Melawan Wabah Dalam Sejarah: Pandemi Cacar di Kalimantan Tengah 1859-1942

Seorang ibu, dan anak perempuannya dari Suku Dayak Punan dengan luka cacar

                                            Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Wabah cacar pernah menyerang Kalimantan Tengah pada masa Kolonial. Selain vaksinasi, penduduknya menggunakan kearifan lokal khas masyarakat Dayak sebagai upaya mencegah meluasnya dampak Wabah.

Saat ini, dunia internasional sedang menghadapi pandemi COVID-19 (Coronavirus disease) yang mengancam miliaran jiwa. Seperti yang diketahui, sejarah telah mencatat bahwa manusia sejak masa prasejarah hingga kini telah berkali-kali menghadapi wabah penyakit, yang di antaranya merupakan penyakit yang mematikan seperti pandemi Black Death, dan Flu Spanyol atau Influenza. Hal inilah yang mendorong perkembangan dalam dunia medis sebagai cara agar manusia bisa terus bertahan dalam menghadapi makhluk tak kasat mata ini. 

Salah satu penyakit yang paling ditakuti di masa lalu adalah cacar (smallpox). Cacar merupakan salah satu penyakit yang telah muncul sejak masa prasejarah, hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan gejala cacar pada kepala mumi Ramses V yang meninggal pada 1158 SM. Penyakit yang disebabkan oleh virus variola ini pertama kali tercatat di China pada abad ke-4 M, dan terus menyebar ke seluruh dunia hingga akhirnya pada tanggal 8 Mei 1980, WHO menyatakan bahwa penyakit cacar kini tidak terjadi lagi.

Indonesia pun tidak luput dari persebaran penyakit cacar ini. Tentu diketahui bahwa Indonesia pada masa kerajaan tradisional (sekitar abad ke-4 M) menjalin hubungan dagang dengan India, China, Persia dan Arab. Frekuensi perdagangan tersebut turut serta membawa peluang penyakit cacar ini menyebar.

Di Kalimantan Tengah sendiri, cacar ini pertama kali tercatat oleh C. Helfrich, seorang petugas kesehatan kelas dua Pemerintah Hindia Belanda yang bertugas di wilayah Puruk Cahu pada tahun 1859. Dalam laporannya yang berjudul 'Schets Eener Geneeskundige Plaatsbeschrijving van de Zuid-en Oostkust van Borneo’ (Deskripsi tempat medis di Pantai Selatan dan Timur Kalimantan), ia menyebutkan bahwa penyakit cacar ini sudah menyebar di sepanjang sungai Barito hingga ke Puruk Cahu sejak tahun 1850.

Cacar ini menjadi momok menakutkan bagi penduduk lokal di Kalimantan Tengah. Dalam buku Quer Dutch Borneo: Ergebnisse seiner Reisen in den Jahren 1896-97 und 1898-19 (Di seberang Kalimantan: Hasil dari perjalanannya pada tahun 1896-97 dan 1898-19) yang ditulis oleh A.W. Nieuwenhuis, ia menyebutkan bahwa apabila terjadi wabah cacar di suatu kampung, maka pemimpin suku tersebut akan menyatakan wilayah mereka menjadi kawasan yang terlarang untuk dimasuki dan penduduknya akan melarikan diri dari wilayah tersebut terkecuali penduduk yang terkena cacar akan dikurung di dalam rumahnya. Sungai sebagai akses keluar masuk akan ditutupi oleh tali rotan, dan batang kayu, kemudian diberi penanda yaitu sebuah patung yang digunakan untuk ritual. Karena blokade tersebut, banyak dari penderita cacar di kampung tersebut meninggal baik karena penyakitnya maupun kelaparan.

Hal senada diungkapkan pula oleh Van der Mijll Dekker, seorang petugas kesehatan kelas tiga yang ditugaskan ke Tamiang Layang. Dalam laporannya Topographische Schets van Mengkatip en Sihong (Zuider- en Ooster-Afdeeling van Borneo) (Sketsa Topografi Mengkatip dan Sihong (Bagian Selatan dan Timur Kalimantan), ia menyebutkan bahwa saat ia tiba disana untuk melakukan vaksinasi, banyak penduduk disana yang datang dan meminta agar mereka divaksinasi. Berdasarkan laporan yang ditulisnya pada Desember 1862, ia kaget ketika melihat kondisi perkampungan di wilayah tersebut yang begitu menyedihkan. Udara yang kotor dan sanitasi yang tidak bersih menjadi alasan mengapa cacar berkembang begitu pesat di kawasan tersebut.

