Berita Lawas : Pemandangan di Pontianak (1927)



Surat Kabar Oetoesan Borneo, 31  Desember 1927
(Sumber: Koleksi Pribadi)

Berita asli dari Surat Kabar Oetoesan Borneo, edisi no. 1 tahun ke-1 hari Sabtu 31 Desember 1927. di terbitkan dan dicetak oleh N.V. Boekh & Drunkkerij Phin Min, beralamat di fukustraat 18, 19 & 20 blok U. Berita berjudul asli "Pemandangan di Pontianak" mewartakan  tentang perkembangan kondisi perekonomian dan sosial di pontianak pada 1902.


Isi Berita Asli (disesuaijan dengan ejaan kini)

Jika kita membuka peta pulau-pulau di Indonesia dan kita bandingkan antara Pulau Jawa dan Borneo maka dapat kita lihat bagaimana perbedaan antara kedua pulau tersebut. 

Pulau Jawa dan Madura yang luasnya hanya 131.431 km2 dan Borneo yang luasnya sampai 739.630 km2 dari perbandingan tersebut dapat kita liat, Pulau Borneo memiliki luas kurang lebih 5,5 kali luas Pulau Jawa.

Akan tetapi sungguh begitu penduduk pulau Jawa  17,5 kali lebih banyak dari penduduk Pulau Borneo, karena Borneo hanya memiliki 2 juta jiwa saja, sementara Pulau Jawa terdapat sampai dengan 35 juta jiwa. 

Sekarang mari kita lihat Bagaimana perbedaan antara Pontianak yang dulu dengan yang sekarang ,pada tahun 1902 dengan 1927.

Kita kembali sebentar pada tahun 1902 dan mula-mula kita tunjukan pemandangan di arah gudang tempat kapal kapal berlabuh.

Pada waktu itu di sana hanya terdapat satu jembatan saja. Di mana paling banyak hanya 2 buah kapal saja yang bisa merapat dan satu gudang untuk penyimpanan barang-barang yang dibawa oleh kapal dari negara lain, di sanalah segala barang-barang itu dimasukkan untuk disimpan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan sebelum diambil oleh pemiliknya.

Kapal Api yang masuk ke Pontianak pada waktu itu berasal dari Betawi hanya “de kock” (+ 500 ton) dan “Merkus” (+ 600 ton) saja, yang hanya satu kali dalam 10 hari datang mengunjungi Sungai Kapuas berlabuh di Boom (gudang) Pontianak. Dari Singapura s.s “Ban Ho Soon” (+ 450 Ton) “Ban Hin Goan” (+ 450 Ton) dan “Valentyn” (+ 300 Ton).

Itulah nama kapal-kapal yang pada waktu itu menjadi langganan bagi gudang-gudang Pontianak, untuk mengangkut dan membawa barang dari Pontianak dan dari negara-negara lain. 

Kapal-kapal itu, baik yang datang dari Betawi, maupun yang datang dari Singapura sama-sama masuk dari Kuala sebelah Selatan, yang mana memakan waktu kira-kira 8 jam perjalanan jauhnya dari Pontianak.

Dan kalau kita lihat pula akan perjalanan kapal-kapal dagang Pontianak, banyak yang berhubungan dengan Singapura baik dari barang-barang yang masuk maupun barang-barang yang keluar seperti kopra, getah jeluteng, sahang, pinang, rotan, damar dan lain-lain.

Barang-barang untuk ekspor semuanya datang dari Tanah Hulu dibawa ke Pontianak dengan Bandong (Kapal) yang digandeng oleh kapal api kecil dan kapal “Kapuas’ milik K.P.M. Dari arah Landak barang-barang ini dibawa hanya dengan tongkang saja dengan menempuh perjalanan air yang sungguh jauh.

Di seberang gudang dapat kita lihat satu pabrik minyak kelapa dari Law Ban Seng, di sebelah hilir ada juga berdiri satu pabrik minyak kelapa juga milik Hemmes & Co.

Minyak kelapa yang dibuat oleh kedua pabrik tersebut banyak yang dikirim ke Batavia, Palembang, Banjarmasin dan tempat lain dengan kapal Betawi. Minyak ini juga banyak dipakai di Pontianak dan di Tanah Hulu, ampas minyaknya dikirim ke Jerman dan ada juga yang dikirim ke Belanda untuk dipakai menjadi pakan sapi dan babi.

Di dalam kantor Bea Cukai waktu itu hanya ada 1 pemeriksa saja yang menjabat juga sebagai Kepala Pelabuhan, 2 pengawas gudang, 1 staff dan 1 kasir. Kantor pengiriman paket hanya dipimpin oleh satu agen dan dibawahnya hanya ada satu staf, satu kasir, dan satu mandor saja. 

Pada waktu itu hanya terdapat satu hotel saja dan kecil pula begitupun  kantor posnya yang masih sempit dan kecil. Kampung Belanda biarlah kita lewati dulu untuk sementara, agar jangan sampai menghabiskan waktu bagi pembaca. 

Kantor Pemerintahan juga kecil dan hanya dipimpin oleh satu residen satu asisten residen dan satu pengontrol saja.

Pasarnya dapat dikatakan besar akan tetapi orang-orang Tionghoa tinggal di tokonya yang terdapat di pasar itu karena Kampung Cina (Pecinan) seperti di tempat lain tidak ada.

Di ujung pasar dapat kita lihat kantor dan gudang dari Borsumij (Borneo Sumatera Handel Maatschapij). Di dalam kantor yang kecil itu tinggal seorang pemimpin seorang pegawai, 2 staff dan satu kasir. Gudang impornya dikepalai oleh seorang Tionghoa dan dibagian export ada lagi dua orang lagi yang bekerja.

Di sebelah kantor dan gudang ini berdiri rumah Tuan heng Seng Hie  yang telah meninggal dunia, salah satu saudagar yang paling besar dan kaya di Pontianak.

Menurut cerita orang, perusahaan di Tanah Jawa tidak mau dan tidak suka datang ke Pontianak, karena negeri ini sangat dihinakan oleh orang yang mengatakan bahwa Pontianak adalah salah satu “Verbanningsplaats (tempat pengasingan)”, negeri orang Dayak dan sebagainya.

Begitupun juga pegawai-pegawai negeri yang dipindahkan Pontianak, seringkali kita dengar di mana orang itu minta dicabut saja dan dipindahkan kembali atau jika tidak minta di pecat saja! “Hidup sangat membosankan disana” begitu yang ia dengar kabar dari orang-orang yang telah pernah datang ke Pontianak. Itulah sebabnya maka mereka itu tidak mau dipindahkan ke sini. 

Juga seringkali kita dengar kabar siapa-siapa yang baru datang dari Pontianak ke Tanah Jawa, ia disebut sebagai orang Dayak.

Di seberang gudang Tuan Theng Seng Hie terdapat masjid, dan kedalam sedikit disanalah berdiri istana Tuan Sultan Pontianak Syarif Muhammad. Rumah sekolah hanya hanya terdapat tiga buah saja pada waktu itu, yaitu Sekolah Melayu dimana anak-anak muridnya kebanyakan terdiri dari anak-anak militer saja, dan satu sekolah Tionghoa yang kecil

Telepon tidak ada.

dan mobil?

Dapat hijau mata orang jika melihat mobil pada waktu itu, tentu tidak akan ditemukan, Jika orang pada waktu itu hendak pergi ke Sungai Kakap, harus pergi menggunakan sepeda angin yang yang waktu itu juga belum begitu banyak atau naik bidar (perahu) saja. Pada waktu itu banyak orang yang menyimpan bidar, dan dapat kita lihat pada waktu toke-toke pulang dari pekerjaannya, sama-sama naik bidar. 

