib dari keturunan keluarga Nabi Muhammad SAW.

Pada masa kecilnya, Habib Husein Al Kadri dididik orangtuanya mempelajari agama Islam sampai berumur 18 tahun. Gurunya antara lain Syeikh Muhammad bin Hamid. Di samping belajar agama, Habib Husein Al Kadri sering ikut berlayar ke berbagai negeri seperti ke Kalikut di pantai barat India sehingga dari pengalamannya belajar dan berlayar ke berbagai negeri serta mendengar kabar dari para pedagang, ia mengetahui tentang banyaknya kerajaan bercorak Islam di wilayah timur.

Ilustrasi pertemuan Habib Husein dengan Opu Daeng Menambon
(sumber: daengpajoka.com)

Habib Husein Al Kadri ke Indonesia

Setelah mendapat restu dari guru dan orangtuanya, Habib Husein Al Kadri bersama tiga teman seperguruannya pergi berlayar ke negeri timur, melintasi jalur pelayaran dan perdagangan yang biasa dilalui para pedagang Arab menuju ke negeri timur. Sesampainya di wilayah Indonesia, ketiga orang teman Habib Husein Al Kadri masing-masing kemudian menetap dan mengajarkan agama Islam di beberapa tempat yaitu, di Aceh (Sayid Abu Bakar Alaydrus), di Siak (Sayid Umar Bachsan Assegaf), dan di Trengganu Malaysia (Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy). Sedangkan Habib Husein Al Kadri kemudian menetap dan mengajarkan agama Islam di Kalimantan, setelah sebelumnya sempat menetap di Betawi dan di Semarang. Sewaktu tinggal di Semarang inilah Habib Husein Al Kadri mendapat informasi dari Syeikh Salam Hambal (seorang ulama sekaligus pedagang) bahwa terdapat sebuah negeri bernama Matan yang letaknya di pesisir barat daya Pulau Kalimantan, yang wilayahnya dikenal ramai, penuh hutan menghijau dan mayoritas penduduknya telah memeluk agama Islam.


Habib Husein Al Kadri menjadi Mufti di kerajaan Matan                                                         

Pada sekitar tahun 1736 M, Habib Husein Al Kadri bersama Syeikh Salam Hambal berlayar dari Semarang ke negeri Matan di Kalimantan Barat. Sesampainya di negeri Matan, Habib Husein Al Kadri dan Syeikh Salam Hambal mengadakan tabligh dan mengajarkan agama Islam kepada penduduknya. Berkat pengetahuan agama yang mendalam terutama di bidang fiqih dan tasawuf, Habib Husein Al Kadri menjadi terkenal dan disenangi para muridnya. Masyarakat negeri Matan menerima dan menghormati Habib Husein Al Kadri dalam aktivitas dakwahnya mengajarkan agama Islam.

Seiring berjalannya waktu, kedatangan dan aktivitas dakwah Habib Husein Al Kadri di negeri Matan terdengar beritanya oleh Sultan Matan, Ma’aziddin, yang kemudian menjadikan Habib Husein Al Kadri sebagai salah seorang pemuka agama Islam di kalangan istana kerajaan Matan dan mengangkatnya sebagai Mufti peradilan hukum agama Islam di kerajaan Matan menggantikan Sayid Hasyim Yahya. Sebagai ungkapan kecintaannya kepada Habib Husein Al Kadri, Sultan Ma’aziddin menikahkan Habib Husein Al Kadri dengan salah seorang puteri di lingkungan kerajaan Matan yang disebut Nyai Tua. Dari pernikahan inilah kemudian lahir Syarif Abdurrahman Al Kadri yang kelak mendirikan Kesultanan Pontianak. Dalam kehidupan berkeluarga di kemudian hari, Habib Husein Al Kadri mempunyai tiga istri dan sepuluh anak. Ketiga istrinya itu biasa disebut Nyai Tua, Nyai Tengah, dan Nyai Bungsu. Dari Nyai Tua mendapatkan empat orang anak yaitu Syarifah Khadijah, Syarif Abdurrahman, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwi. Dari istri keduanya, Nyai Tengah, memperoleh tiga anak, yaitu Syarifah Aisyah, Syarif Abu Bakar, dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari istri ketiganya, Nyai Bungsu, memperoleh tiga orang anak yaitu Syarif Ahmad, Syarifah Marjanah, dan Syarifah Noor.

Kemasyhuran Habib Husein Al Kadri sebagai ulama pendakwah agama Islam dan Mufti kerajaan Matan telah tersebar ke daerah lain di sekitar negeri Matan, seperti Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Setelah Habib Husein Al Kadri menetap sekitar tiga tahun di negeri Matan, kemudian datanglah kepadanya Pangeran Tua, seorang utusan Raja Mempawah Opu Daeng Menambon (berkedudukan di Sebukit Rama), menyampaikan pesan berisi ajakan Raja Mempawah kepada Habib Husein Al Kadri agar ia bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama Islam di kerajaan Mempawah. Namun Habib Husein Al Kadri tidak dapat memenuhi permintaan Opu Daeng Menambon karena ia baru bermukim dan merasa senang tinggal di kerajaan Matan.

