Apabila kita berkunjung ke kota Mempawah Provinsi Kalimantan Barat, kita akan merasakan keasrian kota tersebut yang ditumbuhi banyak pepohonan rindang sebagai penghias kota. Selain terkenal asri, kota yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Pontianak itu juga menyimpan banyak situs peninggalan bersejarah, seperti situs Keraton Amantubillah, Makam Raja-Raja Mempawah, Makam Opu Daeng Menambon, dan lain sebagainya. Tidak jauh dari letak keraton Amantubillah, terdapat situs lainnya yaitu makam yang dikenal sebagaii seorang ulama pendakwah agama Islam di pesisir Kalimantan Barat pada abad ke-18 bernama Habib Husein Al Kadri. Sebagaimana kita ketahui, Habib Husein Al Kadri juga adalah ayahanda dari Syarif Abdurrahman Al Kadri (pendiri Kesultanan Pontianak).
Masa
Kecil Habib Husein Al Kadri
Sejarah perkembangan agama Islam di Indonesia dikatakan
dimulai sejak abad ke-12 Masehi, dikembangkan oleh para pedagang Islam yang
berasal dari Semenanjung Arab dan sekitarnya melalui India ke Asia Tenggara,
yaitu dari Aceh, Sumatera, Malaya dan terus ke pantai utara Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Maluku. Sebagian besar dari etnis Arab yang beremigrasi ke
Indonesia berasal dari daerah Arab Selatan (Hadramaut). Mereka pada umumnya
adalah santri yang mempelajari agama Islam dan mengembangkannya ke daerah timur
sambil berdagang. Demikian pula dengan Habib Husein Al Kadri, seorang santri dari
negeri Arab yang gigih mengembangkan ajaran agama Islam di negeri timur, sampai
akhirnya ia dikenal sebagai seorang ulama besar dan pernah menjadi mufti
peradilan agama Islam di kerajaan Matan dan kerajaan Mempawah Kalimantan Barat.
Menurut Ansar Rahman dalam bukunya Perspektif
Sejarah Berdirinya Kota Pontianak (2000:13-40), Habib
Husein Al Kadri lahir di sebuah kota kecil Trim, Hadramaut di daerah bagian
selatan Jazirah Arab di teluk Aden (kini menjadi bagian dari Yaman Selatan)
yang merupakan jalur pelayaran internasional sehingga penduduknya dikenal gemar
berdagang dan berlayar. Mengenai kapan tanggal kelahiran Habib Husein Al Kadri
tidak ada catatan yang menyebutkan. Namun kalau disimak bahwa ia meninggal
dunia di Mempawah pada tanggal 3 Zulhijah 1184 H atau pada akhir tahun 1770 M
dalam usia 64 tahun, maka dapat diperkirakan beliau lahir sekitar tahun 1706 M.
Dari catatan Kesultanan Pontianak, Habib Husein Al Kadri diceritakan masih mempunyai
hubungan keturunan silsilah dengan Nabi Muhammad SAW. Catatan itu menyebutkan
Habib Husein Al Kadri adalah putera dari Habib Ahmad Al Kadri, keturunan
Jamalulail, keturunan Bachsan, keturunan Balwi dari bangsa Arab Quraisy,
keturunan Ibnu Hasyim, keturunan Abdul Muthalib dari keturunan keluarga Nabi
Muhammad SAW.
Pada masa kecilnya, Habib Husein Al Kadri dididik orangtuanya mempelajari
agama Islam sampai berumur 18 tahun. Gurunya antara lain Syeikh Muhammad bin
Hamid. Di samping belajar agama, Habib Husein Al Kadri sering ikut berlayar ke
berbagai negeri seperti ke Kalikut di pantai barat India sehingga dari pengalamannya
belajar dan berlayar ke berbagai negeri serta mendengar kabar dari para
pedagang, ia mengetahui tentang banyaknya kerajaan bercorak Islam di wilayah
timur.
Ilustrasi pertemuan Habib Husein dengan Opu Daeng Menambon (sumber: daengpajoka.com) |
Habib Husein Al Kadri ke Indonesia
Setelah mendapat restu dari guru dan orangtuanya, Habib Husein Al Kadri
bersama tiga teman seperguruannya pergi berlayar ke negeri timur, melintasi
jalur pelayaran dan perdagangan yang biasa dilalui para pedagang Arab menuju ke
negeri timur. Sesampainya di wilayah Indonesia, ketiga orang teman Habib Husein
Al Kadri masing-masing kemudian menetap dan mengajarkan agama Islam di beberapa
tempat yaitu, di Aceh (Sayid Abu Bakar Alaydrus), di Siak (Sayid Umar Bachsan
Assegaf), dan di Trengganu Malaysia (Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Quraisy).