Dahulu mengemudi bidar ini dapat dilihat sebagai suatu pekerjaan yang amat mulia, kalau orang duduk bersandar di atas kendaraan air tersebut akan didayungkan oleh seorang tukang  dayung.

Hingga tahun 1914, keadaan dan penghidupan di Pontianak masih tetap tertinggal seperti dalam tahun 1903, hanya ada perubahan waktu pada Tuan Kontrolir Karon (Digelar anak negeri kontrolir 3 bulan) datang memerintah ke Pontianak.


Penulis : Alima Diennur Yahya

 

 

 

 

 

 

Share:

Berita Lawas : Sultan Pontianak Dengan Waterledeng (1928)

 Surat kabar Matahari Borneo, 21 Desember 1928
(Sumber : Koleksi Pribadi)

Berita asli dari surat kabar Matahari Borneo, edisi No. 18 Tahun ke-1 Hari Jumat 21 desember 1928. Kepala redaktur L.Mandey beralamat di Pasar Besar Blok N.35 Pontianak. Berita berjudul asli "Sultan Pontianak dengan Water Leiding" Mewartakan proposal pembuatan parit untuk pembuatan pipa air ledeng.  


Isi Berita Asli (disesuaijan dengan ejaan kini)

Sungguh sudah banyak dibicarakan di gedung Volksraad dan media tentang waterledeng yang akan dibuat dikota ini, tetapi sampai saat ini belum ada satu ketetapan yang pasti dari mana sumber waterledeng itu.

Pemerintah sudah menyediakan dana sejumlan f 400.000.- untuk waterledeng tersebut.

Ada yang mengatakan bahwa air waterledeng akan di ambil di Sungai Melaya, ada juga yang mengatakan akan dicari di Sungai Bangkong dan ada pula yang mengatakan bahwa akan digali parit dari Kubupadi terus ke Parit Wan Salim di Siantan. Perkiraan masyarakat dalam ketiga prediksi tersebut sia-sia saja. Apabila diambil dari Sungai Melaya tentu saja air itu masih asin juga sebab di dalam sungai itu saat ini sudah mulai di gunakan untuk berkebun oleh orang Tionghoa dan Bumiputera. Sehingga dapat dikatakan bahwa jika hutan di tepi sungai sudah tidak ada maka akan mudah pasang dan surutnya, dan karena derasnya air yang masuk bisa jadi air laut pun akan masuk juga.

Sebagai tambahan, tentu saja air itu akan kotor, karena banyak orang Tionghoa yang memelihara babinya di dalam kebun itu.

Jika diambil dari Sungai Bangkong, maka akan banyak orang yang kesusahan, karena jika datang musim kemarau maka semua mata air di sungai bangkong akan kering. Sehingga pada berberapa tahun yang lalu ketika musim kemarau, pernah terjadi kebakaran yang menjalar sampai darat yang mana api tersebut muncul dari dalam tanah.

Jika diambil dari Kubupadi sebagaimana yang dikerjakan orang sekarang ini, itupun belum bisa dikatakan beruntung.

Menurut Voorstelnja (Proposal) Sri Paduka Tuan Sultan kepada Sri Paduka Tuan Resident supaya air waterledeng itu diambil dari Mandor, jadi dengan jalan membuat parit dimulai dari Parit Belanda Siantan terus hingga ke Gunung Mandor.

Untuk membuat parit itu tidak banyak memakan ongkos, karena parit tersebut akan dikerjakan dengan heerendienst (kerja sukarela) dan orang yang bekerja mendapatkan beras dan ikan kering.

Apabila parit tersebut telah selesai terus hingga Gunung Mandor, maka orang-orang akan tetap mendapatkan air bersih yaitu air dari Gunung Mandor yang memang bening dan jernih.

Pipa-pipa waterledeng tentu akan terus menerima air tersebut.

Menurut  pertimbangan ongkos yang akan terpakai tidak begitu banyak dan begitu juga bagi rakyat dan landschap (perusahaan) ada keuntungan (voordeling). Tanah-tanah yang terdapat pada sisi kiri dan kanan parit tersebut dapat dibagikan kepada anak negeri supaya dapat di buka sebagai kebun.  

Itulah keuntungan rakyat dan tentu pula pada Landschap serta biaya-biaya waterledeng tidak seberapa.

Kita telah mendengar kabar bahwa kepala kampung dari Kerajaan Pontianak setuju dengan proposal Sri Paduka Sultan, sehingga mereka sudah meminta beliau supaya Segera dibagi-bagikan (dikerjakan) parit air yang akan dikerjakan terus sampai ke Gunung Mandor itu 

Mudah-mudahan pemerintah atau pihak yang berwajib setuju dengan proposal dari Sri Paduka Sultan ini.


Penulis : Alima Diennur Yahya

Share:

Mengenang Kiprah dan Perjuangan Dokter Mas Soedarso

 

 

dr. Mas Soedarso 
(Sumber: dinkes.kalbarprov.go.id)

 

 Oleh: Yusri Darmadi 

Mengenal lebih dekat dr. Soedarso. Dokter pejuang dimasa revolusi, pernah menjadi rektor pertama Universitas Tanjungpura. Namanya diabadikan menjadi  Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). 

Anda masyarakat Kalimantan Barat? atau anda warga kota Pontianak? biasanya nama Soedarso anda kenal sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat yakni RSUD dr. Soedarso. Betul, nama dr. Soedarso diabadikan menjadi nama rumah sakit sejak tanggal 28 Oktober 1976 melalui SK Gubernur KDH Tk. I Kalimantan Barat yang ditandatangani oleh Kadarusno dan diresmikan pada tanggal 24 November 1976 oleh Prof. G.A. Siwabessy, Menteri Kesehatan saat itu. 

Mas Soedarso dilahirkan di Pacitan, Jawa Tengah pada tanggal 29 November 1906. Penulis ingin mengulas jasa dan pengabdian dr. Soedarso saat masa revolusi kemerdekaan khususunya dalam bidang pendidikan dan kesehatan di Kalimantan Barat.

Dilahirkan dari seorang ayah yang merupakan Wedana di district Purwokerto sejak tanggal 23 Mei 1893 (Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1895: 192) bernama Raden Atmosoebroto dan ibu bernama Oemimackminatun, Soedarso yang merupakan anak keenam dari sebelas bersaudara menyelesaikan sekolah Europesche Legere School (ELS) di Madiun. Kemudian melanjutkan kuliah School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta dan mampu diselesaikan dalam usia 25 tahun 8 bulan yakni tanggal 28 Juli 1932. Beranjak dewasa, beliau menikahi gadis pilihannya sendiri bernama Soetitah. Hasil pernikahan ini dikarunai delapan orang anak yaitu: 1. Agus Sutiarso, 2. Agus Setiadi, 3. Andarwini, 4. Sriyati Supranggono, 5. Sri Rezeki Norodjati, 6. Agus Setiawan, 7 Sri Astuti Suparmanto, dan 8. Savitri Tri Haryono. Salah satu putrinya meninggal dalam usia tiga tahun yaitu Andarwini. Pernikahan dengan Soetitah hanya sampai tahun 1961, karena ibu dari delapan anak ini sakit dan meninggal dunia.  Setahun kemudian Soedarso menikah kembali dengan Hartati yang saat itu menjabat Ketua Yayasan Bersalin di Pontianak dan dikarunai seorang putri bernama Savitri Restu Wardhani (Juniar Purba, 1993: 7,8,9 & 34 ).

