Dari Judi Sampai Prostitusi: Penyakit Masyarakat di Pontianak Tempo Dulu

Ilustrasi permainan judi di Batavia pada 
masa kolonial. Sumber: https://phesolo.wordpress.com/


Penyakit masyarakat yang tiada bedanya dengan masa kini, dampak buruknya menimbulkan keprihatinan dan menjadi problem Pontianak pada masa kolonial 


Permainan judi menjadi problem penyakit masyarakat yang tidak kunjung sirna. Sekali diberantas tidak lama akan kembali muncul, para penjudi akan terus kucing-kucingan dengan aparat agar dapat beradu peruntungan. Sama seperti kota-kota lainnya di Indonesia, permainan judi juga marak di Pontianak. Riwayat mencatat permainan yang dilarang agama ini mulai marak di Pontianak pada masa kolonial Hindia Belanda. Surat Kabar Warta Borneo pada 8 November 1924 mengabarkan, berdasarkan laporan warga yang namanya diinisialkan, terdapat sarang judi di Gang Mas Rono agar segera diusut polisi. 
Nahasnya, keberadaan rumah judi atau sarang judi masa itu bukanlah suatu hal yang "haram", melainkan sengaja difasilitasi oleh pemerintah dalam bentuk regulasi resmi lewat sebuah pacht ataupun licentie yang dikeluarkan oleh pemerintah kota. Dengan itu pemerintah dapat memungut pajak baik kepada pemilik rumah judi maupun si penjudi. Sebaliknya, pemerintah memberikan perlindungan pada permainan judi tersebut.

Sumber: Warta Borneo 8 November 1924


Praktik perjudian di Pontianak telah membuat banyak kesengsaraan, seperti yang digambarkan oleh surat kabar di atas: "Pembaca barangkali lebih maklum, bahwa tiada sanggup kalam (ucapan) kita akan melukiskan berapa banyak orang punya rumah tangga yang sudah menjadi rusak kena pengaruhnya judi. Berapa banyak terbit perkelahian dan permusuhan dari lantaran judi, berapa banyak tangisan, perceraian antara suami-istri dan anak-anak yang kekurangan makan oleh sebab uang telah habis di meja judi. Berapa banyaknya berkara bunuh, menipu, menggelap, dan mencuri miliknya lain orang dan masuk bui (penjara) sebab sudah gelap mata dan pikiran oleh karena telah jatuh dibawah pengaruhnya setan dan iblis judi yang sangat kejam". 


Kemunculan Tempat-tempat Hiburan
Perkembangan pesat kota Pontianak sekitar tahun 1920an menjadi kota kolonial membawa sejumlah konsekuensi pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan di kota ini. Pada tahun 1920 jumlah penduduk Pontianak sebanyak 28.731 jiwa dan terus mengalami peningkatan hingga menyentuh angka sekitar 40 ribu jiwa pada 1930an. Hal itu akhirnya mendorong pemerintah untuk melakukan pembangunan dan membaginya dalam beberapa zona berdasarkan peruntukkan. Zona yang terbentuk antara lain zona pemerintahan, garnisun/militer, perniagaan, permukiman, dan sarana publik termasuk tempat hiburan seperti societet, opera, dan bioskop.

Dana Listiana, dalam Ibukota Pontianak 1779-1942: Lahir dan Berkembangnya Sebuah Kota Kolonial, menyebutkan tempat hiburan bagi masyarakat kota saat itu berada di daerah sekitar jalan Komidie Weg (kini Jalan Mahakam) yang terdapat dua buah bioskop yakni Orient Bioscoop dan Capitol Bioscoop. Tidak jauh dari jalan itu juga terdapat lagi dua bioskop yakni Ng. A Tje Bioscoop dan Borneo Bioscoop. Sedangkan Societet merupakan gedung perkumpulan semacam klub hiburan bagi orang-orang Eropa atau elite pribumi. (2009: 68). 

Tempat-tempat hiburan yang disebutkan di atas, terutama Societet dan Opera tidak jarang menyediakan minuman keras yang akhirnya berdampak negatif kepada diri sendiri dan orang lain. Seperti di kabarkan oleh Warta Borneo pada 8 November 1924, menyebutkan terjadi keributan di Opera Setiabakti yang dilakukan oleh sekelompok pengunjung bangsa Belanda karena pengaruh alkohol dengan menghardik pengunjung bangsa Arab. Akibatnya, hampir terjadi baku hantam di opera tersebut dikarenakan teman-teman dari bangsa Arab itu tidak terima direndahkan oleh bangsa Belanda. Efek buruk dari minuman keras ini sudah sering kali terjadi hingga meresahkan masyarakat lain. 