Setelah bermukim di negeri Matan selama puluhan tahun, barulah kemudian sekitar  tahun 1755 Masehi Habib Husein Al Kadri beserta seluruh keluarganya pindah ke Mempawah. Sebelum kepindahannya ke Mempawah, Habib Husein Al Kadri memberitahu Raja Mempawah, Opu Daeng Menambun, melalui sebuah surat yang berisi niatnya untuk pindah bermukim diri dan keluarganya dari Matan ke Mempawah. Dalam suratnya, Habib Husein Al Kadri juga memohon kepada Opu Daeng Menambun supaya dibuatkan sebuah rumah dan langgar (Mushalla) untuk diri dan keluarganya di pinggir kuala Sungai Mempawah. Setelah rumah dan langgar selesai dibangun, Opu Daeng Menambun menjemput Habib Husein Al Kadri di negeri Matan dengan dua buah perahu besar. Rombongan penjemput itu dipimpin oleh putera kedua Opu Daeng Menambun yang bernama Gusti Haji Jaladri yang bergelar Pangeran Sompak. Sultan Ma’aziddin merestui keinginan Habib Husein Al Kadri untuk pindah ke Mempawah, karena Opu Daeng Menambun adalah juga menantu Sultan Matan. Keberangkatan Habib Husein Al Kadri beserta seluruh keluarganya dilepas dengan penuh kebesaran oleh kerajaan Matan. Tiga buah perahu besar dari kerajaan Matan melengkapi dua perahu penjemput dari kerajaan Mempawah, mengantar rombongan Habib Husein Al Kadri menuju Mempawah.

            Habib Husein A Kadri menetap di daerah pemukiman baru yang disediakan oleh Opu Daeng Menambun di sekitar tepian kuala Sungai Mempawah. Daerah pemukimannya dinamakan Galah Herang karena ditempat itu orang-orang jika menambatkan perahu memakai galah bambu. Di Mempawah, Habib Husein Al Kadri mengajarkan agama Islam sehingga pemukiman Galah Herang menjadi semakin ramai karena banyak penduduk mendirikan rumah dan tempat berdagang di sekitarnya. Para penduduk dan pedagang tersebut datang dari Sambas, Simpang, Sukadana, Matan, Palembang dan Riau serta dari daerah pedalaman Kalimantan Barat seperti Tayan, Sanggau, dan Sekadau.

Raja Mempawah, Opu Daeng Menambun, kemudian mengangkat Habib Husein Al Kadri sebagai pemuka agama Islam di Mempawah. Opu Daeng Menambun bahkan menikahkan anaknya yaitu Puteri Candramidi dengan anak Habib Husein Al Kadri yang bernama Syarif Abdurrahman Al Kadri. Setelah Opu Daeng Menambun meninggal dunia, Habib Husein Al Kadri diangkat sebagai Tuan Besar kerajaan Mempawah karena Pangeran Adijaya sebagai pengganti Opu Daeng Menambun masih belum dewasa. Habib Husein Al Kadri kemudian membawa Putera Mahkota Pangeran Adijaya ke Galah Herang sehingga ketika Pangeran Adijaya menjadi Panembahan Kerajaan Mempawah (memerintah Mempawah tahun 1761-1787 M), pusat kekuasaan Mempawah telah berada di Galah Herang.


Habib Husein Al Kadri Wafat

Setelah sekian lama menjadi seorang pendakwah dan pemuka agama Islam di Matan dan kemudian di Mempawah, Habib Husein Al Kadri wafat pada hari Rabu tanggal 3 Dzulhijah tahun 1184 H (1770 M) dalam usia 64 tahun. Beliau dimakamkan di Kampung Sejegi, Pedalaman Mempawah, tidak jauh dari Galah Herang. Pada saat ini, Desa Sejegi sebagai tempat pemakaman Habib Husein Al Kadri dikenal sebagai daerah makam keramat Tuan Besar Mempawah yang dihormati. Sedangkan pemukiman Galah Herang yang didirikan oleh Habib Husein Al Kadri kini telah menjadi Kota Mempawah.

Jasa-jasa Habib Husein Al Kadri dalam mengembangkan ajaran agama Islam begitu banyak. Beliau antara lain pernah menjadi seorang ulama sekaligus Mufti Peradilan Agama Islam di Negeri Matan Kalimantan Barat. Selama berada di negeri Matan, ia aktif berdakwah kepada penduduk negeri Matan dari berbagai macam golongan, mulai dari rakyat biasa, petani, pedagang sampai kalangan istana Kerajaan Matan. Demikian juga sewaktu pindah ke Negeri Mempawah, ia tetap melanjutkan aktivitas dakwahnya. Setelah Habib Husein Al Kadri wafat di Mempawah, melalui keturunannya bernama Syarif Abdurrahman Al Kadri yang mendirikan Kesultanan Pontianak, aktivitas dakwah agama Islam berkembang dan terus dilanjutkan sehingga ajaran Islam menyebarluas di wilayah Kalimantan Barat.



Penulis: 

Karel Juniardi

Dosen Sejarah IKIP PGRI Pontianak


Post a Comment

1 Comments