Sedangkan Habib Husein Al Kadri kemudian menetap dan mengajarkan agama Islam di
Kalimantan, setelah sebelumnya sempat menetap di Betawi dan di Semarang. Sewaktu
tinggal di Semarang inilah Habib Husein Al Kadri mendapat informasi dari Syeikh
Salam Hambal (seorang ulama sekaligus pedagang) bahwa terdapat sebuah negeri
bernama Matan yang letaknya di pesisir barat daya Pulau Kalimantan, yang
wilayahnya dikenal ramai, penuh hutan menghijau dan mayoritas penduduknya telah
memeluk agama Islam.
Habib Husein Al Kadri menjadi Mufti di kerajaan Matan
Pada sekitar tahun 1736 M, Habib Husein Al Kadri bersama Syeikh Salam Hambal
berlayar dari Semarang ke negeri Matan di Kalimantan Barat. Sesampainya di
negeri Matan, Habib Husein Al Kadri dan Syeikh Salam Hambal mengadakan tabligh
dan mengajarkan agama Islam kepada penduduknya. Berkat pengetahuan agama yang mendalam
terutama di bidang fiqih dan tasawuf, Habib Husein Al Kadri menjadi terkenal
dan disenangi para muridnya. Masyarakat negeri Matan menerima dan menghormati
Habib Husein Al Kadri dalam aktivitas dakwahnya mengajarkan agama Islam.
Seiring
berjalannya waktu, kedatangan dan aktivitas dakwah Habib Husein Al Kadri di
negeri Matan terdengar beritanya oleh Sultan Matan, Ma’aziddin, yang kemudian
menjadikan Habib Husein Al Kadri sebagai salah seorang pemuka agama Islam di kalangan
istana kerajaan Matan dan mengangkatnya sebagai Mufti peradilan hukum agama
Islam di kerajaan Matan menggantikan Sayid Hasyim Yahya. Sebagai ungkapan
kecintaannya kepada Habib Husein Al Kadri, Sultan Ma’aziddin menikahkan Habib
Husein Al Kadri dengan salah seorang puteri di lingkungan kerajaan Matan yang
disebut Nyai Tua. Dari pernikahan inilah kemudian lahir Syarif Abdurrahman Al
Kadri yang kelak mendirikan Kesultanan Pontianak. Dalam kehidupan berkeluarga
di kemudian hari, Habib Husein Al Kadri mempunyai tiga istri dan sepuluh anak.
Ketiga istrinya itu biasa disebut Nyai Tua, Nyai Tengah, dan Nyai Bungsu. Dari
Nyai Tua mendapatkan empat orang anak yaitu Syarifah Khadijah, Syarif
Abdurrahman, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwi. Dari istri keduanya, Nyai
Tengah, memperoleh tiga anak, yaitu Syarifah Aisyah, Syarif Abu Bakar, dan
Syarif Muhammad. Sedangkan dari istri ketiganya, Nyai Bungsu, memperoleh tiga
orang anak yaitu Syarif Ahmad, Syarifah Marjanah, dan Syarifah Noor.
Kemasyhuran Habib Husein Al Kadri sebagai ulama pendakwah agama Islam dan
Mufti kerajaan Matan telah tersebar ke daerah lain di sekitar negeri Matan,
seperti Sukadana, Simpang, Mempawah dan Sambas. Setelah Habib Husein Al Kadri
menetap sekitar tiga tahun di negeri Matan, kemudian datanglah kepadanya
Pangeran Tua, seorang utusan Raja Mempawah Opu Daeng Menambon (berkedudukan di
Sebukit Rama), menyampaikan pesan berisi ajakan Raja Mempawah kepada Habib
Husein Al Kadri agar ia bersedia pindah ke Mempawah untuk mengajarkan agama
Islam di kerajaan Mempawah. Namun Habib Husein Al Kadri tidak dapat memenuhi
permintaan Opu Daeng Menambon karena ia baru bermukim dan merasa senang tinggal
di kerajaan Matan.
Setelah bermukim di negeri Matan selama puluhan tahun, barulah kemudian
sekitar tahun 1755 Masehi Habib Husein
Al Kadri beserta seluruh keluarganya pindah ke Mempawah. Sebelum kepindahannya
ke Mempawah, Habib Husein Al Kadri memberitahu Raja Mempawah, Opu Daeng
Menambun, melalui sebuah surat yang berisi niatnya untuk pindah bermukim diri
dan keluarganya dari Matan ke Mempawah. Dalam suratnya, Habib Husein Al Kadri
juga memohon kepada Opu Daeng Menambun supaya dibuatkan sebuah rumah dan
langgar (Mushalla) untuk diri dan keluarganya di pinggir kuala Sungai Mempawah.