Selain itu masih ada tempat hiburan skala kecil yang didirikan karena tidak dapat mengakses Societet dan Opera, biasanya digemari oleh kalangan pribumi dan tionghoa kelas bawah. Letak tempat hiburan semacam ini tersebar di sudut kota, salah satunya hiburan Ma' Jong. Suara Borneo 23 Oktober 1923 menyebutkan Ma' Jong ialah suatu permainan yang terdiri dari 2 atau 3 orang perempuan muda dan dipimpin oleh 1 atau 3 orang lelaki. Perempuan muda tersebut disengajakan berpakaian cantik dan molek dengan mengeluarkan suara yang nyaring dan merdu, cukup dengan segala bunyi-bunyian serta tari-tarian agar tertarik hati si pendengar dan penonton. Permainan yang digemari kaum adam baik muda maupun tua ini, salah satunya di Kampung Dalam, tidak seberapa jauh dengan istana Sultan Pontianak. 

Sepintas tidak ada yang aneh dari Ma' Jong, namun permainan ini telah menyebabkan banyak penggemarnya melarat, melanggar norma-norma kesopanan, dan mengundang nafsu birahi. Pasalnya Ma' Jong adalah permainan yang dewasa kini mirip seperti pertunjukan musik dimana penyanyi wanita atau biduan mendapatkan saweran uang dari hadirin pria sambil menari di sekitar biduan tersebut. "...dengan kekuasaan keroncong (musik) yang dirayukan oleh perempuan itu, kantong lelaki itu lantas terbuka dan terus bocor. Ia lalu memberi uang kepada perempuan itu seberapa sukanya, ada yang f 5, f 10 d.l.l". 

Permainan Ma' Jong telah menimbulkan banyak dampak negatif dari sekitar lingkaran tersebut. "Kelakuan-kelakuan yang dilakukan dalam permainan itu, banyak sudah melewati batas, sehingga tidak melakukan kelakukan secara manusia lagi. Apalagi permainan itu ditonton oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan-perempuan, sedang sekarang sudah ada punya anak Ma'Jong itu, terdiri dari anak-anak kecil yang masih dara umur 8 atau 10 tahun. Apa hal ini tidak merusakkan bagi anak-anak itu?.  Hasilnya permainan Ma'Jong itu tak lain merusakaan kesopanan manusia, menerbitkan cinta birahi saja dan menerbitkan gembira hati anak muda-muda dan perempuan-perempuan kepada jalan yang dilarang oleh ajaran dan wet (hukum), serta bisa merusakkan keamanan negeri. Demikian dalam Suara Borneo 23 Oktober 1923. 


Dampak Buruk Prostitusi 
Sumber: Berani 18 Juli 1925
Sebagai kota kolonial yang sedang berkembang dan menjamurnya tempat hiburan, bermunculan pula penyakit masyarakat lain seperti prostitusi. Masih dalam Suara Borneo 23 Oktober 1923, diwartakan seorang anak laki-laki berusia 13 tahun berinisial R ditahan polisi dikarenakan memperkosa gadis kecil berusia 7 tahun. Belakangan diketahui, tindakan keji anak itu diduga lantaran ia sering berada di tempat prostitusi, "Sedang kabarnya konon si R, anak tersebut sering berada di Kampung Bali, dimukanya H.C.S, yaitu kampung tempat perempuan hina".  Demikian dampak buruk prostitusi bagi anak-anak kala itu yang ternyata sudah terjadi jauh sebelum masa sekarang. 


Keberadaan pekerja seks ini tentulah mengundang pro dan kontra. Kesempatan kerja yang sulit kala itu dibarengi dengan rendahnya tingkat pendidikan telah menjadikan segelintir perempuan mengambil jalan pintas agar cepat mendapatkan uang. Paling tidak, suara kontra terhadap adanya pekerja seks oleh para kaum agamawan dan para kaum pergerakan kiri melalui penerbitan surat kabar. Hal ini dilandasi bahwa adanya pekerja seks merupakan dampak jahat dari kapitalisme yang menyengsarakan rakyat. 

Surat Kabar Berani yang merupakan organ Sarekat Rakyat (SR), tanggal 18 Juli 1925 mewartakan ada seorang perempuan di Darat Weg yang diidentifikasi sebagai pekerja seks. "Beta sering lihat yang dimana Darat Weg ada seorang perempuan kalau ia berjalan selalu menutup mukanya dengan kain, tetapi kalau malam ia terus jadi kupu-kupu malam! Melihat gayanya dari perempuan yang begini aneh, boleh jadi nanti ada lekaki yang jadi korbannya. Ah, betullah ini yang dikata orang tutup muka, buka burit!. Diakhir berita penulis mengutarakan akan membuka kedok wanita tersebut suatu hari melalui surat kabar apabila ia tidak juga berhenti menjual diri. 

Penulis:
M. Rikaz Prabowo

0 comments:

Post a Comment