Awal pengabdian dokter Soedarso di Kalimantan Barat yakni pada bulan Februari 1938, beliau ditugaskan di Kabupaten Sanggau. Pada tahun 1941, dr. Soedarso ditunjuk sebagai petugas medis cadangan kelas 2 selama 3 tahun bersama Rubini dan Lie Giok Tjoan (Soerabijasch handelsblad, No. 299, 23/12/1941: 89). Menurut Sejarawan Kalimantan Barat Drs. Soedarto (Interview 16/11/2016), apabila berbicara tentang dokter Soedarso, pertanyaan yang selalu muncul yakni kenapa dokter Soedarso bisa luput dari pembunuhan oleh tentara Jepang? Pak Darto menjelaskan bahwa pada masa penjajahan Jepang, ada kecurigaan elit dari Kalimantan Selatan akan melakukan pemberontakan dan akan tersebar di kalangan serupa serta aristokrat di Kalimantan Barat. Itu yang menyebabkan Jepang bertindak melakukan pembunuhan-pembunuhan yang puncaknya terjadi di Mandor. Pembunuhan dilakukan terhadap aristokrat, tokoh pendidikan, pengusaha, orang-orang Koumintang, termasuk terhadap dokter-dokter yang saat itu dianggap kaum elit di masyarakat.  

Dr. Mas Soedarso dan istrinya. 
(Sumber: Keluarga dr. Mas Soedarso)

Beberapa dokter yang dibunuh tentara Jepang antara lain: dokter Sunaryo, dokter Agusjam, dokter Ismail, dokter Diponegoro, dokter Zakir, dan dokter Rubini. Dokter Soedarso luput karena beliau diperlukan oleh tentara Jepang untuk merawat tokoh-tokoh Jepang. Pada bulan Maret 1944, ia dipindahkan ke Singkawang, kemudian tahun 1945 pindah ke Pontianak. Ketika dokter-dokter Jepang meninggalkan Rumah Sakit Umum Sei Jawi (Saat ini Rumah Sakit St. Antonius Pontianak), dr. Soedarso mengambil alih tanggung-jawab Rumah Sakit tersebut untuk sementara waktu (Setengah Abad RSU Sei Jawi Pontianak 1929-1979). Pada tahun 1945 dr. Soedarso juga ditugaskan sebagai dokter pemerintah di Rumah Sakit Jiwa Pontianak dan Ngabang, kemudian pada tahun 1958–1971 menjabat sebagai Inspektur Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.

Pada tanggal 02 Mei 1947, dr. Soedarso sebagai ketua Gabungan Angkatan Pemuda Indonesia (GAPI) mengadakan kongres pemuda dan mengundang semua organisasi pemuda di Kalimantan Barat (Het Dagblad No. 120, 26/11/1947: 2). Dokter Soedarso juga dipercaya menjadi koordinator Badan Pemberontakan Indonesia Kalimantan Barat (BPIKB) sehingga pada tahun 1948 Belanda menghukumnya 6 tahun penjara. Dengan menggunakan kapal uap “Amnuputty”, dokter Soedarso dipindahkan ke Penjara Cipinang Batavia (De Locomotief No. 216, 21/05/1948: 96).

Sebagaimana dijelaskan Kronik Revolusi Indonesia Tahun 1948, hukuman penjara 6 tahun lamanya, yang dimintakan oleh landgerecht Pontianak terhadap dr. Soedarso tanggal 20 Maret 1948, karena dituduh “gerakan gelap dalam waktu keadaan bahaya”, disyahkan oleh hooggerechtshof di Jakarta, demikian Aneta. Dalam berita-berita sebelumnya dikatakan, bahwa dr. Soedarso telah memberi sokongan uang kepada seorang pemberontak (Antara). Keluarga Soedarso mengajukan permohonan grasi, sedangkan GAPI dan Komite “Urusan Soedarso” menghimbau melalui iklan di koran agar masyarakat tidak melakukan protes dan demonstrasi (Nieuwe Courant, No. 110, 20/05/1948: 3).

Saat terjadi pemogokan di Kalimantan Barat yang disebabkan oleh masih berlakunya hukum-hukum kolonial pada tahun 1950, dr. Soedarso sebagai sekretaris misi parlemen Kalimantan Barat yang diketuai oleh Mr. Lukman Wiriadinata berperan dalam tercapainya kesepakatan antara Dewan Kalimantan Barat dan Komite Nasional bahwa pemogokan akan dihentikan, menghapus dewan, dan membentuk pemilihan umum baru (Java Bode, No. 189, 21/03/1950: 98). Semua individu, yang ditangkap sehubungan dengan pemogokan, dibebaskan. Diantara mereka adalah Ketua Komite Nasional Bapak S.A. Marpaoe. “Menurut pendapat saya, sesegera mungkin menunjuk Komisaris RIS untuk Kalimantan Barat” kata dr. Soedarso (Nieuwe Courant, No. 66, 21/03/1950: 5).

Dalam bidang pendidikan, dokter Soedarso merupakan dewan kurator/pengawas (1959-1961) dan salah satu pelopor berdirinya Universitas Daya Nasional (kemudian berubah menjadi Universitas Dwikora, Universitas Negeri Pontianak dan saat ini Universitas Tanjung Pura/UNTAN) bersama beberapa tokoh politik dan pemuka masyarakat Kalimantan barat, antara lain: Edy Kresno, J.C. Oevang Oeray, R. Wariban, Ismail Hamzah, Ibrahim Saleh, Muzani A. Rani, Hasnol Kabrim Mr. A.S. Saripada, H.A. Manshur, dan D. Suhardi. Saat awal berdiri, universitas ini memiliki dua fakultas yaitu Hukum dan Ekonomi. Orang yang pertama kali masuk dan menjadi alumni fakultas Hukum yaitu Bapak H.M. Ali As, SH., (Bupati Kapuas Hulu 1975-1980), registrasi mahasiswanya nomor 2 (Interview Drs. Sudarto, 16/11/2016). Bahkan menurut akun instagram resmi Universitas Tanjungpura tertanggal 20 Mei 2020 (yang mendasarkan pada majalah Mimbar Untan edisi 10 tahun 2017), bahwa dr. Mas Soedarso menjadi rektor pertama pada 20 Mei 1959, yang saat itu disebut Presiden Universitas.

Dokter Soedarso juga mendirikan Sekolah Pendidikan Bidan di Pontianak, Sekolah Juru Kesehatan di Sintang dan Ketapang, dan turut mengusahakan berdirinya Sekolah Kejuruan di Pontianak (Juniar Purba, 1993: 48). Melihat jasa dokter Soedarso baik di bidang pendidikan maupun kesehatan sudah selayaknya beliau diberi gelar sebagai pahlawan nasional. Namun, Undang-undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan membatasi untuk mendapat gelar pahlawan nasional harus pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa (Pasal 26 huruf a) dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun (Pasal 25 huruf e). Mudah-mudahan harapan agar dokter Soedarso diberi gelar sebagai pahlawan nasional dapat terealisai di masa yang akan datang. Wallahu A’lam Bishawab.

(Tulisan ini pernah dimuat Pontianak Post, Rabu, 30 November 2016).

Share:

Mengenal Operasi Lintas Udara Pertama AURI di Tanah Borneo (17 Oktober 1947)

Foto sebagian anggota yang diterjunkan di Kalimantan pada tanggal 17 Oktober 1947, dari kiri Soejoto, J. Bitak, M Dachlan (duduk), Bachri, Ali Akbar, C. Williams, Aminudin dan Darius
Sumber: Direpro dari Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950

 

Oleh : Voka Panthara Barega

Inilah kisah operasi terjun payung pertama dalam sejarah TNI, berani terjun dari pesawat meski hanya berbekal latihan teori.