Setelah rumah dan langgar selesai dibangun, Opu Daeng Menambun menjemput Habib
Husein Al Kadri di negeri Matan dengan dua buah perahu besar. Rombongan
penjemput itu dipimpin oleh putera kedua Opu Daeng Menambun yang bernama Gusti
Haji Jaladri yang bergelar Pangeran Sompak. Sultan Ma’aziddin merestui
keinginan Habib Husein Al Kadri untuk pindah ke Mempawah, karena Opu Daeng
Menambun adalah juga menantu Sultan Matan. Keberangkatan Habib Husein Al Kadri
beserta seluruh keluarganya dilepas dengan penuh kebesaran oleh kerajaan Matan.
Tiga buah perahu besar dari kerajaan Matan melengkapi dua perahu penjemput dari
kerajaan Mempawah, mengantar rombongan Habib Husein Al Kadri menuju Mempawah.
Habib Husein A Kadri menetap di
daerah pemukiman baru yang disediakan oleh Opu Daeng Menambun di sekitar tepian
kuala Sungai Mempawah. Daerah pemukimannya dinamakan Galah Herang karena
ditempat itu orang-orang jika menambatkan perahu memakai galah bambu. Di
Mempawah, Habib Husein Al Kadri mengajarkan agama Islam sehingga pemukiman
Galah Herang menjadi semakin ramai karena banyak penduduk mendirikan rumah dan
tempat berdagang di sekitarnya. Para penduduk dan pedagang tersebut datang dari
Sambas, Simpang, Sukadana, Matan, Palembang dan Riau serta dari daerah
pedalaman Kalimantan Barat seperti Tayan, Sanggau, dan Sekadau.
Raja Mempawah, Opu Daeng Menambun, kemudian mengangkat Habib Husein Al Kadri sebagai pemuka agama Islam di Mempawah. Opu Daeng Menambun bahkan menikahkan anaknya yaitu Puteri Candramidi dengan anak Habib Husein Al Kadri yang bernama Syarif Abdurrahman Al Kadri. Setelah Opu Daeng Menambun meninggal dunia, Habib Husein Al Kadri diangkat sebagai Tuan Besar kerajaan Mempawah karena Pangeran Adijaya sebagai pengganti Opu Daeng Menambun masih belum dewasa. Habib Husein Al Kadri kemudian membawa Putera Mahkota Pangeran Adijaya ke Galah Herang sehingga ketika Pangeran Adijaya menjadi Panembahan Kerajaan Mempawah (memerintah Mempawah tahun 1761-1787 M), pusat kekuasaan Mempawah telah berada di Galah Herang.
Habib Husein Al Kadri Wafat
Setelah sekian lama menjadi seorang pendakwah dan pemuka agama Islam di
Matan dan kemudian di Mempawah, Habib Husein Al Kadri wafat pada hari Rabu
tanggal 3 Dzulhijah tahun 1184 H (1770 M) dalam usia 64 tahun. Beliau
dimakamkan di Kampung Sejegi, Pedalaman Mempawah, tidak jauh dari Galah Herang.
Pada saat ini, Desa Sejegi sebagai tempat pemakaman Habib Husein Al Kadri
dikenal sebagai daerah makam keramat Tuan Besar Mempawah yang dihormati.
Sedangkan pemukiman Galah Herang yang didirikan oleh Habib Husein Al Kadri kini
telah menjadi Kota Mempawah.
Jasa-jasa Habib Husein Al Kadri dalam mengembangkan ajaran agama Islam
begitu banyak. Beliau antara lain pernah menjadi seorang ulama sekaligus Mufti
Peradilan Agama Islam di Negeri Matan Kalimantan Barat. Selama berada di negeri
Matan, ia aktif berdakwah kepada penduduk negeri Matan dari berbagai macam
golongan, mulai dari rakyat biasa, petani, pedagang sampai kalangan istana Kerajaan
Matan. Demikian juga sewaktu pindah ke Negeri Mempawah, ia tetap melanjutkan
aktivitas dakwahnya. Setelah Habib Husein Al Kadri wafat di Mempawah, melalui
keturunannya bernama Syarif Abdurrahman Al Kadri yang mendirikan Kesultanan
Pontianak, aktivitas dakwah agama Islam berkembang dan terus dilanjutkan
sehingga ajaran Islam menyebarluas di wilayah Kalimantan Barat.
Penulis:
Karel Juniardi
Dosen Sejarah IKIP PGRI Pontianak
1 Comments
Informasi yanh baik ... Terimakasih
ReplyDelete