Berdasarkan paper dari Han Knapen yang berjudul ‘Lethal Diseases in The History of Borneo (1700-1900): Mortality and The Interplay Between Disease Environment and Human Geography’, sebelum dilakukannya vaksinasi cacar di Kalimantan Tengah, suku Dayak mengenal suatu cara pengobatan lokal untuk menghadapi penyakit cacar. Cara ini serupa seperti yang dilakukan oleh orang Eropa yaitu variolasi. Pengobatan ini dilakukan dengan cara mengambil nanah atau bubuk kerak dari kulit seseorang yang menderita cacar, kemudian dihirup melalui hidung dan digosok-gosokkan ke kulit. Orang tersebut kemudian akan mengalami cacar dengan gejala yang ringan, dan setelah sembuh orang tersebut akan memiliki kekebalan terhadap cacar. Terkadang cara ini gagal dan justru menimbulkan tersebarnya penyakit ini secara luas sehingga timbulnya korban jiwa dalam jumlah besar.

Hal menarik ditunjukkan oleh Suku Dayak Punan. Seperti diketahui, bahwa suku Dayak Punan ini dikenal primitif di bandingkan suku-suku lainnya di Kalimantan. Mereka memiliki kebiasaan berdagang yang dipertahankan hingga sekarang, yaitu barter. Barter yang dilakukan oleh suku Dayak Punan ini berbeda seperti suku-suku lainnya, yaitu barter bisu.

Berdasarkan laporan Tobias pada tanggal 1 Desember 1823 dalam ARA MK3081, suku Dayak Punan akan menandai lokasi barter dengan tali rotan, kemudian para pedagang tersebut akan menaruh barang dagangannya di lokasi tersebut. Setelah pedagang tersebut pergi meninggalkan lokasi, maka penduduk suku Dayak Punan tersebut akan mengambil barang dagangannya dan membayarnya dengan hasil hutan. Hal tersebut masih dilakukan hingga saat ini meskipun jarang dijumpai.

            Bila ditilik lebih jauh, dapat diketahui bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh suku Dayak Punan tersebut merupakan sebuah kearifan lokal. Barter bisu ini pada masa lalunya dilakukan suku Dayak Punan untuk menghindari kontak fisik agar tidak tertular penyakit pada saat terjadi wabah di suatu tempat. Ada indikasi bahwa barter bisu ini dilakukan suku Dayak Punan hingga saat ini sebagai bentuk konsekuensi dari wabah cacar yang terjadi berulang-ulang di Kalimantan.

 

Perempuan dari Suku Dayak yang terkena Cacar

Sumber: Buku KROMOBLANDA” Over’t vraagstuk van “het Wonen” in Kromo’s groote land

                                                          

Sejak datangnya vaksin cacar di Kalimantan pada pertengahan abad ke-19, pengobatan variolasi ini dilarang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Vaksinasi cacar mulai rutin dilakukan di kawasan-kawasan di mana terdapat fasilitas kesehatan Pemerintahan Hindia Belanda, seperti di Buntok, Puruk Cahu, Sampit dan berbagai tempat lainnya. Dijelaskan dalam buku KROMOBLANDA”Over’t Vraagstuk van ,,Het Wonen” in Kromo’s Groote Land yang ditulis oleh H.C. Tillema, bahwa wilayah-wilayah tersebut sudah dilakukan karantina dan penduduknya telah melaksanakan vaksinasi secara massal di bawah pengawasan pejabat kesehatan setempat. Setelah kasus wabah terakhir tahun 1915, kasus cacar di Kalimantan Tengah tidak pernah terdengar lagi sebelum akhirnya cacar ini kembali menyerang Indonesia pada tahun 1947.


Penulis:

Voka Panthara Barega, Mahasiswa Sejarah Universitas Padjajaran, Bandung.

1 Comments:

Hendrasius said...

Nice n good information.

Post a Comment