Waktu menunjukkan pukul 05.30, di saat orang-orang mulai terbangun dan melakukan aktivitasnya, terdengar deru pesawat yang kencang memecah keheningan di tanah Borneo. Pesawat itu adalah Dakota RI-002 yang membawa sejumlah pasukan untuk diterjunkan di kawasan Sepan Biha, Kalimantan Tengah. Mereka ditugaskan untuk menjalankan misi rahasia pada masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak lantas membuat seluruh rakyat Indonesia bersuka cita pada saat itu, melainkan timbul rasa khawatir akan dijajah kembali oleh Belanda. Benar saja, tidak lama setelah kedatangan pasukan sekutu yang menguasai Kalimantan pasca pendudukan Jepang, mereka segera menyerahkan wilayah Kalimantan secara resmi pada NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pada 24 Oktober 1945. Hal ini sontak membuat rakyat setempat yang mendukung kemerdekaan Indonesia marah dan melakukan perlawanan terhadap NICA.

Kalimantan Tengah menjadi salah satu kantong perjuangan dan pergerakan gerilya. Rizali Hadi dalam Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak menjelaskan terdapat gerakan-gerakan seperti GP3 (Gerakan Pelopor Penegak Proklamasi), Laskar Kilat, Laskar Merah Putih, Katraco dan gerakan-gerakan lainnya yang dilebur menjadi GRRI (Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia) (Hadi, 2019: 99). Namun, pergerakan mereka terhambat dikarenakan menjadi sasaran tentara KNIL dan NICA. Ditambah dengan hasil dari Perjanjian Linggarjati pada 15 November 1946 menyebabkan suplai bantuan dari Jawa terhenti, dan mau tidak mau mereka harus berjuang sendirian.

Kekhawatiran muncul dari Gubernur Kalimantan pada saat itu, Ir. H. Pangeran Muhammad Noor. Ia mengirimkan surat kepada KSAU Suryadi Suryadarma untuk meminta bantuan agar AURI bersedia melatih para pemuda asal Kalimantan untuk diterjunkan ke Kalimantan membantu gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan, tulis Irna H.N. Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950. Karena akses melalui laut tidak mungkin dilakukan akibat blokade Belanda, maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh hanyalah melalui udara dengan melakukan terjun payung.

Permintaan Gubernur Kalimantan kemudian dirundingkan oleh AURI dengan Markas Besar Tentara (MBT). Keputusannya MBT menyetujuinya dan segera membentuk staf khusus yang bertugas merekrut pasukan terjun payung. Dalam waktu singkat, mereka berhasil merekrut sebanyak 60 orang berasal dari Kalimantan, Jawa, Sumatra, dan Madura.

Sempitnya waktu yang ditentukan memaksa AURI memangkas teori dan latihan yang akan dilakukan. Mereka hanya diberi latihan berupa teori terjun dan juga cara melipat payung, dan sama sekali tidak diberi latihan terjun dari pesawat. Latihan tersebut dilakukan hanya dalam waktu satu minggu, dan AURI menyeleksi 12 dari 60 orang yang direkrut. Mereka yang terpilih adalah Achmad Kosasih, Iskandar, Ali Akbar, Mica Amiruddin, C. Williams, Morawi, Bachri, Darius, Emmanuel, M. Dahlan, J. Bitak, dan Jamhani dan semua orang tersebut paham bahasa Dayak Kahayan. Adapun tambahan 2 orang dari PHB AURI, yaitu Opsir Muda I Hari Hadisumantri sebagai montir radio, dan Sersan Udara F.M Soejoto sebagai juru radio.

Operasi ini bersifat rahasia, dan memiliki tujuan untuk membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di kawasan Sepan Biha, sekaligus membuka stasiun pemancar induk, dan menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi-operasi berikutnya. 14 penerjun tersebut memegang beban tugas yang berat dengan persiapan yang ala kadarnya.


Monumen Palagan Sambi di Kotawaringan Barat dan Pesawat RI-002 yang digunakan dalam penerjunan 17 Oktober 1947. Sumber : Kumparan


 
Pesawat bertolak dari Yogyakarta pada 17 Oktober 1947, pukul 02.30 dan mencapai Kalimantan pada pukul 05.30. Pesawat yang digunakan adalah Dakota RI-002 yang dipiloti oleh Bob Earl Freeberg, pilot berkebangsaan Amerika Serikat yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Adapun co-pilot adalah Opsir Udara III Makmur Suhodo, operator penerjun adalah Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, dan Mayor Tjilik Riwut sebagai penunjuk daerah penerjunan. Titik penerjunan mereka adalah di sebuah bukit di wilayah Sepan Biha, di mana wilayah ini merupakan salah stau kantong perjuangan utama di Kalimantan Tengah. Namun penerjunan mereka tidak semulus seperti apa yang direncanakan karena mereka mendarat di dekat Kampung Sambi, sekitar barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin.

Dalam penerjunan tersebut, tiga belas penerjun berhasil mendarat dengan selamat, meskipun sempat tersangkut di pepohonan, hanya Jamhani yang batal meloncat karena ketakutan. Penerjunan ini disertai dengan dropping alat-alat perlengkapan, amunisi, dan juga perbekalan. Namun, mereka tercerai berai dan baru bisa berkumpul kembali pada hari ketiga, dan itupun sebagian perlengkapan, amunisi dan perbekalan tidak dapat ditemukan.

Karena mereka mendarat tidak di lokasi yang ditentukan, mereka terpaksa harus bertahan hidup di tengah hutan belantara. Setelah 35 hari bergerilya di hutan belantara Kalimantan, terjadi kontak senjata antara pasukan payung dengan tentara KNIL yang terjadi di sebuah ladang tepi Sungai Koleh yang menyebabkan tiga orang gugur. Ketiga orang yang gugur tersebut adalah Letnan Udara II Anumerta Iskandar, Sersan Mayor Udara Anumerta Achmad Kosasih, dan Kapten Udara Anumerta Hari Hadisumantri. Sersan Udara F.M Soejoto tertangkap, sedangkan Dachlan mengalami luka berat di leher. Ia bersama pasukan yang selamat lainnya berhasil meloloskan diri, dan meneruskan gerilya di tengah hutan belantara hingga akhirnya dalam waktu kurang dari dua bulan kemudian mereka semua tertangkap.

Mereka dibawa ke Banjarmasin, sebelum akhirnya dikirim ke Jakarta untuk ditawan di Penjara Bukit Duri, kemudian dipindahkan ke Penjara Glodok dan Penjara Cipinang. Terakhir, mereka dijebloskan ke Penjara Bukit Batu di Nusa Kambangan. Mereka akhirnya dibebaskan menjelang Konferensi Meja Bundar dan dikembalikan ke Yogyakarta.

Operasi tersebut kemudian dikenal sebagai operasi lintas udara pertama di Indonesia. Meskipun para pasukan payung tersebut gagal dalam menunaikan tugasnya, tetapi kisah para pasukan tersebut menjadi suatu kisah peristiwa yang gemilang hingga diabadikan dalam sebuah film berjudul Aksi Kalimantan pada tahun 1961. Selain itu, untuk memperingati peristiwa bersejarah ini, maka setiap tanggal 17 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi Korps Komando Pasukan Gerak Cepat (KOPASGAT) yang kini menjadi Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (KORPASKHAS TNI-AU).

Daftar Sumber

Buku

Hadi, R. (2019). Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak. Purwokerto: CV IRDH.

Soewito, I.H.N.H., Suyono, N.N., Suhartono, S. (2008). Awal Kedirgantaraan di Indonesia - Perjuangan AURI 1945-1950. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Internet

Dinas Penerangan – TNI Angkatan Udara, (n.d.). “17 Oktober 1947, Operasi Lintas Udara Pertama AURI”. Diakses pada 28 Juni 2021, dari https://tni-au.mil.id/portfolio/17-oktober-1947-operasi-lintas-udara-pertama-auri/

Dinas Penerangan - TNI Angkatan Udara, (2018, 23 Maret). "Lahirnya AURI dibumi Kalimantan". Diakses pada 29 Juni 2021, dari https://tni-au.mil.id/lahirnya-auri-dibumi-kalimantan-2/



Share:

Ironi Dalam Revolusi: Kekerasan Militer Belanda di Kalimantan Barat

Dua anggota tentara KNIL di Singkawang yang sedang berlatih senjata
(Sumber: NIMH)

Penulis: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat

Sejumlah kekerasan mewarnai aksi militer Belanda di Kalimantan Barat selama masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Baik pejuang republik maupun rakyat jadi korban kekejaman serdadu KNIL.

Perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya antara tahun 1945-1949 merupakan salah satu babak sejarah terpenting bangsa ini. Periode ini bukan hanya milik segelintir orang besar, namun seluruh rakyat baik sipil maupun militer. Tidak hanya milik Indonesia, namun juga dalam catatan risalah bagi negeri Belanda juga. Perjuangan rakyat melalui perlawanan bersenjata diwarnai dengan berbagai macam kisah seperti heroisme dan keteladanan, dan juga kesedihan karena banyak sekali kesuma bangsa yang gugur di palagan. Aksi-aksi kekerasan bersenjata sering dijumpai pada periode ini, umumnya oleh tentara Belanda ke para pejuang Indonesia dan rakyat sipil. 
Share:

Serdadu Jerman Dalam Perjuangan Republik

 

Ilustrasi Awak Kapal Selam U-Boat Jerman
(Dokumentasi: uboatarchive.net) 

Oleh: M. Rikaz Prabowo

Perang Kemerdekaan Indonesia yang bertujuan mempertahankan dan menegakkan kedaulatan RI yang berkecamuk pada tahun 1945-1949 ternyata bukan hanya milik orang bumiputera saja. Setidaknya ada beberapa tentara asing seperti tulisan penulis sebelumnya, dari India, Pakistan, Jepang dan bahkan Belanda yang kemudian membelot/desersi masuk ke dalam kesatuan tentara Republik. Diketahui ada pula jejak tentara Jerman yang masuk bergabung dalam kesatuan tentara Republik. Jumlahnya mungkin tidak banyak, tapi bagaimanapun juga cukup memberikan kontribusi dan sumbangan bagi perjuangan Indonesia melawan penjajah Belanda. 
Share:

Peristiwa Hotel Mountbatten Pekanbaru


Oleh: Bayu Amde Winata | Pekanbaru Heritage Walk

Berita kemerdekaan Indonesia baru sampai di Pekanbaru pada tanggal 22 Agustus 1945. Berita ini didengar oleh para pegawai PTT (Post Telegraaf, en Telephone) di Pekanbaru. Tetapi informasi kemerdekaan ini belum ditanggapi serius karena butuh penyelidikan lebih lanjut. Pada tanggal 30 Agustus 1945, pemuda PTT mendapat telegram bahwa anggota dewan Chou-Sangi-in Sumatera untuk Karesidenan masing masing agar mengambil alih pemerintahan dari pihak Jepang dan menunjuk seorang Kepala Daerah Keresidenan. 

Letnan Kolonel/Letkol Hasan Basri, dalam Menegakkan Merah Putih di Daerah Riau (1985) menjelaskan, setelah mendapatkan telegram ini, pemuda PTT mendatangi Aminuddin. Pada zaman pendudukan Jepang, dia adalah anggota Chou-Sangi-in Sumatera daerah Riau Syu. Tetapi, Aminuddin menolak melaksanakan instruksi pemerintah Republik Indonesia. Sehingga, Basrul Jamal selaku pemimpin pemuda PTT mendatangi Raden Yusuf Surya Atmaja, pada saat itu ia merupakan kepala PU/ Wakil Ketua Riau Sangi Kai. 

Pada zaman penjajahan Jepang, pembagian wilayah Pekanbaru berubah. Afdeeling menjadi Buncho yang dikepalai oleh Bun, bertugas mengawasi beberapa district/gun. District menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho, dan Onderdistrict menjadi Ku yang dikepalai oleh Kucho. Pekanbaru Guncho berada langsung dibawah Cokan. Pekanbaru Gun meliputi Senapelan Ku, Tapung Kiri Ku, Tapung Kanan Ku, Kampar Kiri Ku, dan Singingi Ku. 

Pekanbaru menjadi ibukota Senapelan Ku. Sehingga Pekanbaru adalah Ibukota Riau Syu Cokan terdapat Pekanbaru Guncho dan Senapelan Kucho.  Pekanbaru Guncho ditunjuk Datuk Wan Abdul Rahman dan Senapelan Kucho adalah Tengku Muhammad/Tengku Busu. Buku Sejarah Perjuangan Rakyat Riau 1942-2002 yang terbit tahun 2004 menjelaskan mengenai Struktur pemerintahan di Riau Syu yang dipimpin oleh Syu Cokan yang membawahi beberapa wilayah di bawahnya. Misalnya, Bun yang dipimpin oleh pejabat yang disebut Bun su Cho, dan seterusnya seperti Guncho, dan Suncho. 


Pengibaran Bendera Merah Putih

Sementara Komite Nasional Indonesia (KNI) menyusun kekuatan formasi, pada hari Jumat tanggal 14 September 1945. Didorong oleh semangat yang membara, pemuda PTT mengibarkan bendera merah putih di atas gedung PTT. Hasan Basri dalam bukunya yang telah disebutkan di atas menuliskan, pengibaran ini dipimpin oleh Basrul Jamal dan pengibar bendera merah putih adalah Danilsyah. Kain bendera merah putih ini dijahit oleh Zalidar, kakak perempuan Basrul Jamal. Esoknya, pada tanggal 15 September 1945, di kantor polisi Pekanbaru dinaikkan bendera merah putih yang diprakarsai oleh Tugimin. Mochtar Saleh salah seorang angkatan muda PTT di Pekanbaru saat itu, menuliskan pengalamannya terlibat dalam pengibaran bendera merah putih di gedung PTT. 

    “Kami, angkatan muda PTT memakai tanda merah putih pada baju kami masing masing.         Mempelopori menaikkan bendera sang saka merah putih yang pertama di puncak atap gedung PTT Pekanbaru tanggal 14 September 1945, disaksikan oleh masyarakat umum di luar pekarangan gedung kantor.” - Pemuda PTT Pekanbaru

Saat pengibaran bendera merah putih, Lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan, pada kalimat “Indonesia Raya merdeka merdeka” teriakan merdeka terdengar keras dari masyarakat Pekanbaru. Alasan tidak dikibarkannya bendera merah putih di Pekanbaru sebelum bulan September 1945 adalah karena; Pekanbaru sebagai ibukota Keresidenan Riau masih diduduki oleh Jepang dan POW (prisoners of war) dari KNIL mulai mencari jalan mengambil alih pemerintahan. Disisi lain belum ada tindakan resmi dari Residen karena masih berunding dengan tokoh tokoh untuk menentukan langkah selanjutnya. 

Setelah pengibaran bendera merah putih, Pekanbaru kemudian bersiap dengan pemulangan POW yang membangun jalan kereta api Pekanbaru-Muaro sepanjang 220 km. Di akhir September 1945, RAPWI/Rehabilitation Allied Prisoner of War and Internees datang ke Pekanbaru. Pasukan RAPWI mendarat di bandara Pekanbaru dan dipimpin oleh Mayor Langley.  Ekspor impor dari Pekanbaru sejak Jepang masuk sama sekali tidak terjadi. Bahan makanan di jatah oleh Jepang untuk penduduk Pekanbaru. Perkebunan karet Sukajadi ditebang dan diganti dengan singkong dan menjadi makanan pokok saat itu. 

Dalam buku Henk Hovinga, The Sumatra Rail Road, Final Destination Pakanbaroe 1943-1945, di Pekanbaru selain tahanan perang terdapat juga romusha. Setelah Jepang menyerah kalah, romusha yang berada di Pekanbaru pada awal bulan Oktober 1945 sebanyak 6178 orang dikumpulkan pada kamp-kamp yang ada pada saat pembuatan rel Pekanbaru-Muaro sepanjang 220 km.  Major Langley merenovasi kamp-kamp ini hingga layak untuk menampung para romusha. Untuk menyelamatkan romusha yang masih tersisa di Pekanbaru, maka dibuka penerimaan relawan.  Salah seorang relawan, dr. De Boer menceritakan pengalamannya dalam laporan yang dia tulis, “Dalam pencarian kamp Romusha, saya menemukan barak-barak yang ditinggalkan dan penuh dengan mayat yang sudah membusuk. Di depan mata saya, saya melihat korban yang kelaparan dan luka parah akibat perlakuan Jepang.”

Seribu orang pertama dari romusha di Pekanbaru dikumpulkan pada sebuah camp yang bernama Padang Terubuk. Kebutuhan akan obat dan makanan untuk romusha menjadi sangat mendesak. Pada bulan November 1945, ada 1400 romusha di kamp Padang Terubuk dan 1200 orang di bekas kamp POW yang ada di Pekanbaru. 500 orang romusha berada di rumah sakit darurat di Simpang Tiga. Tim yang dibentuk oleh Mayor Langley merawat 3100 romusha. 

Untuk menjemput POW/tahanan perang di Pekanbaru, Sekutu mengirimkan Edwina Cynthia Annete Mountbatten atau lebih dikenal dengan nama Lady Mountbatten untuk melihat kondisi tahanan pasca Jepang menyerah. Ia adalah istri dari Louis Mountbatten yang merupakan Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, dimana ia terlibat dalam kegiatan relief worker dan repatriasi POW pasca perang. Lady Mountbatten datang ke Pekanbaru sebagai tim survei pemulangan para tahanan di Pekanbaru. Setelah kedatangan Mountbatten di Pekanbaru pada 15 hingga 16 September 1945. Evakuasi POW mulai dipersiapkan. Di Pekanbaru sendiri, keberadaan POW tidak disenangi karena keberadaan pasukan KNIL mulai menggonceng RAPWI. Akibatnya, konflik mulai terjadi antara pemuda dan barisan BKR dengan pasukan KNIL. Puncak dari konflik ini adalah terjadinya peristiwa di Hotel Mountbatten. 


Agresi Militer II

Hotel Mountbatten berada di Batu I/Km 1 Kota Pekanbaru. Hotel ini ikut terbakar saat peristiwa agresi militer Belanda 1948 di Pekanbaru oleh barisan pejuang Pekanbaru. Pada mulanya hotel ini adalah hotel yang dibangun Jepang yang bernama Hotel Syonanto. Hotel ini digunakan Jepang saat ada kunjungan resmi ke Pekanbaru. 

Setelah Lady Mountbatten mendarat dan berkunjung ke Pekanbaru, hotel ini berganti nama dengan Hotel Mountbatten. Pada tanggal 12 November 1945, berkibar bendera Belanda di atas teras hotel. Akibatnya, pemuda Pekanbaru yang telah setia pada panji-panji kemerdekaan marah. Belanda dianggap tidak menghargai wilayah Pekanbaru yang telah berdaulat menjadi bagian RI. Pada siang hari, seluruh massa berkumpul di markas BKR dan siap menggempur Hotel Mountbatten.  Seribu orang menyerbu hotel ini dan Letkol Hasan Basri berusaha meredakan amarah masyarakat Pekanbaru. 

Dalam kondisi terdesak, terjadi perundingan antara pihak RAPWI yang diwakili oleh Mayor Langley dengan pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Letkol Hasan Basri dan Toha Hanafi. Didampingi Raden Yusuf Surya Atmaja, dan Iman Jamian sebagai penerjemah. Isi perundingan ini adalah dalam waktu dua minggu yakni 26 November 1945 semua pasukan Belanda akan diungsikan ke Padang. Setelah perundingan, massa yang berkumpul di luar hotel tidak bisa dikendalikan. Kemudian, bendera Belanda diturunkan dan dirobek, warna birunya dibuang dan berganti dengan warna merah putih. Peristiwa perobekan bendera Belanda ini serupa dengan kejadian di Hotel Yamato di Surabaya. 

Tentara Belanda sedang meninjau bangunan yang 
dibakar oleh pejuang pada 1948 sebagai taktik 
bumihangus. (Sumber: Nationaal Archief) 

Pada saat Agresi militer Belanda II, Bandara Pekanbaru ditembaki oleh pesawat terbang KNIL. Pada sore hari 31 Desember 1948, sejumlah objek penting di Pekanbaru dibakar oleh pejuang tujuannya agar KNIL tidak dapat menduduki Pekanbaru. Pembakaran kota Pekanbaru dimulai dari Batu I, Hotel Mountbatten (yang setelah peristiwa perobekan berubah nama menjadi Hotel Merdeka), deretan rumah Kapitan Lie Ban Seng, pembangkit listrik, dan pelabuhan Pekanbaru.  Pembakaran ini sesuai dengan perintah Komando Sub Teritorial V Riau. Selain dibumi hanguskan, pertempuran melawan KNIL dimulai dari bandara hingga masuk ke dalam kota dibawah pimpinan Inspektur II Tugimin dan Letnan I Jamhur Jamin. 

Hotel Mountbatten yang memiliki sejarah penting Pekanbaru kemudian lenyap tanpa bekas. Tapak dari hotel ini sekarang menjadi kawasan ruko yang berada di Jalan Ahmad Yani. Kota Pekanbaru. 

Share:

Sambut Hari Kemerdekaan, Redaksi Riwajat Adakan Launching Majalah dan Diskusi Sejarah


Sejarah merupakan pengetahuan dan kesadaran penting bagi individu baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa  bernegara dan sebagai masyarakat global. Pengetahuan dan kesadaran sejarah perlu untuk selalu diajarkan dan ditanamkan secara berkelanjutan kepada semua generasi. Pentingnya pengetahuan dan kesadaran sejarah terkadang tak berbanding lurus dengan minat dan keseriusan dalam mempelajari sejarah.
Share:

Alkisah Olimpiade: Pekan Olahraga Religius Untuk Dewa Zeus

Ilustrasi olimpiade pada zaman Yunani Kuno
(Sumber: idntimes)

 Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimred Riwajat

Sejarah panjang Olimpiade berasal dari kebudayaan Yunani kuno yang dilangsungkan untuk menghormati dewa Zeus. Romawi menganggapnya tradisi pagan dan melarangnya pada 393 M.

Kebudayaan Yunani kuno dikenal sebagai kebudayaan termahsyur yang banyak sekali menghasilkan warisan kehidupan yang masih dirasakan hingga sekarang dampaknya. Selain pemikiran-pemikiran dari filsufnya seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, Yunani juga meninggalkan warisan kejuaraan olahraga antar bangsa dan negara yang dinamakan Olympic Games atau Olimpiade. Di masa modern kini, Olimpiade dilaksanakan untuk memperat tali persaudaraan antar bangsa melalui kompetisi olahraga yang fair dan professional antar atlet dalam beberapa cabang olahraga. Akan tetapi berbeda halnya dengan Olimpiade yang dilaksanakan pada masa Yunani kuno puluhan abad silam, dimana kejuaraan ini dihelat sebagai penghormatan untuk dewa tertinggi mereka, Zeus. 
Share:

Diskusi Wabah Dalam Sejarah


Sejarah merupakan pengetahuan dan kesadaran penting bagi individu baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa  bernegara dan sebagai masyarakat global. Pengetahuan dan kesadaran sejarah perlu untuk selalu diajarkan dan ditanamkan secara berkelanjutan kepada semua generasi. Pentingnya pengetahuan dan kesadaran sejarah terkadang tak berbanding lurus dengan minat dan keseriusan dalam mempelajari sejarah.

Peristiwa-peristiwa sejarah menjadi sumber pembelajaran bagi kita semua. Seperti halnya peristiwa pandemic atau wabah yang terjadi di masyarakat sangatlah menarik untuk dibahas dan didiskusikan agar kita dapat mengambil hikmahnya. Baru-baru ini di tengah masyarakat timbul suatu wabah yang sering disebut Pandemi Covid-19. Wabah yang berasal dari adanya suatu virus ini telah menimbulkan jutaan orang yang terpapar bahkan sampai merenggut korban jiwa yang tidak sedikit. Bangsa Indonesia pada saat ini menghadapi pandemi Covid-19. Oleh karena itu, riwajat.id bermaksud mengadakan diskusi secara online atau daring bertemakan Kesehatan. 

Karena riwajat.id konsen mengangkat sejarah lokal menjadi sejarah publik atau sejarah popular, maka pada kesempatan diskusi yang akan diselenggarakan ini nantinya juga selain membahas tentang contoh berbagai macam virus yang pernah ada dan menjadi pandemi yang disampaikan oleh dokter Simon Yosonegoro Liem, Mahasiswa PPDS Mikrobiologi Klinik Universitas Indonesia. Juga akan membahas tentang menulis penelitian bertemakan sejarah kesehatan oleh Hardiansyah, penulis sejarah asal Bengkulu. Terakhir masalah yang dibahas adalah tentang wabah penyakit dan cara mengatasinya secara tradisional pada masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah oleh Voka Panthara Barega yang diangkat dari hasil tulisannya yang saat ini sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Universitas Padjajaran.

Diskusi ini akan dilaksanakan pada Minggu 25 Juli 2021 pukul 9 pagi melalui aplikasi ZOOM Meetings. Untuk registrasi silahkan mendaftar (klik) melalui tautan di bawah ini:

Daftar diskusihttp://tinyurl.com/regdisriwajat


Share:

Ketika Sukarno Menjadi Pengurus Muhammadiyah

Pengurus Muhammadiyah Bengkulu tahun 1928
(Sumber: Hardiansyah)


Kedekatan Sukarno dengan Muhammadiyah tidak sebatas menjadi simpatisan saja, saat dibuang ke Bengkulu ia aktif menjadi kader dan mengetuai Dewan Pengajaran Muhammadiyah tahun 1938

 Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat

Sudah menjadi informasi yang umum bahwa Presiden pertama RI, Ir. Soekarno dikenal dekat dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun begitu sangat jarang dibahas sejauh apa kedekatannya dan bagaimana status keanggotaan Sukarno dengan organisasi Islam terbesar asal Yogyakarta itu. Hardiansyah, mubaligh Muhammadiyah di Bengkulu sekaligus penulis buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu, menyebutkan perkenalan beliau dengan organisasi ini sebenarnya sekitar tahun 1920. Kala itu saat Sukarno muda masih menjadi anak indekos di rumah H.O.S Cokroaminoto, Gang Peneleh-Surabaya, beberapa kali dikunjungi oleh K.H.Ahmad Dahlan yang datang langsung dari Yogyakarta. Konon Sukarno sangat terpukau dan begitu meresapi ceramah yang disampaikan oleh K.H Ahmad Dahlan itu, sehingga hal ini turut merubah cara pandangnya akan Islam yang dinilai perlu mencontoh pemikiran Muhammadiyah akan Islam yang berkemajuan. Demikian dalam bedah bukunya pada Senin 19 Juli 2021 yang diadakan dalam rangka Menuju Kongres Sejarawan Muhammadiyah 2021 secara daring. 

Kegiatan bedah buku Napak Tilas Sejarah Muhammadiyah Bengkulu 19 Juli 2021


Medio tahun 1930an dimana Sukarno telah muncul sebagai pemimpin politik nasional yang getol melakukan agitasi dan propaganda melalui Partai Nasional Indonesia (PNI), membuatnya harus menjalani pengasingan karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial. Awalnya ia dibuang ke Ende pada 1933, akan tetapi pada 1938 ia dipindahkan ke Bengkulu. Kepindahannya ke Bengkulu ini menjadi babak baru bagi kehidupan Sukarno, ia diminta oleh tokoh Muhammadiyah disana, Hasan Din untuk menjadi guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Tanpa berpikir panjang Sukarno menyetujuinya, lagipula pasca lulus dari Technische Hooge School dirinya juga diketahui pernah menjadi guru di Ksatrian Instituut milik Dr. Setiabudi di Bandung. 

Baca: Ketika Sukarno Menjadi Guru Sejarah dan Matematika

Tidak sampai disitu, selama aktif menjadi pengurus Muhammadiyah Bengkulu ia juga dipercayai menjadi Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah yang saat ini setingkat dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah. Selama di Bengkulu ia juga aktif memberikan pengajaran di Madrasah Kebun Ross, mengajukan usulan diadakan konferensi Daeratul Kubro dan mendirikan PEKOPE (Penolong Korban Perang) bersama rekannya sesama pengurus Muhammadiyah Bengkulu, Oey Tjeng Hien dan dr. Djamil. 

Salah satu surat keputusan Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu
yang ditandatangani oleh Sukarno pada 1938. (Sumber: Hardiansyah)

Pergumulannya dengan Muhammadiyah di Bengkulu inilah yang selanjutnya membuat Sukarno jatuh hati dengan putri Hasan Din, Fatmawati, yang kemudian dinikahinya pada tahun 1943 melalui nikah wali. Hardiansyah juga menambahkan dimasa pendudukan Jepang pada tahun 1942, Sukarno dibebaskan oleh Dai Nippon dan dibawa ke Jakarta untuk diajak bekerjasama. Masih menurut Hardiansyah, di Bengkulu kegiatan Muhammadiyah tidak dibubarkan oleh Jepang sebagaimana yang terjadi di wilayah lain di Indonesia. Hal ini berkat siasat kecerdikan sang ketua Oey Tjeng Hien yang memberitahukan bahwa umat Islam se-Bengkulu akan sangat marah apabila Muhammadiyah dibubarkan. Sebaliknya Oey menawarkan Jepang tanaman jarak yang dapat ia perintahkan untuk ditanam oleh seluruh warga dan simpatisan Muhammadiyah Bengkulu. Hal ini disetujui oleh Jepang yang gembira dengan hasil tanaman jarak yang sangat dibutuhkan  untuk melumasi mesin-mesin perang balatentara Dai Nippon.

Share:

Terbitnya Sang Surya di Gang Mariana

Gang Merak 2 Jalan Pak Kasih Pontianak
(Sumber: Google Photo Images)


Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimpinan Redaksi Riwajat


Gang kecil yang terletak di Jalan Pak Kasih ini menyimpan banyak kenangan sejarah, disinilah pusat kegiatan cabang Muhammadiyah Pontianak dengan didirikannya Volkschool dan beragam aktifitas lainnya seperti kepanduan Hizbul Wathan sejak tahun 1930an. 

Gang Merak II, Kelurahan Mariana, Pontianak Kota, adalah sebuah gang kecil yang tidak seberapa besar. Letaknya persis di depan Pelabuhan Dwikora, Jalan Pak Kasih. Di gang tersebut terdapat dua sekolah milik Muhammadiyah, yakni SD Muhammadiyah 3 dan SMP Muhammadiyah 3. Akan tetapi tahukah jika komplek sekolah ini telah ada jauh sebelum negeri ini mencapai kemerdekaannya? 

Share:

Berita Lawas: Pengaruhnya Warna Kuning (1925)

 

Surat Kabar Berani, 18 Juli 1925
(Sumber: Koleksi Pribadi)

Berita asli dari Surat Kabar Berani, edisi no. 3 tahun ke-1 hari Sabtu 18 Juli 1925. Kepala Redaktur Boullie, beralamat di Kampung Darat Pontianak. Berita berjudul asli "Pengaroenja Warna Koening" mewartakan kejadian di Silat, Kapuas Hulu, dimana kaum bangsawan disana membeda-bedakan pakaian berdasarkan warna (kuning) yang hanya pantas dipakai oleh mereka. 

Share:

Haji Ismail Mundu: Ulama Tersohor Dari Teluk Pakedai, Mufti Kerajaan Kubu

K.H Ismail Mundu (sumber: indonesia.go.id)


Oleh: Karel Juniardi | Redaktur Riwajat, Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Pontianak

 

Kalimantan Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia mempunyai banyak tokoh ulama dan penyebar agama Islam sebagaimana adanya Wali Sembilan di Pulau Jawa, seperti Habib Husein Al Kadrie di Mempawah, Basiuni Imran di Sambas, Haji Ismail Mundu di Teluk Pakedai (Kubu Raya), dan lain sebagainya. Keberadaan dan peran para ulama tersebut pada masa lalu turut mewarnai proses Islamisasi di Kalimantan Barat. 

Share:

Kiprah Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak/KRIS (1947-1949)

 

Foto pengurus KRIS yang bekerja di Kuching Fire Station
(Sumber: M. Sabirin AG)


Oleh: M. Rikaz Prabowo | Guru Sejarah, Pimred Riwajat

Kuching, adalah sebuah kota negara bagian Sarawak, Kerajaan Malaysia. Kota ini cukup besar dan sangat dikenal oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Lekatnya hubungan Kuching dengan penduduk dibalik batas negara atau sebaliknya di latarbelakangi adanya kesamaan suku bangsa, agama, dan bahasa, yakni Melayu dan Islam. Tidak sedikit pula penduduk Kuching memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat Melayu di negeri seberangnya, terutama Sambas. Selain punya hubungan etnografi, Kuching juga menyimpan sejarah kontribusinya terhadap kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi fisik 1945-1949. Sepanjang masa itu, pernah berdiri organisasi Kesatuan Rakyat Indonesia Sarawak (KRIS) yang didirikan oleh warga Indonesia dan para pejuang republik yang melarikan diri dari kejaran NICA/KNIL. 

Share:

Angkat Film Dokumenter Sejarah, Komunitas Dibalik Bingkai Adakan Webinar

(Sumber: @dibalikbingkai)


Sejarah merupakan pengetahuan dan kesadaran penting bagi individu baik dalam konteks kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa  bernegara dan sebagai masyarakat global. Pengetahuan dan kesadaran sejarah perlu untuk selalu diajarkan dan ditanamkan secara berkelanjutan kepada semua generasi. Pentingnya pengetahuan dan kesadaran sejarah terkadang tidak berbanding lurus dengan minat dan keseriusan dalam mempelajari sejarah. 
Share:

Indonesia Raya, Lagu Pengantar Eksekusi Bardan Nadi

Jalan Bardan Nadi di Pontianak
Sumber: Kumparan

Oleh: M. Rikaz Prabowo | Pimred Riwajat

17 April 1947, Bardan Nadi alias Sutrisno Sastrokusumo dieksekusi mati oleh Belanda akibat aksinya memimpin perlawanan pada Oktober 1946 di Ngabang. Sedari muda telah aktif di pergerakan kebangsaan mulai dari PARINDRA hingga menjadi Wakil Penanggungjawab Gerakan Rakyat Merdeka (GERAM) di Ngabang.

Suasana petang Penjara Sungai Jawi Pontianak pada 17 April 1947 terasa menegangkan. Penjara yang dibangun sejak masa kolonial ini dikenal sebagai penjara politik bagi kaum pergerakan. Setelah merdeka, Belanda kembali menguasai Pontianak dan memfungsikannya sedia kala. Menurut jadwal, hari itu akan dieksekusi mati seseorang yang pernah membuat resah kedudukan Belanda di Kota Ngabang dan sekitarnya (sekarang Kabupaten Landak) pada Oktober 1946. Diantara kaum republiken waktu itu, ia lebih dikenal dengan nama Bardan Nadi. Dengan tangan terikat dan mata tertutup, opsir mengeluarkan Bardan dari selnya yang sempit nan lembab menuju lapangan tembak yang juga menjadi fasilitas penjara itu. Ditengah lapangan tembak, terdapat tiang kayu untuk mengikat si terhukum mati agar lebih mudah dibidik regu tembak.
Share:

Riwayat Misionaris Kristen di Bengkulu 1685-1940

Gereja di Tanjung Sakti pada tahun 1930
Sumber: musi.co.id


Oleh: Hardiansyah | Penulis Sejarah (Bengkulu)

Misi Katolik dan zending Protestan saling bersaing pengaruh dan mendapatkan ummat. Mendorong pembentukan sekolah-sekolah dan gereja di Bengkulu dan sekitarnya yang masih bertahan.

Sikap Kristen terhadap agama lainnya terbagi menjadi tiga. Pertama yaitu ekslusivisme dimana jargon yang tertanam adalah “Extra Eclesiam Nulla Salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Kedua, inklusifisme dimana Kristen lebih terbuka dengan agama–agama lainnya khususnya dalam konteks Indonesia adalah Islam. Ketiga adalah pluralisme, demikian menurut Goddard sebagaimana disampaikan oleh Sukamto dkk, dalam Sikap Kristen Calvinis terhadap Kelompok Agama Lain di Batavia abad ke-17 (2020:2). Apalagi setelah konsili Vatikan ke dua, Gereja Katholik lebih bersikap plural terhadap agama lain khususnya Yahudi dan Islam. 

Share:

Warisan Perjuangan Dari Gusti Panji ke Gusti Hamzah (Kisah Perang Belangkait Kerajaan Simpang 1912-1915, Bag.4 Habis)


Tulisan kali ini lanjutan dari tulisan bagian pertama tentang Perang Belangkait yang terjadi di Tanah Kayong antara 1912-1915.  

Pohon Dungun Kapal (Bagian 1)

Geramnya Ki Anjang Samad (Bagian 2)

Melangkah Mati, Tak Melangkah Juga Mati (Bagian 3)

Kisah ini diambil dari buku berjudul “Sekilas Menapak Kerajaan Tanjung Pura" . Buku ini ditulis oleh H. Gusti Muhammad Mulia sebagai Raja Kerajaan Simpang ke-7 yang di lantik pada tahun 2008 dan wafat di tahun 2017 yang lalu. 

Share: